Koma

1.8K 99 3
                                    

Mata Sarala perlahan terbuka. Ruangan serba putih dan bau antiseptik yang pertama kali menyambutnya saat dia sadar.

Wanita itu mencoba duduk. Tak berapa lama, Sarala teringat akan Diven. Astaga! Bagaimana keadaan Diven sekarang?

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sarala melepas selang infus dari tangannya kemudian berlari keluar.

Seorang suster yang melihatnya langsung mengejar Sarala.

"Kau belum pulih betul." ucap suster itu setelah berhasil mengejar Sarala.

"Tidak penting dengan diriku suster. Yang aku pedulikan saat ini adalah suamiku. Bagaimana keadaannya? Di mana dia sekarang?" tanya Sarala dengan berderai air mata. Ia takut, sangat takut jika Diven meninggalkannya.

"Maksud nyonya tuan Diven?"

Sarala mengangguk.

"Dia ada di ruang ICU."

Tanpa menunggu lagi, Sarala langsung berlari menuju ruangan tersebut.

Di depan pintu ruang ICU Sarala bertemu dengan Kezio yang duduk di kursi roda. Ternyata bukan hanya lengan pria itu yang patah, tapi kakinya juga. Nyali Sarala menciut saat pandangannya bertemu dengan pandangan Kezio mengingat kejadian kemarin.

Tidak seperti yang Sarala pikirkan. Kezio menyambut Sarala dengan senyuman-walau terkesan dipaksakan.

"Dia koma, " ucap Kezio. "dan mungkin tidak akan bertahan dalam waktu yang lama."

Sarala menghela napas berat. Ia sudah menduga hal ini. Apa lagi yang terjadi pada Diven kalau tidak mendekati kematian setelah terkena racun dari pisau itu.

"Maafkan aku. Ini semua salahku." ucap Sarala.

Kezio mendorong roda menggunakan tangan kirinya yang sehat untuk mendekati Sarala yang kini berjongkok sembari menangis.

Kezio mengelus rambut Sarala lembut. "Ini bukan salahmu. Kerakusan ku pada harta dan kekuasaanlah yang menimbulkan malapetaka ini."

Sarala mengangkat wajahnya. Ia menatap Kezio sendu.

"Kau benar. Ini memang salahmu. Kenapa kau menghancurkan orang lain hanya demi dunia yang sebentar ini?"

"Maafkan aku. Aku berjanji akan menembus semua kesalahanku." ujar Kezio lembut. "Tapi, ketahuilah bukan aku yang membunuh Paman dan Bibimu. Kematian kedua orang tuamu pun bukanlah salahku."

"Maksudmu?"

Kezio tersenyum, kemudian menepuk bahu Sarala. "Pergilah temui Diven dahulu."

Sarala mengangguk. Namun, saat melihat Diven dari kaca pintu ia mengurungkan niatnya.

Kezio menatap Sarala bingung.

"Kenapa tidak jadi?"

"Dia tidak akan bertahan lebih lama lagi." ujar Sarala. "Aku harus pergi! Aku harus segera pergi!"

Dengan gerakan cepat, Kezio menahan tangan Sarala yang hendak berlari.

"Kau mau ke mana? Apa yang akan kau lakukan?" tanya Kezio bingung.

"Tubuh Diven mulai membiru. Ia tidak akan bertahan lebih lama lagi. Aku harus mencari cara untuk mendapatkan ramuan penawar racun itu. Dia tidak akan selamat jika hanya seperti ini."

Seluruh saraf Kezio seakan melemah mendengar ucapan Sarala. Ia melepaskan tangannya dari tangan wanita itu.

"Pergilah. Aku mohon selamatkan putraku. Hanya dia keluargaku yang tersisa."

Sarala mengangguk. "Aku akan berusaha." ucapnya kemudian tanpa menunggu waktu lebih lama lagi ia pergi menuju rumah bibi Alicia.

***

Sarala terbatuk saat menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Tempat ini sangat kacau. Barang-barang berserakan di mana-mana.

Sarala yakin. Pasti ada ramuan penawar untuk racun itu.

Ia berjalan menuju lemari tua tempat penyimpanan ramuan. Tapi, ia tidak menemukannya di sana.

Sarala frustrasi. Ia harus cepat. Kalau tidak, Diven tidak akan selamat.

Wanita itu teringat akan buku kuno yang pernah Alicia tunjukkan padanya. Buku yang membahas tentang ramuan kuno.

Sarala kemudian mengambil sebuah kursi kayu yang terletak di lantai dengan posisi terbalik. Ia menempatkan kursi itu di depan lemari. Ia ingat bibi Alicia selalu menyimpannya di atas lemari. Sarala pun menaiki kursi itu. Ia mendongak ke atas lemari, dan ia pun melihat sebuah buku kuno bersampul merah yang telah berdebu. Sarala pun mengambilnya, kemudian turun.

Lembar demi lembar Sarala baca dengan teliti. Tepat di halaman tiga puluh akhirnya Sarala menemukan cara membuat ramuan penawar untuk racun tersebut.

Tanpa menunggu lagi, Sarala langsung berlari ke atas. Ia harus ke dalam hutan untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan.

Sementara, di rumah sakit. Diven mengalami sesak napas yang amat parah. Seluruh badannya mulai membiru. Semua orang yang melihatnya merasa panik. Dokter sangat heran melihat kondisi Diven. Belum pernah ia melihat sakit seperti ini sebelumnya. Apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan pria ini.

Dari luar kaca pintu, Kezio menatap Diven nanar. Ini semua salahnya. Lagi-lagi ia membuat putra satu-satunya itu menderita. Tanpa sadar air matanya jatuh. Ia tak hentinya berdoa. Ia berharap Sarala segera datang membawa obat penawar untuk Diven.

***

Sedikit demi sedikit menuju End...

Sarala Fioriele [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang