XXI

4.5K 633 49
                                    

"Abang berangkat ya, jangan nakal. Nurut sama Papa Mama." Ali meraih adiknya untuk ia peluk setelah ia berpamitan pada Dirga dan Veni.

Saat ini mereka semua sudah berada di depan pintu keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta. Ali diantarkan lengkap oleh keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta Prilly.

"Iya, Bang. Alya bakal kangeeen banget sama Abang.." Alya menitikkan air matanya seakan tak mau melepas pelukan Ali.

Ali tertawa. "Abang juga kangen adik Abang yang bawel setengah mati ini." ucapnya membuat Alya cemberut.

"Udah ah, kan udah janji gak sedih-sedih lagi." putus Ali mengingatkan adiknya. Ia melepas Alya dan beralih menatap ketiga sahabatnya.

"Gue berangkat dulu ya,"

"Tolong jagain Prilly." kali ini Ali berbisik.

Ketiga sahabatnya mengangguk.

"Lo nggak usah khawatir, dia bakalan aman dan baik-baik aja.." ucap Gandi.

Aldi pun mengangguk tanda setuju.

"Lo nggak lupa sama ucapan gue waktu itu kan, Li?" tanya Nathan. Ali tau persis yang Nathan maksud. Nathan pernah berkata bahwa ia akan berjuang untuk Prilly jika Ali tak segera memberi gadis itu kepastian.

Ali hanya membalas dengan senyum tipis.

"Makasih buat semuanya. Gue cuma bisa berharap kita semua sukses di jalan kita masing-masing. Sampai beberapa tahun lagi, gue balik dan gue bakalan ajak kalian buat ngumpul lagi."

"Apaan sih lo, mellow gini!" Gandi meninju lengan Ali namun lelaki itu tak kuasa untuk menahan keinginannya memeluk Ali.

"Baik-baik lo disana."

"Iye."

Ali kemudian memeluk Aldi.

"Sukses bro." ucap Aldi.

Dan kemudian giliran Nathan.

"Gue tau apa yang harus gue lakuin, Nat. Gue punya rencana gue sendiri." bisik Ali seakan memberi peringatan halus pada Nathan.

Ali kemudian beralih pada gadis yang dari tadi hanya diam menatap Ali yang sibuk berpamitan.

Tanpa sungkan, Ali meraih tubuh mungil itu ke pelukannya.

"Jangan nangis. Jelek," bisik Ali. Prilly tertawa dan mencubit pelan pinggang Ali.

"Prilly bakalan kangen Abang." lirih Prilly dalam pelukan Ali. Ali mengusap kepala gadis itu.

"Abang sayang kamu.." hanya itu yang bisa Ali katakan. Ia tak bisa berjanji apapun. Ia tak berani.

"Abang bakal selalu ada buat Prilly kan?"

Ali tersenyum meski ia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Tapi setidaknya ia harus menenangkan perempuan yang ia sayangi ini.

"Always.."

***

"Ah, Prill. Kesel deh gue gak ngerti-ngerti! Tau ah!" Alya menenggelamkan wajahnya di buku paket Kimia nya. Saat ini mereka berdua berencana untuk belajar bersama demi mempersiapkan UAS Kimia besok pagi, tapi nyatanya justru kedua gadis itu nyaman dalam posisi tengkurap di kasur Alya meski buku paket ada di hadapan mereka.

"Kok gitu sih, Al. Ini nggak sulit kok,"

Alya berdecak. "Lo mah enak, pinter dari sononya. Lah gue?"

"Ayo dong, Al. Kalo Abang ada di sini, pasti dia marah kalo kamu kayak gini.."

Alya menyipitkan matanya. "Cie, Abang terus yang diinget, Prill. Kangen ya?"

UnrighteousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang