📎 O2

12.7K 1.7K 244
                                    

Setelah salat subuh, gue melipat mukena dan memasukkannya ke dalam lemari. Belum selesai gue melipat, tetapi di luar rumah sudah ada yang berteriak salam.

"Assalamu'alaikum!"

Gue mendengar suara salam dari arah luar, buru-buru gue ambil jaket untuk menutupi lengan gue yang terekspos dan berjalan keluar untuk menghampiri tamu subuh itu.

"Assalamu'alaikum!" serunya lagi.

"Wa'alaikumsalam! Eh, Mas Juan. Ada apa pagi-pagi ke rumah?" tanya gue keheranan setelah menyapa dan membalas salamnya.

Gue bisa lihat Mas Juan menatap gue tanpa berkedip. Ia terkejut sekaligus melongo. Kemudian dia memejamkan matanya dan mengalihkan pandangannya.

"Astagfirullahal'adzim, Aya! Mana kerudungnya?" ia bertanya dengan nada yang penuh penekanan.

Setelah ia berbicara seperti itu, tangan gue meraba kepala dan DEG! Lah?! Iya ya! Gue nggak pake kerudung!

Astagfirullah, Aya! Bardosa banget!

"EH! NANTI DULU, MAS!!! SAYA AMBIL KERUDUNG DULU!!! JANGAN PERGI DULU, MAS!!!"

Gue buru-buru berbalik dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil dan memakai kerudung. Duh! Malu banget gue, asli deh! Astagfirullahal'adzim, khilaf gue! Biasanya gue nggak ada malu, baru sekarang gue punya malu. Bukan, lebih tepatnya malu-maluin.

Tidak lama kemudian gue keluar sambil merapikan kerudung yang sudah gue pakai. Dengan kikuk, gue berjalan menghampiri Mas Juan yang berdiri di depan pagar rumah. Untung masih gelap, jadi Mas Juan tidak akan bisa melihat rona pipi gue.

"Ada apa ya, Mas?" tanya gue heran karena subuh-subuh dia sudah mampir ke rumah.

"Ini dari Mama, undangan nikahnya Mbak Kalila sama Mas Mada," jawab Mas Juan seraya menyodorkan sebuah undangan berwarna biru muda dan pink itu.

Gue menatap kertas undang itu dengan rasa penasaran yang tinggi. Dengan segera gue mengambil dan membaca tulisan pada undangan itu.

"Widih! Mbak Kalila mau nikah ya?! Saya nggak tau nih bisa dateng apa nggak," seru gue heboh. Maklum aja gue jarang diajak buat dateng kondangan, biasanya gue bagian yang ditinggal di rumah. Dengan embel-embel jaga rumah. Lagi pula tidak ada harta berharga di rumah, apa yang perlu dijaga?

Gue ... Kok kaya apatis banget?

"Mas Juan! Ngapain berduaan sama Kakak?!" seru suara seorang laki-laki dari ujung jalan.

Refleks gue dan Mas Juan menoleh ke sumber suara itu yang tidak enak didengar. Ternyata itu Januar yang baru kembali dari mushola sambil mengalungkan sarung pada lehernya.

"Eh Gingsul, mana Si Bulet?!" tanya gue pada Januar. Seperti biasa, jika gue bertanya pada Januar atau Jauzan, nada yang gue pakai bisa lebih judes dan ketus.

"Tuh lagi main maling-malingan sama Davian," jawab Januar lalu menunjuk ke arah mushola dengan jempolnya.

Hah?

Maling-malingan? Mainan apa itu?

"Siapa yang jadi malingnya?" Mas Juan ikut nimbrung dipercakapan tidak penting gue dan Januar.

"Ujan sama Davian," jawab Januar santai.

"Terus yang dimaling siapa?"

"Ya nggak ada. Mereka cuma kejar-kejaran nggak jelas tapi sarungnya dipake nutupin muka kaya ninja gitu. Paham nggak?" jawab Januar. Gue menatap Januar dengan pandangan tak habis pikir.

"PAK USTADZ!!! JAUZAN MAU MALING KOTAK AMAL MUSHOLA!!!"

Gue refleks menepuk kening setelah mendengar teriakan Davian tentang Jauzan yang mau maling kotak amal mushola. Miris banget, kenapa punya adik begini. Kalau dijual ke toko online laku nggak ya?

Melamar ➖ Jung Jaehyun [DISCONTINUE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang