Derap kaki Farhan tentu terdengar begitu nyaring di lorong rumah sakit yang sepi ini. Farhan tak memerdulikannya, yang ia tuju sekarang hanyalah kamar berkelas VIP bernomorkan 36, ruang inap papanya.
Saking tak pedulinya, ia bahkan sesekali menabrak beberapa pasien ataupun perawat yang sedang berlalu lalang. Yang ada di indra penglihatannya sekarang adalah lorong rumah sakit yang kosong dan di indra penciumannya hanya ada bau menyengat rumah sakit yang sangat ia benci.
Napas Farhan terengah-engah, saat kaki panjangnya sudah berdiri tegak di depan pintu kamar inap papanya, hatinya terus berkecamuk, ia terus-terusan dilanda rasa bersalah. Kalau saja ia sekarang masih memerdulikan kedua orang tuanya, pasti kejadian-kejadian seperti ini tidak akan terjadi, begitu pikirnya.
Farhan memejamkan matanya dan menunduk dalam, memberanikan diri untuk membuka pintu kamar ini dan bersiap untuk bertemu kedua orang tuanya yang bahkan sudah dua bulan tidak ia temui. Dan,
Grep
Pintu kamar terbuka lebar. Kini terlihat jelas Jandy, yang sedang terkapar lemas di ranjang rumah sakit dan Shelin yang sedang menyiapkan bubur khas rumah sakit kepada suaminya. Sungguh pemandangan yang semakin membuat hati Farhan teriris, melihat kedua orang tuanya yang sedang dilanda musibah seperti ini.
Shelin menoleh, menyadari keberadaan anak semata wayangnya yang sedang menatap kosong dirinya sekarang.
"Farhan, anak mama?!"
Tanpa aba-aba, Farhan memeluk Shelin dengan begitu erat. Sebisa mungkin Farhan menahan tangisnya. Namun gagal, alhasil ia hanya bisa menangis tanpa suara. Ia tidak ingin dianggap lemah di mata ibunya.
"Eh, Sayang? Kamu kenapa?" Shelin yang mendapat serangan mendadak pun terkejut, lantas melepas pelukan anaknya itu.
Shelin menatap lurus anak semata wayangnya yang kini tingginya sudah jauh di atasnya, lalu mengusap kelopak mata Farhan yang sudah basah air mata.
"Jangan nangis, kamu itu nggak salah apapun, Farhan."
Farhan sebenarnya sangat tidak menyukai tangisan. Ia bahkan teringat jelas kapan terakhir ia menangis. Ia berani bersumpah, kalau ia terakhir menangis adalah dua belas tahun lalu, saat dimana keluarganya memutuskan pindah dari Bandung ke Jakarta dan meninggalkan teman-teman kecilnya, salah satunya Ara.
"Yaudah, kamu duduk dulu. Kamu pasti lapar, kan? Bentar deh, mama ambilin cemilan di dapur," tanpa perlu Farhan jawab, Shelin sudah beralih ke dapur, menyiapkan beberapa cemilan untuk anaknya. Karena mereka berada di kamar kelas VIP, tentu fasilitas kamarnya begitu lengkap dan luas. Tapi tetap saja, suasananya sangat tidak nyaman karena diisi kesedihan.
Farhan berdiri dan berjalan ke arah ranjang papanya, Jandy. Netranya menatap lurus tubuh Jandy yang terbaring lemas di ranjang. Terlihat jelas keriput-keriput yang muncul di wajah Jandy, membuatnya jauh terlihat lebih tua dan lemah. Farhan tentu kaget, ia ingat sekali dua bulan lalu, saat terakhir kali ia bertemu papanya, Jandy belum selemah ini.
"Papa kamu baru aja bisa tidur. Udah dua hari belakangan ini dia selalu gak bisa tidur kalau disini," Shelin meletakkan beberapa cemilan mahal di meja lantas duduk di sofa. "Kamu duduk sini, udah lama mama nggak ngobrol sama kamu,"
Farhan menoleh lalu duduk tepat di samping Shelin. Benar-benar sebuah kegiatan langka yang hampir tidak pernah ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking
Romansa(13+) Kirana Amanda, biasa dipanggil Ara. Gadis periang berumur 18 Tahun, harus menjalani sesuatu hal yang mungkin sulit untuk dilakukan untuk orang lain seumurannya, Menikah. Farhan Gibran, pewaris tunggal dari keluarganya yang menuntutnya untuk m...