"Apa? Kamu bercanda kan, Bang?" Veni bangkit berdiri dari sofa.
"Ma," Dirga meraih lengan istrinya.
Saat ini Ali sedang mengumpulkan Dirga, Veni dan juga Alya di ruang tengah. Tekadnya sudah bulat; ia akan menceritakan tentang beasiswa ke Jepang itu.
Veni kembali duduk namun kepalanya menggeleng pelan. "Kenapa kamu nggak pernah bilang sama Mama Papa? Kamu anggep kami ini apa?"
Ali menggeleng. "Ma. Ali bukan maksud apa-apa. Ali cuma nunggu waktu yang tepat aja.."
Ali kemudian menatap Alya yang dari tadi terdiam. Ali yang duduk bersebelahan dengan Alya mengelus pelan pipi adiknya. "Kenapa? Kok diem?" tanya Ali.
"Kenapa sih Abang nggak pernah cerita soal ini?" protes Alya dengan suara pelan, sebentar lagi gadis itu pasti menangis.
"Kalo Abang bilang ke kamu, kamu pasti larang Abang kan?"
Alya diam.
"Iya kan?" tanya Ali sekali lagi.
"Kamu yakin dengan keputusan kamu, Li?" tanya Dirga.
Ali beralih pada papa nya dan mengangguk. "Iya, Pa."
"Kenapa gak sekolah di Jakarta aja sih, Bang? Atau seenggaknya di Indo aja lah," Veni masih belum terima.
"Ma, ini mimpi Ali, Ma. Ali udah berkali-kali browsing tentang The University of Tokyo. Program studi arsitektur nya dapat peringkat ke-19 se-asia, Ma dan Ali punya kesempatan besar buat masuk ke sana. Apa Ali nggak boleh kejar mimpi Ali?" Ali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dadanya naik turun menahan emosi yang tiba-tiba memuncak.
"Kalo itu mau kamu, kami cuma bisa mendukung, Li.." putus Dirga.
"Pa?" Veni kaget dengan keputusan suaminya.
"Iya, Ma. Memang saatnya Ali menentukan keputusannya sendiri, apapun konsekuensi nya itu kan pilihan dia sendiri." Dirga berusaha memberi pengertian. Ali mengangguk.
"Bukan masalah itu, Pa. Mama juga tau Ali kepengen kuliah arsitek. Tapi Mama nggak mau jauhan sama Ali." ucap Veni sendu.
Ali tersenyum. "Elah, Ma. Kan ada Alya. Lagipula kalo Ali ada libur panjang pasti Ali pulang. Asal nggak keseringan karena mahal. Heheheh..."
"Tuh, kan.."
"Aduh, Mamaku tersayang, iya deh, Ali sempat-sempat in pulang. Tapi bolehin dulu dong?" mohon Ali sambil memasang senyuman terbaiknya.
"Hmm, iyadeh. Mama ijinin, tapi kamu harus rajin telepon Mama.."
"Siap,"
"Janji?"
"Iya, Ma, janji.."
Ali kemudian menatap adiknya. "Adek Abang gimana? Ngijinin nggak nih?" tanya Ali karena sedari tadi Alya diam. Dirga dan Veni juga ikut menatap putri mereka, menunggu respon Alya.
"Kalo Alya sih, iya-iya aja. Siapa tau ini bisa jadi salah satu cara biar Alya nggak ketergantungan sama Abang."
Ali dan kedua orang tua nya tersenyum mendapati kedewasaan Alya.
"Tapi.." lanjut Alya.
"Tapi apa, Al?" tanya Ali tak sabar.
"Mungkin Abang harus ijin sama seseorang."
Ali mengerutkan kening. "Siapa?"
"Prilly. Prilly pasti sedih kalo tau Abang mau ke Jepang.."
Ali terdiam walau ia sedikit terkejut dengan ucapan berani Alya, sedangkan Veni dan Dirga hanya terlibat saling pandang dalam diam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unrighteous
Fanfiction"Prilly itu punya Abang." #2 - aliprilly (10/10/2019) #1 - ggs (05/11/2021) #94 - fanfiction (26/11/2018) #4 - aliandoprilly (17/10/2019) #3 - aliando (16/08/19) #37 - prilly (14/08/19)