XVIII

5.7K 681 27
                                    

Tiga hari telah berlalu terhitung dari hari dimana Alya meminta maaf pada Prilly, dimana Nathan mengetahui bahwa perasaannya tak terbalas.

Ali sudah pulang dari Rumah Sakit meski ia belum bisa masuk sekolah. Walau begitu, besok pagi ia diperbolehkan masuk. Ia sudah sehat tapi ia tetap harus kontrol seminggu dua kali untuk memeriksa jahitan yang berada di perutnya.

Keadaan hubungan Alya dan Prilly kini sangat membaik. Justru, Alya terlihat begitu berubah. Ia tak lagi keras kepala dan semaunya sendiri. Ia mulai memikirkan orang lain, terutama Prilly.

"Jadi, kamu suka sama Bang Nathan?" tanya Prilly dalam perjalanan pulang mereka dari sekolah. Hari ini karena Ali baru bisa sekolah besok, dan juga karena Alya malas membawa motor, gadis itu memutuskan untuk ikut Prilly naik bus. Sebuah pengalaman baru untuknya yang jarang sekali naik bus, tapi ternyata tak seburuk yang ia kira.

Alya menunduk malu. "Iya.." gadis itu membuang pandangannya pada pedagang-pedangang kaki lima yang terlihat dari kaca jendela bus karena Alya duduk berdekatan dengan jendela.

"Kenapa nggak bilang aja?"

Alya mendengus dan menatap Prilly kaget. "Ya kali, Prill. Kita ini cewek. Bukan kodrat kita buat nyatain perasaan. Kita cuma bisa nunggu dan nunggu. Entah sampai kapan. Dan di kasus gue sih, sayangnya ternyata Bang Nathan nggak punya perasaan apa-apa ke gue. Sedih ya? Hehe.." Alya menguarkan tawa datarnya, bahkan Prilly menangkap kesedihan di mata gadis itu.

Tapi perkataan Alya barusan sekaligus menampar Prilly. Memang benar, perempuan hanya bisa menunggu, entah sampai kapan.

Prilly memilih untuk diam kemudian tersenyum tipis menatap Alya.

"Semua ada waktunya kok, Al.."

***

"Jadi besok lo udah bisa masuk, Li?" tanya Gandi. Seperti biasa, malam ini Aldi, Gandi dan Nathan berkumpul di rumah Ali. Nathan juga terlihat kocak seperti biasa, meski sakit hatinya belum sepenuhnya sembuh. Begitulah Nathan, apapun yang terjadi padanya, ia akan selalu bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Hal itu membuat tiga sahabatnya juga enggan membahas tentang hal itu meski diam-diam Ali sudah memberi tahu Gandi dan Aldi. Bukan bermaksud apa-apa. Ali melakukannya agar Gandi dan Aldi bisa menjaga situasi dengan tidak membawa-bawa nama Prilly dalam percakapan mereka untuk beberapa hari ke depan, entah sampai kapan, yang jelas sampai Nathan benar-benar "sembuh".

Yang jelas, Ali sudah memberitahu ketiga sahabatnya bahwa hubungan Alya dan Prilly kini sudah sangat membaik. Alya jauh lebih dewas dan bisa mengontrol emosinya. Hal itu disambut baik oleh Gandi, Nathan dan juga Aldi.

"Iya."

"Bagus deh," timpal Aldi. "Gue udah muak duduk sama Gandi."

Ali dan Nathan tertawa namun Gandi menunjukkan wajah sewotnya.

"Yang ada lo kali kangen sama gue kalo besok udah ada Ali!" bela Gandi.

"Yee, ngarep lo!" balas Aldi. Laki-laki yang semula memainkan rubik di tangannya sambil berdiri itu kemudian memilih duduk  di kursi belajar Ali, sedangkan Nathan dan Gandi memang semula duduk di lantai beralaskan karpet, di samping tempat tidur dimana Ali duduk bersandar.

"Eh iya, Li. Gimana beasiswa lo?"

Ali mengendikkan bahu, sedikit terkejut Aldi mengangkat topik itu dalam percakapan mereka malam ini.

"Belom tau. Besok pulang sekolah gue disuruh ketemu wakil kepala sekolah." jawab Ali.

"Dan sampe sekarang lo belom kasih tau keluarga lo?" tanya Nathan heran.

Ali menggeleng dan nyengir. "Belom, Nat. Nanti an aja lah."

"Li, ini masalah penting. Lo tetep harus bicarain sama keluarga lo, terutama Alya. Lo tau adik lo itu sayang banget sama lo, pasti dia bakalan marah kalo lo nggak bilang sama dia." ucap Nathan yang disusul anggukan dari Gandi.

UnrighteousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang