Siasat Sarala

2.1K 139 2
                                    

Kring...kring...kring.... Suara bel rumah Diven.

Diven mengernyit bingung. Siapa gerangan yang datang pagi-pagi begini ke rumahnya. Sungguh tidak biasa ada orang yang mengunjunginya pagi-pagi.

Kring....kring...kring...

"Iya. Sebentar." ucap Diven sembari berjalan cepat menuju pintu.

Membuka pintu, Diven terkejut melihat Sarala berdiri di depannya. Dengan setelan baju sederhana. Namun, begitu memukau jika dipakai olehnya.

"Hai, Diven." ucap Sarala melambaikan tangannya, memandang Diven yang diam tanpa berkata-kata. Mungkin pria ini terlalu terkejut akan kedatangannya.

"Eh," Diven terkesiap. "Dari mana kau tahu alamatku?"

"Aku bertanya pada Paman Korest." jawab Sarala menyebut nama bos-nya di cafe, yang merupakan Paman Diven.

Diven hanya mengangguk mengerti. Ia merasa senang dan juga bingung. Ia senang Sarala datang ke rumahnya. Tapi, ia juga bingung. Untuk apa gadis itu mengunjunginya. Apalagi ini masih pagi.

"Kau tidak mempersilahkan ku masuk?" tanya Sarala."Atau, apa aku menganggumu?"

Cepat-cepat Diven menggeleng. "Tidak, bukan begitu. Justru aku senang kau mengunjungiku. Kau tidak mengangguku sama sekali."

Pria itu, Diven, mempersilahkan Sarala masuk. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu.

Sarala menatap sekeliling rumah mewah Diven.

"Kau tinggal sendiri di sini?" tanya Sarala penasaran.

"Tidak juga. Ada pelayan disini." ucapnya kemudian meminum kopi yang baru saja dihidangkan pelayan.

"Memangnya orang tuamu dimana?"

"Ayahku disini, di London. Hanya saja aku tidak suka tinggal bersamanya."

"Kenapa?"

"Begitulah. Sulit untuk dijelaskan."

"Lalu ibumu?"

"Dia sudah meninggal. Saat aku berusia sepuluh tahun."

Sarala tertegun mendengarnya. Dari nada suara Diven. Pria itu seperti memendam rasa sakit yang besar.

"Maaf." ucap Sarala. Ia menyesal menanyakan hal itu.

"Tidak masalah. Sudah seharusnya kau tahu." Diven mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia memang tidak suka jika membahas tentang keluarganya. "Ngomong-ngomong. Kenapa kau datang kemari? Apa ada yang penting?"

Diven memandang Sarala lekat. Menunggu jawaban gadis itu.

"Oh.. iya. Aku sampai lupa." Sarala mengambil sesuatu dari dalam paperbag yang ia bawa. "Aku hanya ingin memberikan ini padamu."

Sarala menyodorkan barang tersebut kepada Diven.

"Apa ini?" tanya Diven bingung.

"Lihat saja."

Lagi-lagi Diven bingung. "Syal?" Ia menatap Sarala dengan dahi mengernyit.

"Iya. Sebentar lagi musim dingin akan tiba. Kau pasti membutuhkannya. Aku membuatnya sendiri. Khusus untukmu."

Diven tidak dapat memungkiri, kalau dia sangat bahagia mendengar Sarala membuatkan syal untuknya. Khusus untuknya.

Tapi, ada satu hal yang membuat ia masih bingung. "Kenapa tiba-tiba kau membuatkanku syal? Aku sedang tidak berulang tahun."

"Aku membuatnya sebagai tanda terima kasihku padamu karena waktu itu telah menghiburku dan membawaku jalan-jalan. Walau tidak mahal, tapi ku harap kau suka dan mau menerimanya. Sekaligus," Sarala menggantung kalimatnya.

"Sekaligus?"

Sarala menghela napas, kemudian mengembuskannya pelan. "Sekaligus hadiah selamat tinggal."

Diven merasa ada yang tidak beres di sini. "Apa maksudmu sebagai hadiah selamat tinggal?" Pria itu mulai merasa tidak tenang.

"Aku berniat kembali ke kota kelahiranku."

Deg. Tiba-tiba jantung Diven berdetak berkali-kali lipat lebih cepat. Sarala berniat pergi. Itu artinya ia tidak akan melihat gadis itu lagi di kota ini.

"Kenapa kau ingin pergi?" Suara Diven jelas menyiratkan bahwa ia tidak suka mendengar niat Sarala tersebut.

"Aku bosan di kota ini. Kau tahu sendiri aku tidak punya siapa-siapa disini. Aku merasa kesepian. Di kota kelahiranku, setidaknya masih ada beberapa saudaraku."

Sarala menjelaskan alasannya. Walau sebenarnya ia berbohong tentang saudaranya. Nyatanya ia tidak punya siapa-siapa lagi di kota kelahirannya.

"Kau tidak boleh pergi!" ucap Diven tegas.

Ucapan itu meluncur dengan sendirinya. Sebenarnya ia merasa konyol karena telah mengatakan itu. Memangnya dia siapa hingga melarang Sarala pergi. Tapi, ia sudah bertekad tidak akan membiarkan gadis itu pergi. Bagaimana mungkin ia bisa hidup tanpa gadis yang ia cintai ada di sekelilingnya?

"Maksudmu?" tanya Sarala terkejut. Kenapa Diven melarangnya pergi?

"Jika alasanmu untuk pergi hanya karena kesepian kau tidak perlu pergi. Di sini aku akan menjagamu, melindungimu dan memastikanmu bahagia." ucap Diven pasti.

"Aku masih tidak mengerti."

Tiba-tiba Diven mendekatkan diri kepada Sarala. Ia menggenggam lembut tangan gadis itu.

Menatap mata Sarala lekat, Diven berkata, "Menikahlah denganku. Dan aku akan membahagiakanmu."

Sarala terkejut. "Menikah?"

"Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi, aku serius benar-benar mencintaimu. Jadi ku mohon jangan pergi dan menikahlah denganku."

Sarala tertegun. Ia berpikir beberapa saat. Memaknai setiap ucapan Diven. Sementara, pria itu, menunggu jawaban Sarala dengan cemas. Takut Sarala akan menolak.

Sekali lagi, mata mereka beradu. Sarala mencari kebohongan di mata Diven.

"Bagaimana Sarala? Ku mohon."

Setelah merasa yakin. Sarala mengangguk. Ia menerima lamaran Diven.

Pria itu tidak dapat menahan senyum bahagianya. Dengan perasaan membuncah, ia menarik Sarala ke dalam pelukannya.

"Secepatnya kita akan menikah. Akan ku buatkan pernikahan yang meriah untukmu. Aku berjanji akan membahagiakanmu." ucap Diven di dalam pelukan Sarala.

"Iya aku percaya padamu." ucap Sarala.

Senyum Diven semakin lebar. Ia mempererat pelukannya pada Sarala.

Sementara, Sarala di dalam hati berteriak menang. Akhirnya, siasatnya berhasil. Ia tahu Diven sangat tertarik padanya. Itu sebabnya ia pura-pura datang ke sini memberi hadiah perpisahan. Ia tahu Diven tidak akan membiarkan nya pergi. Itu ia jadikan sebagai pancingan. Agar Diven mengutarakan perasaannya. Dan ia, bisa masuk lebih jauh lagi ke dalam kehidupan pria itu.

*****

Bagaimana menurut kalian part ini?

Jangan lupa tinggalkan voment ya readers yang baik!

See U di part selanjutnya.





Sarala Fioriele [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang