XII

5.4K 707 37
                                    

Ali yang baru saja selesai mandi memutuskan untuk pergi ke balkon kamarnya, sekedar duduk untuk memandangi langit malam sekaligus mengeringkan rambutnya.

"Nathan? Ngapain dia ke daerah sini?" Ali menggumam. Tadi, di perjalanan pulangnya bersama Lisa, ketika sudah memasuki jalan Kenanga, mobil Lisa berpapasan dengan Nathan. Tentunya Nathan tak melihat Ali karena kaca mobil Lisa tidak tembus pandang dari luar. Namun Ali melihat Nathan.

Nathan juga sudah tidak berpakaian seragam, dapat disimpulkan bahwa lelaki tersebut memang berniat ingin pergi ke suatu tempat.

Tapi, kemana?

Mungkinkah Nathan mencari Ali?
Mustahil. Harusnya jika memang lelaki itu mencari Ali, ponsel Ali pasti sudah dipenuhi pesan dan juga missed call dari Nathan karena lelaki itu pasti tak akan sabar menunggu. Namun nyatanya, ponsel di genggaman Ali tak berisi notifikasi satupun dari Nathan. Hanya berisi notifikasi sms, itupun pesan dari provider yang hendak menawarkan potongan harga untuk pembelian donat di salah satu coffee shop terkenal.

Ali yakin, Nathan tak berniat untuk menemuinya. Lantas, siapa?

***

"Hari Sabtu gini, kita nggak jalan-jalan, Ma?" rengek Alya pada Veni. Mamanya yang sudah berpakaian batik rapi dan sedang sibuk mengoles roti tawar dengan selai coklat pun tersenyum.

"Nih, makan." Veni menyodorkannya pada Alya. Setelah itu, setangkup roti berselai coklat juga wanita itu angsurkan pada putranya yang sedang asyik menatap ponselnya.

"Sarapan dulu Abang."

"Iya, Ma." balas Ali tanpa menoleh.

"Iih, Pa. Alya dicuekin nih sama Mama." adu Alya pada Dirga. Pria yang duduk bersebelahan dengan Alya itu mengelus pucuk kepala putrinya sayang.

"Sayang, kan kamu tau sendiri hari ini ada acara arisan trah keluarga besar Kakek. Nggak mungkin dong kita jalan-jalan. Malah harusnya kamu ikut Papa Mama, Ali juga, biar bisa silaturahmi.." jelas Dirga sekaligus berusaha menyindir kedua anaknya yang memang selalu ogah ikut acara arisan trah keluarga mereka. Alasannya sama, mereka sama-sama malas harus berbincang berjam-jam dengan orang-orang yang umurnya jauh lebih tua dari mereka.

Memang sih, Ali dan Alya punya beberapa sepupu yang seumuran dengan mereka, tapi sepupu-sepupu mereka pun juga jarang terlihat di acara keluarga. Alya menyimpulkan bahwa mereka juga malas bertemu dengan para orang tua yang sangat heboh setiap kali berjumpa itu.

Alya berdecak. "Males, ah. Nanti Mama cuma ngegosip disana. Berjam-jam lagiii." Alya menggelengkan kepala membuat Veni mencubit pipinya pelan.

"Pinter ya kamu, ngejekin Mama." Veni menggeleng heran. "Lagian kamu nih, mau jalan-jalan gimana, orang kalian udah rapi mau sekolah gini."

"Mama kayak nggak tau Alya aja sih, Ma. Kan emang gitu anaknya. Suka nggak jelas." timpal Ali. Alya mendelik.

"Gak jelas gini juga tetep adik Abang yang paling cantik!" bela gadis yang kini sibuk menyatukan rambutnya menjadi satu ikatan ekor kuda. Ia tak peduli anak rambutnya mencuat berantakan. Seumur-umur, Alya memang tak pernah memerlukan sisir untuk mengucir rambut. Baginya, berantakan itu adalah style nya dan memang begitu adanya. Ia tampak manis. Namun begitu, Veni sering memarahi Alya karenanya. Veni berpikir bahwa sebagai seorang perempuan, sudah semestinya Alya tampil rapi.

"Paling? Bahasa Indonesia kamu remidi ya? Kata 'paling' itu dipakai untuk membandingkan. Nah, kamu? Orang adik Abang cuma satu. Ya nggak bisa dibandingin!" jelas Ali panjang lebar membuat Alya menekuk wajah. Pagi-pagi sudah disuguhi teori yang menciutkan otak saja!

Lagipula tidak semua orang kan dianugerahi otak se-cerdas Ali, meski mereka berasal dari orang tua yang sama. Alya mengerucutkan bibirnya dan menggumam asal.

UnrighteousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang