Malam semakin pekat. Hujan yang turun sejak tadi sore belum juga reda. Walau tidak se-deras saat Sarala berangkat tadi, tapi hujan yang kini rintik-rintik cukup membuatnya basah jika ia nekad menerobos.
Dia baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Di sebuah cafe klasik di pusat kota London. Dia bekerja sebagai barista. Menyajikan kopi kepada pelanggan. Itulah pekerjaannya setiap hari.
Sarala merapatkan mantel bulunya tatkala angin sepoi berembus menusuk kulitnya. Kulitnya yang pucat bersih kini semakin pucat. Nyaris menyamai warna salju. Bibirnya yang merah semerah darah sedikit bergetar. Pertanda ia tengah kedinginan. Sarala benci musim dingin, se-benci saat ia harus disuruh mengantar kopi ke dalam ruangan tertutup berisi pria hidung belang, atau se-benci saat ia dipaksa mencicipi telur busuk mentah oleh teman-temannya saat ia berusia delapan tahun.
Hidup miskin dan terhina memang menjadikannya bahan bulan-bulanan teman sekolahnya dulu. Saat itu, ia masih tinggal di daerah terpencil di kota Bath, Somerset bersama Paman dan Bibinya yang bekerja sebagai peternak sapi. Paman dan Bibinya sangat baik padanya. Semenjak insiden kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya saat ia berusia lima tahun. Paman Sam dan Bibi Rose-lah yang merawatnya. Memperlakukannya selayaknya anak kandung.
Tapi, saat berusia lima belas tahun Sarala pindah ke kota London. Sendirian. Karena, saat itu dia sudah benar-benar sendirian. Pada suatu malam, saat ulang tahunnya yang ke lima belas tahun ia bersama Paman dan Bibi-nya mengadakan pesta kecil-kecilan. Awalnya, semua berjalan baik dan lancar. Hingga, tiba-tiba tidak tahu dari mana asalnya sekelompok orang memasuki rumah sederhana mereka. Sekelompok orang yang memakai pakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup layaknya ninja. Hanya saja bukan samurai yang mereka bawa, melainkan senjata api laras panjang.
Bibinya menyuruhnya lari dan bersembunyi. Awalnya, Sarala enggan melakukannya. Tidak mungkin ia meninggalkan Paman dan Bibi-nya. Sementara, selama ini mereka sudah menjaga Sarala dengan baik.
Sarala ingat suara itu. Suara percekcokan antara Paman, Bibi, dan ketua kelompok berseragam hitam itu. Yang diakhiri oleh suara ledakan keras. Suara tembakan. Suara yang membuatnya terpisah dengan Paman dan Bibi-nya. Selamanya.
Sarala hampir jatuh dan menjerit bila ia kembali mengingat kejadian itu. Kejadian yang memaksanya harus pindah dari kota kelahirannya ke kota lain yang sama sekali belum ia kenali.
Sarala benar-benar tidak tahu siapa dan darimana orang-orang itu datang. Satu yang ia ingat. Si ketua kelompok memiliki bekas jahitan berwarna hitam hampir menyerupai bentuk bintang di kening-nya.
Hujan sudah reda. Menyisakan genangan air dan hawa dingin yang belum juga hilang. Sarala berniat meninggalkan halte yang sejak tadi menjadi tempat ia bernaung. Jemari lentik-nya meraih kantong plastik berisi buah-buahan yang ia beli tadi di toko tepat di sebelah cafe tempat ia bekerja.
Namun, baru se-langkah ia berjalan. Sebuah mobil merah metalik berhenti tepat di depannya. Nyaris mengenai genangan air yang berada tepat di depan halte. Jika saja mobil itu sampai melindas genangan air tersebut dapat dipastikan Sarala akan terciprat air dan bajunya basah.
Mata hijau se-tajam elang milik Sarala memicing tatkala jendela kaca mobil itu terbuka, menampakkan se-sosok pria tampan berbadan tegap di dalamnya. Pria itu tersenyum ke arah Sarala.
Sarala menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang lain. Hanya ada dia dan orang itu.
Sarala tersenyum setelah mengenali sosok itu. Senyum yang selalu mampu memikat semua orang.
Orang itu Almo. Pria berusia kisaran tiga puluh tahun salah satu pelanggan di cafe tempat ia berkerja. Almo tampan dan kaya. Hanya saja ia sudah memiliki istri dan dua orang anak.
"Mau ku antar pulang." ujar Almo menawarkan.
