Kilasan memorinya itu perlahan membuat Ara sadar, dan terbangun akan mimpi panjangnya. Tapi itu semua bukan mimpi, itu semua kenyataan pahit yang tersimpan di masa lalu.
Kelopak mata Ara perlahan terbuka, napasnya kembali berjalan normal seperti semula, telinganya juga mulai mendengar suara-suara di sekitarnya. Dan tubuhnya, entah mengapa, ia merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga seperti sudah tidur selama berhari-hari tanpa asupan makanan.
"Ara bangun! Beneran, Ara sadar!" teriak heboh seorang lelaki di samping Ara.
"Apaan sih, Yan? Lo udah ngomong begitu empat kali,"
"Tapi beneran, Rel, gue nggak boong, Ara beneran bangun, dia udah sadar!"
Sepertinya ucapan Ryan serius dan benar adanya, tidak seperti yang ia ucapkan tadi-tadi. Tapi Aurel harus mengeceknya terlebih dahulu, ia tidak ingin malu seperti tadi-tadi.
Bagaimana tidak? Tadi Ryan berteriak bahwa Ara sudah sadar. Dan tanpa memastikannya, Aurel langsung kelewat heboh memanggil belasan perawat yang berjaga. Dan ternyata zonk, Ara masih saja belum sadarkan diri, alhasil Aurel dijudesi para perawat yang tadi dipanggilnya. Dasar Ryan.
"Ayah! Turun, Yah!"
Shinta kehilangan arah, ia hanya bisa meringkuk dan menangis dalam sambil memeluk erat gadis kecilnya. Gadis kecilnya itu tak tau apa-apa, selain mengetahui ayahnya sudah di ambang kematian.
Ia melihat Bromo, ayah kandungnya, sedang berdiri di ujung jembatan reot dan menatap kosong aliran sungai yang begitu deras. Jelas sekali, selangkah saja Bromo maju, hilang sudah nyawa lelaki itu.
"Tolong, Yah. Mama sayang ayah, Bagas sayang ayah, dan Ara.. semua orang disini sayang ayah," ujar lemah anak lelaki berumur kisaran sepuluh tahun itu, ia sama rapuhnya dengan mamanya.
Tetapi Bromo tak menanggapinya. Ia justru semakin merenggangkan pegangan tangannya pada tali jembatan reot itu, bersiap akan jatuh ke aliran sungai yang curam itu.
Shinta jelas melihatnya, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Ara kecil yang belum tau apa-apa, tangisannya semakin kencang. Dia sangat rapuh.
"Maaf," ujar Bromo serak. "Sekali lagi maaf dan terima kasih,"
Bromo melepaskan genggaman tangannya pada tali pegangan di jembatan itu. Pria itu telah jatuh, jatuh terbawa arus, jatuh tenggelam di sungai yang curam.
Dan hilang. Semuanya hilang dalam hitungan detik. Tak ada sisa pesan ataupun wasiat yang ditinggalkan Bromo. Lelaki itu pergi tanpa meninggalkan sepatah pesan ataupun pelukan hangat kepada keluarganya, lelaki itu benar-benar pergi meninggalkan kesedihan yang mendalam.
Lagi dan lagi, Shinta hanya bisa menangis semakin dalam. Dan anak laki-lakinya, Bagas, hanya dapat menangis sambil menatap derasnya air yang telah menghanyutkan raga ayahnya.
Ara, gadis kecil yang saat itu masih berusia lima tahun hanya dapat terdiam. Ia benar-benar tak tau apapun, ia tak tau sebab apa yang membuat ayahnya berakhir tragis seperti ini. Yang ia tau hanyalah, ayahnya pergi meninggalkan keluarga kecilnya, sudah itu saja.
"Sssh," kepala Ara begitu sakit, berdenyut-denyut dan perih rasanya saat memori itu muncul di pikirannya.
Ryan dan Aurel sontak mundur saat dokter dan para perawat datang memeriksa keadaan Ara yang sudah sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking
Romance(13+) Kirana Amanda, biasa dipanggil Ara. Gadis periang berumur 18 Tahun, harus menjalani sesuatu hal yang mungkin sulit untuk dilakukan untuk orang lain seumurannya, Menikah. Farhan Gibran, pewaris tunggal dari keluarganya yang menuntutnya untuk m...