XV

5.3K 757 62
                                    

Setelah melajukan ninja hitamnya dengan kecepatan tinggi, Ali pun sampai di tempat yang dimaksud oleh si penelepon tadi.

Ruko Nalendra No 87.

Ali jarang sekali melewati daerah Jalan Kenanga. Jalan ini sepi dan konon, banyak terjadi begal di daerah sini.

Ruko Nalendra sendiri adalah ruko yang sudah tak terpakai dan terbengkalai. Tak ada penerangan selain dari cahaya lampu berwarna kuning yang remang-remang.

Ali melepaskan helm nya. Nafasnya tak beraturan. Dadanya bergemuruh karena jantungnya berdegup kencang.

Semoga semuanya baik-baik saja.

Meminggirkan motor dan menyetandarkannya, Ali pelan-pelan berjalan memasuki gedung tersebut. Awalnya tak ada tanda-tanda adanya orang di dalam sana hingga kemudian suara tepuk tangan seseorang memecah kesunyian dan ketercekaman malam itu.

"Well, ternyata seorang Zefalio Dirgantara gentle juga, dateng sendirian gak bawa temen." orang yang tadi menelepon Ali menampakkan dirinya ditemani dua orang yang lebih tua dari Ali, sepertinya dua orang ini preman.

"Mana Prilly?"

"Sabar dulu kenapa sih, bro?"

"Gue bilang mana Prilly?!" tak sabar, Ali mendorong orang tersebut dengan kasar namun dua preman tadi dengan sigap menahan Ali dan menjauhkan tubuhnya.

"Apa-apaan nih!" berontak Ali. Orang itu justru tersenyum remeh kemudian berjalan mendekat.

"Nurut sama gue kalo mau ketemu cewek lo."

Ali berdecih. Tak sedikitpun ketakutan bersarang di matanya.

"Ternyata lo gak berubah. Lo tetep Maximilian Gaurdy yang gak lebih dari seorang pengecut!"

"Bangsat!" Max membuang rokok di tangannya kemudian melayangkan sebuah tinju di perut Ali. Ali meringis karena ia pun juga tak bisa membalas karena kedua preman di sampingnya sama sekali tak melepaskan pegangan mereka.

"Bawa dia masuk!" perintah Max pada kedua anak buahnya yang kemudian memaksa Ali untuk berjalan.

Mereka memasuki sebuah ruang kamar yang terletak di ruko tersebut. Entah itu bisa disebut kamar atau tidak. Yang jelas, di dalamnya gelap, berdebu. Ali juga melihat sarang laba-laba. Ada dua preman lagi di ruangan ini tapi lelaki itu tak peduli. Hanya satu yang ia cari; Prillyka Maury.

"Minggir!" ucap Max pada dua preman yang sebelumnya telah ada di ruangan ini.

"Prilly!" seru Ali.

Ternyata gadis itu duduk di sebuah kursi kayu, tubuhnya tertutupi oleh dua preman tadi sehingga Ali tak melihatnya. Kondisinya begitu memprihatinkan. Mata gadis itu ditutup oleh sebuah kain, pipinya basah entah karena keringat atau air mata, bibirnya menggumam tak jelas karena mulutnya ditutup juga dengan menggunakan kain. Kaki dan tangannya pun terikat sehingga gadis itu tak mampu berbuat apa-apa. Yang membuat dada Ali semakin sakit adalah kondisi baju seragam Prilly yang berantakan seperti ditarik paksa oleh seseorang. Dua kancing teratas seragam Prilly terlepas, memperlihatkan tanktop putih yang dikenakan gadis itu.

Ali menggeleng pelan, tak tau lagi bagaimana menjelaskan sakit hati yang is rasakan ketika melihat Prilly seperti ini.

"Bangsat. Lo apain dia, hah?" teriak Ali.

"Cantik. Gue pengen main-main aja sebentar, tapi tuh cewek rewel. Masih bocah lagi! Kenapa sih lo doyan model begituan?" tanya Max santai.

Memanfaatkan kelengahan dua preman yang memegangi dirinya, Ali melepaskan diri kemudian melayangkan tinju mengenai pipi Max.

UnrighteousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang