"Aku juga sayang sama, Mas."
Malam itu untuk pertama kalinya gue mengungkapkan perasaan gue pada Mas Juan.
***
Keduanya duduk santai di sofa ruang keluarga ditemani dengan secangkir teh sambil membicarakan apa saja yang bisa mereka bicarakan. Dengan posisi Aya yang bersandar pada dada suaminya dan Juan yang merangkul pundak istrinya, mereka membicarakan mengapa tepat di atas TV dindingnya kosong.
"Kenapa dinding di atas TVnya kosong banget?" tanya Aya sambil menatap dinding yang kosong itu dengan pandangan heran.
"Sengaja, buat majang foto pernikahan kita. Makanya saya kasih space agak lebar," jawab Juan santai yang juga ikut memperhatikan space kosong pada dinding itu. Ia membayangkan seperti apa nanti foto pernikahannya dengan Aya yang membuatnya jadi senyum-senyum sendiri.
Aya hanya mengangguk kemudian kembali bertanya, "Berapa kamar ini, Mas?"
"3 kamar. Satu kamar utama, 1 kamar anak, 1 kamar tamu," jawab Juan.
"Udah disiapin aja kamar buat anak ya. Punya juga belum," sindir Aya dengan nada jenakanya. Sejujurnya ia cukup terkejut mendengar jawaban Juan yang ternyata sudah menyiapkan kamar khusus untuk anak mereka kelak.
"Oh jelas, sedia payung sebelum hujan. Biar nanti kalau kamu lahiran terus anak kita tumbuh dewasa, dia sudah punya kamar sendiri. Nggak ganggu ayah sama bundanya lagi," jawab Juan kemudian ia menoleh untuk menatap sang istri kemudian mengecup pipinya.
"Mas emang mau punya anak berapa?" tanya Aya lagi.
"How about two childs?" Juan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk angka dua pada Aya.
"Program Keluarga Berencana ya?" balas Aya sambil menatap Juan dengan polos.
"Nggak sih, tapi dua saja dulu. Maunya laki-laki dan perempuan, tapi terserah Allah mau ngasihnya gimana," jawab Juan sambil mengangkat kedua bahunya.
Aya melotot kaget, "Oh jadi ada niat buat nambah anak?!" serunya sambil menjauh dari tubuh Juan.
"Ya nggak gitu, sayang. Kita kan cuma usaha, kalau Allah ngasih tiga, ya tiga. Mau gimana?" Juan menggeleng. Lagi-lagi ia tersenyum.
Aya diam kemudian ia kembali bengingsut mendekati Juan dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya lagi. "Tapi aku nggak bisa kalau sekarang-sekarang ini. Habis lebaran, aku udah masuk kuliah semester 5. Sibuk banget, terus semester 6 PKL sambil bikin TA terus sidang baru wisuda," lirih perempuan itu yang merasa tidak enak yang harus mengesampingkan soal anak karena masih di tahap pendidikan.
"Iya, saya paham. Saya ngikutin kamu aja maunya gimana, mau punya anak 2 tahun lagi ya nggak apa-apa. Sabar," Juan menjawab dengan tenang. Ia makin merapatkan tubuh Aya ke tubuhnya sambil sesekali mengusap lengan istrinya.
"Makasih udah mau ngertiin aku," ujar Aya dengan tulus.
"Sama-sama."
Juan mengecup kening Aya lama.
"Kalau aku PKL, nas Juan mau ikut aku PKL juga?" tanya Aya lagi.
Laki-laki itu menggeleng, "Nggaklah, kan kamu lagi magang. Saya disini aja, jagain rumah."
"Emang bisa masak? Beberes rumah?" Aya memanding Juan dengan pandangan remeh.
"Bisa dong. Jangan remehin suamimu, Ya. Tanya mama, aku jago masak kok. Jadi selama kamu pergi, aku nggak akan kelaparan," Juan menjawab dengan yakin disertai dengan senyum lima jari yang membuat Aya gemas dan langsung menarik pipi suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melamar ➖ Jung Jaehyun [DISCONTINUE]
Fanfiction[DISCONTINUE] Setiap pulang ke rumah, hal yang paling sering ditanyakan oleh kedua orangtua Aya adalah, "Kak, kamu di Sukabumi beneran nggak punya pacar?" Awalnya Aya menganggap itu semua hanya candaan tapi ternyata malah semakin sering ditanyakan...