Sarala tahu. Almo tertarik padanya. Pria itu sering menggoda bahkan pernah meminta Sarala menjadi kekasih gelapnya. Dengan iming-iming Sarala akan diberikan rumah mewah, mobil, dan uang banyak. Hidup Sarala akan terjamin. Tapi, seperti pria-pria lain yang tertarik padanya, Sarala selalu menolak Almo. Bukan saja hanya karena pria itu telah memiliki keluarga. Tetapi, Sarala memang belum pernah tertarik pada pria manapun diusianya yang kini sudah menginjak delapan belas tahun. Lagi pula dia masih memiliki misi yang membuatnya tidak boleh terikat dengan siapa saja.
Sarala menolak dengan halus, "Tidak perlu. Rumah saya sudah dekat." Suaranya menggema merdu. Kemudian, gadis itu berjalan menjauh.
Melihat Sarala hendak pergi. Almo turun dari mobilnya. Pria itu mengejar Sarala.
Almo meraih tangan gadis itu. Tidak membiarkan Sarala pergi.
"Ayolah! Kenapa kau selalu menolakku?" ujar Almo. Ia menatap dalam penuh harap iris hijau Sarala.
Sarala balas menatap pria itu, "Karena aku tidak mau."
Sarala menghempas genggaman tangan Almo di tangannya. Namun, tidak bisa karena pria itu menggenggamnya sangat erat.
Sarala mendengus. Masih dengan suara tenang, Sarala berkata, "Lepaskan! Atau aku berteriak!" ancam Sarala.
Almo tersenyum smirk, "Tidak. Kau harus pergi bersamaku!" geramnya. "Lagi pula siapa yang akan peduli dengan teriakanmu tengah malam begini."
Sarala mendelik, "Tapi, aku tidak mau pergi bersamamu!" Sarala menatap Almo tajam. "Apa kau tidak mengerti?"
"Aku tidak peduli. Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan penolakanmu." ucap Almo yang sudah kehabisan kesabaran.
"Sudahlah lupakan saja. Kembalilah pada istrimu. Anak-anakmu membutuhkan Ayahnya."
Sarala kembali menghempaskan genggaman tangan Almo. Kali ini lebih keras. Dan berhasil. Sarala berjalan dua kali lebih cepat dari biasanya. Agar ia terhindar dari Almo. Tapi, pria itu belum juga menyerah. Almo masih mengikuti Sarala.
Lagi-lagi Almo mencegatnya, "Kau tidak akan bisa pergi dariku." Kali ini Almo memeluk Sarala dari belakang. Hari memang sudah larut, itu sebabnya jalanan menuju rumah Sarala sangat sepi. Hanya suara ranting pohon yang saling bergesekan dan suara binatang malam yang sesekali terdengar.
"Pergilah! Atau kau akan menyesal." ucap Sarala dengan nada datar.
"Aku tahu sebenarnya kau juga menginginkanku. Tidak usah munafik." Almo memeluk Sarala semakin erat. "Katakan apa yang kau inginkan. Aku akan memberikannya." Almo terus merayu.
"Kau mengusikku Almo." gumam Sarala pelan. Namun, Almo tidak menghiraukannya. Pria itu terus menghirup aroma mawar yang menguar dari tubuh gadis itu. Tanpa mengetahui perubahan wajah Sarala.
"Bagaimana? Ayolah Sarala. Puaskan aku untuk malam ini saja. Apapun yang kau minta akan aku berikan."
Sarala berpikir sejenak. Pria ini benar-benar kelas kepala. Dan Sarala tahu bagaimana menghadapi pria semacam ini.
"Apapun?" Sarala tersenyum misterius.
Mendengar Sarala memberikannya lampu hijau, Almo menghentikan kegiatannya mencumbui punggung Sarala. "Ya, Apapun." Pria itu tersenyum puas penuh kemenangan.
"Baiklah. Sekarang lepaskan aku." ucap Sarala.
"Kau tidak akan lari?"
"Tidak akan."
Almo melepaskan tubuh Sarala dengan puas. Tidak melepaskannya sepenuhnya. Ia masih waspada jika gadis ini bisa saja lari darinya. Pria itu memeluk pinggang Sarala dari samping. Kemudian berjalan menuju mobilnya dengan perasaan memuncah.
Lain halnya dengan Sarala. Gadis itu, memasang ekspresi datar. Mata hijaunya menatap tajam ke depan.
Tanpa Almo sadari. Selama beberapa detik, mata hijau Sarala berubah warna. Menjadi hitam. Dengan seulas senyum mengerikan menghiasi bibir ranumnya.
*****
Bagaimana menurut kalian? Dilanjut enggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarala Fioriele [TAMAT]
Mystery / ThrillerDia bernama Sarala Fioriele. Usianya baru delapan belas tahun. Gadis cantik dengan mata hijau se-tajam elang. Siap mengawasi siapa saja yang mengusik hidupnya. Di hari sekarang atau pun di masa lalu. Tidak akan melepaskan siapapun yang bersalah. Kau...