Pertengkaran

2.1K 120 4
                                    

Hari ini, seperti biasa, Sarala bekerja di cafe. Walau sebenarnya, Diven sudah melarangnya bekerja. Menyuruh gadis itu untuk fokus pada pernikahan mereka saja. Pernikahan yang akan digelar secara meriah dua minggu lagi. Tetapi, Sarala menolak. Ia tetap ingin bekerja, setidaknya untuk terakhir kalinya selama seminggu.

"Pesanan anda tuan. Silahkan diminum." ucap Sarala sembari meletakkan segelas kopi hitam di atas meja.

Sarala permisi pergi, tetapi pria muda yang baru saja ia suguhi minuman itu meraih tangannya. Tidak membiarkan Sarala pergi secepat itu.

"Buru-buru sekali. Tidak bisakah kita berkenalan dulu." ucap pria itu.

Meski sebenarnya tampan, tetapi Sarala tidak suka. Apalagi cara pria itu menatapnya, sangat membuat Sarala merasa tidak nyaman.

Karena menghormati tamu, Sarala melepas tangannya dengan lembut. Sebisa mungkin tidak membuat pria itu tersinggung.

"Maaf. Tapi, saya masih punya banyak pekerjaan yang harus saya lakukan."

Sarala hendak pergi. Namun, pria itu berdiri dan lagi-lagi menahan Sarala.

"Tidak usah takut. Cafe ini milik Pamanku. Dia tidak akan marah padamu kalau aku yang menyuruhmu." ucapnya lembut mencoba merayu Sarala.

"Tapi," Sarala bingung ingin menjawab apa.

"Ayolah. Aku hanya perlu berbincang sedikit denganmu."

Sarala tahu, pria ini tertarik padanya. Terlihat jelas, saat pria itu menatapnya.

Sarala sangat ingin menolak. Tetapi, ia bingung bagaimana menolak pria ini dengan cara halus.

Pria itu masih memegang tangan Sarala. Hingga tiba-tiba Diven datang entah sejak kapan, dengan wajah yang diselimuti api emosi.

Dia melayangkan satu pukulan mentah ke wajah pria itu. Membuat genggaman tangannya di tangan Sarala terlepas.

Diven mencengkeram erat kerah baju pria itu.

"Apa kau belum puas merebut Jeslyn dariku. Sehingga kau masih ingin merebut milikku yang lain." bentak Diven ke arah pria itu.

Sekali lagi, Diven meninju wajah pria itu. Sehingga, keluar darah dari sudut bibirnya.

Tidak mau kalah pria itu melepas cengkeraman Diven dari kerah bajunya. Ia membalas dengan memukul keras perut Diven.

Diven meringis, dan dengan kekuatan penuh ia menendang pria itu. Hingga, pria itu terhempas ke meja yang di duduki oleh sepasang kekasih. Meja itu hancur, berikut benda-benda di atasnya.

Para tamu berhamburan keluar. Tidak mau ikut terluka oleh pertengkaran ini.

Sarala sudah berteriak berulang kali, menyuruh Diven dan pria tersebut berhenti. Namun, baik Diven ataupun pria tersebut tidak ada yang mau berhenti. Seperti ada dendam yang merasuk di antara dua pria itu.

Putus asa, Sarala berlari ke belakang. Memanggil Paman Korest, bos-nya, untuk melerai pertengkaran mereka.

Saat Korest tiba, pertengkaran terus berlanjut. Baku hantam di antara dua pria itu tidak juga berhenti. Sementara, keadaan cafe sudah benar-benar hancur.

Melihat itu, Korest tidak tinggal diam. Dia tidak akan membiarkan siapapun merusak cafe yang selama ini ia perjuangkan. Walau orang itu anak dari sahabatnya sekalipun.

Korest berlari ke depan cafe. Di sana ada sebuah selang air yang sangat panjang terhubung dengan keran air di depan cafe, biasanya digunakan untuk menyiram bunga.

"Diven! Aland! Berhenti!" teriak Korest, tapi anak dari sahabat-sahabat nya itu tetap tidak mau berhenti.

Di tangannya sudah ada selang air tersebut. Pria setengah baya dengan jenggot yang hampir memutih itu, melirik Sarala. Memberi kode agar Sarala menyalakan keran air.

Sarala mengerti, ia mengangguk kemudian pergi ke depan cafe dan menyalakan keran. Setelah itu dengan cepat ia kembali ke tempat Diven berkelahi.

Terlihat, Korest tengah menyemprot Diven dan pria asing tersebut dengan air. Membuat, kedua pria itu kaget dan seketika berhenti berkelahi. Pakaian mereka basah kuyup.

Melihat itu dengan segera Sarala menghampiri Diven. Menariknya menjauh dari pria tersebut.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Sarala sembari memeriksa wajah Diven yang sedikit lebam.

Kejadian itu tidak terhindar dari pandangan pria yang baru berkelahi dengan Diven tersebut.

Ia berdecih. Memandang sinis Diven.

"Aland, pulanglah. Jangan membuat kekacauan di cafeku. Aku akan membicarakan ini pada Ayah kalian." suruh Korest.

Aland menurut. Ia pergi. Namun, saat melewati Diven dan Sarala, pria itu membisikkan sesuatu.

"Ini belum selesai." Kemudian pergi meninggalkan cafe.

"Kau mengenal orang itu?" tanya Sarala pada Diven.

"Dia sahabatku. Tepatnya, mantan sahabatku. Aland. Dia memang selalu iri padaku. Ia terobsesi mengambil apa yang aku punya." ucap Diven sedikit meringis karena rasa sakit di wajahnya.

Sarala hanya diam, mencoba memahami ucapan Diven.

"Sarala, bawa Diven pergi. Obati lukanya." ucap Korest masih sedikit kesal karena cafenya hancur.

Sarala mengangguk. "Baik, sir."

"Satu lagi. Besok kau tidak perlu datang berkerja lagi."

"Tapi, sir. Aku,"

Diven memotong ucapan Sarala. "Sudahlah itu memang yang terbaik." Kemudian, Diven menarik Sarala keluar cafe.

Setelah kepergian Diven dan Sarala, Korest menyuruh seluruh pelayan cafe yang sejak tadi hanya menonton untuk membereskan kekacauan ini.

"Ada-ada saja, mereka. Aku harus bicara dengan Ayah mereka." gumam Korest, kemudian pergi menuju ruangannya.

.....

Kayaknya Diven bakalan ada saingan nih.

Bagaimana pendapat kalian mengenai part ini?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah, readers yang baik.

Sarala Fioriele [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang