XXV

5.5K 658 28
                                    

Ali mengendarai mobil dalam diam begitupun perempuan di sebelahnya yang memilih melihat pemandangan di luar. Malam hari di Jogja sangat berbeda dengan Jakarta yang diisi oleh orang-orang elit yang keluar masuk Mall dan gedung-gedung besar. Berbeda dengan di Yogyakarta. Semakin malam, kota semakin ramai oleh musisi jalanan dan juga pedagang kaki lima yang beraneka ragam. Gudeg, mi ayam bakso, pecel lele, semuanya ada. Padatnya kota ini pun tak seburuk Jakarta. Meski ada kemacetan di beberapa titik, namun lalu lintas masih lebih manusiawi dan masih bisa dibilang wajar. Itu yang membuat Prilly lebih betah tinggal di Yogyakarta daripada di Jakarta.

"Ini belok kiri?" tanya Ali memecah keheningan. Prilly menoleh.

"Iya, Bang." jawabnya. Prilly menggosokkan kedua telapak tangannya membuat Ali spontan mengubah temperatur AC mobilnya.

"Dingin?"

"Ng... nggak kok, Bang.."

"Kalo dingin bilang aja, nggak usah gengsi." ucap Ali menahan senyum. Matanya lurus mengawasi lalu lintas di depannya sehingga ia tak bisa melihat pipi Prilly yang bersemu.

***

"Sampe juga.." lirih Ali pelan. Ia menoleh ke Prilly yang sekarang telah melepaskan seat belt nya.

"Abang mau mampir?" tanya Prilly canggung. Ali seakan bisa membaca pandangan gadis itu yang berdoa agar Ali tidak mengiyakan basa-basinya. Terlihat jelas bahwa Prilly tidak nyaman dengan keberadaan lelaki itu di dekatnya.

"Ngg... Prill,"

"Ya, Bang?"

"Abang kangen.." lirih Ali. Prilly tersenyum sebagai balasan tapi matanya tegas seakan tak ada lagi rindu yang bisa ia balaskan untuk Ali.

"Semuanya udah banyak berubah sekarang, Bang." gadis itu menerawang setelah sekilas menatap Ali. Senyumnya tak pudar dari wajah yang dibiasi sinar lampu gang yang menembus lewat kaca mobil.

Ali tau kemana arah pembicaraan Prilly. Lagipula ia juga sudah berusaha menyiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

"Apa perasaan kamu ke Abang juga udah berubah?"

"Prilly nggak tau pasti," Prilly menatap Ali lagi. Kini Ali sadar tatapan gadis itu serasa asing dan tak sehangat dulu.

"Prilly seneng Abang pulang. Prilly seneng ketemu Abang. Tapi rasanya asing. Ya kita ini, Bang. Abang terasa asing buat Prilly dan Prilly yakin Abang jugs ngerasa kalo Prilly asing. Kita udah kelamaan berjarak, Bang dan banyak hal yang terjadi di tengah jarak itu." jelas Prilly.

"Apa Abang lupa kalo Abang yang menjauh dari Prilly? Prilly berusaha buat keep in touch tapi Abang yang terus-terusan ngusir Prilly dari hidup Abang, apa Abang lupa semuanya Bang?" senyum gadis itu tetap tak sirna. Tak ada juga sorot kesedihan di matanya. Ia sudah terlalu sakit hati untuk sekedar menitikkan air mata. Ali sadar, Illy kecilnya sudah menjadi perempuan dewasa, baik fisik maupun cara berpikirnya. Ia tak lagi membutuhkan Ali. Melihat sikap dan senyum yang selalu ia jadikan tameng membuat Ali berpikir bahwa Prilly benar-benar sudah membentengi dirinya dari Ali.

"Prill. Maaf. Abang nggak tau harus bilang apa selain maaf. Abang ambil semua yang kamu bilang barusan tentang Abang, Abang terima. Apa hati kamu masih sakit gara-gara itu? Gara-gara Abang?"

Prilly menggeleng. "Prilly nggak pernah sakit hati gara-gara Abang karena Prilly pernah sayang banget sama Abang. Prilly nggak pernah nyesel sama sekali.."

Kata "pernah sayang" menohok hati Ali. Ternyata sebegitu pedihnya dicampakkan oleh orang yang ia sayang.

"Pernah? Jadi sekarang udah nggak sayang?"

UnrighteousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang