Bab 25.2

71.2K 6.6K 234
                                    

babang Fazio kambeeeek... berapa abad sekali update nya wkwkkw

aku tuh suka lupa kalo mau update, padahal kadang inget tar sore update ah. nyatanya lupa kalo udah berkutat dengan naskah lain wkwkwk...

semoga kalian masih baca ya wkwkw



*** 



"Mommy! Mommy tolong Gege! Kakak tolong Gege! Jangan.. jangan sentuh Gege! Jangan!"

Genaya terus menggeliat dengan liar, kedua kakinya menendang-nendang dan tubuhnya dipenuhi oleh keringat. Kepalanya terlempar ke sana-sini dengan panik. Kedua tangannya meninju-ninju udara. Ketakutan jelas terlihat di wajahnya yang mulai memucat dan basah oleh keringat dan air mata.

Ia menangis sambil memberontak saat merasa kakinya ditarik dan tubuhnya diseret di lantai yang dingin. "Jangan.. Lepaskan! Jangan sentuh Gege!" teriaknya lagi sambil menendang-nendang.

"Brengsek! Genaya!" Suara serak Fazio menyentaknya bersama dengan tepukan di pipinya.

"Ha!" Genaya membuka matanya dengan napas menderu dan kasar. Matanya memerah dan wajahnya memucat. Ia menoleh dan melihat Fazio berada di sampingnya dengan dahi mengerut dan wajah diliputi kilatan-kilatan misterius. "Fazio..." bisik Genaya dengan air mata yang tumpah.

Genaya segera menubruk tubuh Fazio dan memeluknya, menyusupkan wajahnya di dada pria itu. ia menangis, dan terisak-isak dengan penuh ketakutan yang mencekiknya. Kedua tangannya mencengkeram punggung telanjang Fazio.

"Sshh... Ada aku di sini," bisik Fazio seraya mengusapi punggung dan kepalanya.

Genaya masih menangis. Mimpi itu kembali menghantuinya seperti sebuah masa lalu, tapi telah ia lupakan. Ia tak mengingat apapun selain empat tahun yang ia jalani setelah terbangun dari koma. Suaranya terdengar pilu, penuh ketakutan dan juga beban yang sangat berat.

"Aku takut, Fazio. Aku takut..." isaknya dengan suara yang mengiris pendengaran.

"Jangan takut pada apapun, itu hanya mimpi, Ge." Fazio melepaskan tubuh Genaya dan menangkup wajahnya. Mereka bertatapan meski isakan masih lolos dari bibir Genaya. "Besok aku akan membuat janji dengan psikiater untukmu. Kau membutuhkan psikiater."

Genaya menggeleng pelan, ia menaruh kedua tangannya di leher Fazio dan mendekatkan wajah mereka. "Tidak perlu, aku baik-baik saja."

"Kau tidak baik-baik saja, Genaya." Fazio mendesis seakan melihat kesakitan Genaya mengusik hatinya. Tangan kanannya mengusap air mata Genaya.

Genaya mendekatkan wajah mereka dan menarik leher Fazio hingga pria itu merunduk. Ia mencium Fazio sesaat. "Sentuh aku, Fazio. Aku ingin kau berada dalam tubuhku. Sentuh aku..."

Fazio menatap mata Genaya lekat-lekat. Ketakutan itu masih bersemayan padanya, dan trauma yang ia lupakan itu seakan memaksa wanita itu untuk mengingatnya. Genaya tak siap untuk ia tiduri. Genaya hanya mencoba mencari pelampiasan atas ketakutannya.

"Kau tidak siap kutiduri, Genaya," bisik Fazio dengan serak.

"Sentuh aku, Fazio." Genaya meraih tangan Fazio dan membawa ke dadanya, ia berusaha menekan tangan Fazio agar meremas payudaranya dari balik gaun tidur.

Mereka tidak melakukan apapun sebelum pergi tidur. Fazio hanya berusaha membuat hubungan mereka menjadi dekat dan intim tanpa dinding penghalang apapun––kecuali semua rahasia yang Fazio sembunyikan. Mereka hanya berciuman, menghabiskan bir kaleng dan cookies, dan pergi tidur bersama. Fazio bahkan tidak pulang ke rumahnya, demi menemani Genaya yang hanya sendirian.

Fazio's Secret GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang