Cassandra, tidak ingin jika dirinya harus menikah dikarenakan perjodohan, karena menurutnya menikah itu harus atas dasar cinta.
Tapi, ia juga tidak tau jika takdir telah membuatnya harus menjalani pernikahan dengan orang yang sempat dijodohkan denga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hal yang seharusnya selalu dipertimbangkan oleh setiap manusia adalah perasaan dan emosinya. Karena terkadang emosi sesaat bisa menyesatkan dan membuatmu terkujut pada suatu kondisi yang berat.
🍁
Semalam, aku tidak terlalu mengingat awal mula kegelisahan yang kini menyambut pagiku. Aku yang tergegau dalam kondisi tubuh masih terbalut oleh selimut serta Amar yang berada di sampingku, kemungkinan dalam kondisi yang sama persis juga denganku.
Tatapanku sedikit kosong, aku masih belum bisa berpikir jernih tentang apapun. Namun, di hatiku tersirat sesuatu yang membuatku merasa aneh. Perlakuan Amar semalam, tidak mungkin hanya atas dasar keinginannya tapi aku merasa dia jelas membutuhkannya untuk alasan tertentu.
Sehabis perdebatannya dengan Rumi semalam, Amar tidak banyak menunjukkan ekspresi. Ia hanya lekas bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya, dan begitu aku juga berjalan masuk ke dalam kamar. Barulah ia mengatakan sesuatu, menggodaku dan berakhir pada kami yang sama-sama melakukannya bersama-sama.
Bagiku ini adalah kali pertama aku merasakannya, aku memang belum menyadari apapun. Hingga aku melihat Amar berbalik padaku, tentu saja dengan mata yang tertutup.
Amar tampak tertidur begitu nyenyak, suasana wajahnya begitu ceria meski sedikit aku mendengar suara bisikan kala ia menyebutkan sebuah nama.
"Ayu..."
Sejenak, aku paham. Amar masih sangat mencintai Ayu, dan baginya mungkin tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Ayu di hatinya.
Aku yang telah datang di kehidupannya, mungkin hanya akan menjadi pengisi dari segala kebutuhan hidupnya. Kau taukan? Aku menikahinya untuk alasan apa, dan mungkin juga Amar mempunyai satu alasan untuk menikahiku, seperti kalimat yang telah ia terangkan di ujung perdebatannya bersama Rumi.
Mataku tercelik lagi seusai membayangkan sesuatu, baru saja akan menurunkan kakiku ke lantai agar secepatnya bisa bergegas pergi ke kamar mandi. Aku hanya tidak terbiasa seperti ini dalam kurung waktu yang lama, dan aku juga tidak ingin menghilangkan jejak yang telah membekas akibat pergulatanku dengan Amar semalam.
Begitu kutelah selesai membersihkan seluruh tubuhku, aku segera melangkah keluar dari dalam kamar mandi dengan balutan jubah mandi berwarna biru yang biasa kupakai.
Aku masih melihat Amar tertidur di atas tempat tidur, dan aku ragu jika Amar sudah mengambil cuti mulai hari ini. Karena setauku, aku baru akan menjalani operasi besok. Amar mungkin masih harus bekerja sampai hari ini.
"A-amar..."
Panggilanku terdengar begitu pelan sehingga membuat Amar hanya bergerak kecil tanpa merespon dengan membuka kelopak matanya.
Aku tersenyum miring, sepertinya harus ada yang kuperbuat untuk membangunkannya. Tapi bukan sekarang, aku harus mengganti pakaianku dulu.
Setelahnya, aku kembali lagi. Kali ini aku mencoba satu cara untuk membangunkan Amar, kedua tanganku bergerak untuk menggengam satu tangan kanannya dan perlahan menariknya hingga ke batas tepi ranjang.
Amar masih juga tidak terbangun, aku sudah frustasi. Badanku juga terlalu lemah untuk mengangkatnya, dan tidak tega jika harus menyiram wajahnya dengan air.
Namun, aku tidak bisa terus begini. Jika Amar terlambat kerja lagi. Maka ia akan pulang larut malam lagi, dan pastinya ia akan kelelahan sampai tak bisa mengantarku besok.
Aku memandangi wajahnya yang tampak teduh seperti biasanya. Bibirku seperti tergerak untuk maju ke depan, dengan usahaku melawan pikiran liar ini. Aku berusaba menahannya dengan tanganku dan mengulum bibirku rapat-rapat.
Bunyi detak jantungku kini terdengar tidak karuan, hampir saja aku mengeluarkan suara teriakanku saat berada di dekatnya Amar. Aku menjadi merasa begitu bingung, berniat ingin membangunkan Amar tapi justru hanya bisa melakukan pergerakan yang sia-sia.
Sambil berharap-harap cemas agar Amar lebih dulu terbangun sebelum aku benar-benar melakukan hal gila untuk membangunkannya. Hal gila yang sekilas terpikir di dalam otakku, untuk mencium dahinya supaya Amar bisa cepat terbangun.
Tanganku bergerak menepuk dahiku dengan keras, dan membuat Amar yang berada dalam jarak terdekat denganku sedikit tersentak. Ia mulai terbangun, dengan mata yang menyipit dan menatap kepadaku.
"Mengapa kamu melakukan itu?" ucapnya perlahan dengan lembut, tangannya bahkan bergerak untuk memegang tangan kiriku yang sempat bersarang di dahi untuk beberapa saat. "Dahimu merah. Kenapa kamu menepuknya dengan sangat keras?"
"A-aku hanya ingin membangunkanmu," seruku dengan malu-malu, karena jelas aku mengetahui bahwa dahiku telah memerah dan mulai terasa sakit akibat tepukan yang cukup keras itu.
Amar menggelengkan kepalanya dengan pelan, tangannya yang tadinya menggengam erat tangan kiriku kini perlahan telah terlepas. Lalu, tubuhnya perlahan maju ke depan hingga bibirnya itu berhasil mengecup dahiku yang memerah. Kecupan singkat itu membuat tubuhku bergetar karena sengatan yang begitu menyenangkan.
"Supaya cepat sembuh," ujarnya kemudian kembali ke posisi semula dan bergegas turun dari atas ranjang.
Awalnya aku berpikir bahwa Amar tidak akan mengenakan apapun di balik selimutnya tadi, tapi kembali dia menyadarkanku akan fakta sebenarnya, bahwa otakku yang telah terkontaminasi pikiran menjijikkan itu harus segera disingkirkan secepatnya.
Sambil mengucek mataku, aku menghela napas berat dan menggelengkan kepalaku lalu menyeka keringat di keningku.
Amar berbalik. "Kamu sudah mandi?"
"Sudah."
"Sayang sekali, padahal kita bisa mandi bersama."
Hampir saja aku berteriak kencang saat mendengarnya mengucapkan itu.
Amar benar-benar membuat isi pikiranku berubah dengan singkat.
🍁
Dua puluh menit kemudian, Amar keluar dengan rambut basah dan wajah yang nampak segar. Ia tak lupa melemparkan senyuman padaku, lalu berjalan mendekat. Membuatku menahan napas. "Kamu gak kerja?"
"Aku cuti."
"Apakah pekerjaanmu sudah selesai? Kupikir kamu akan mengambil cuti mulai besok."
"Aku memutuskan untuk cuti lebih awal, karena hari ini aku ingin mengajakmu pergi mengunjungi makamnya Ayu."
"Be-benarkah?" Napasku tercekat dan jujur aku kaget mendengar penuturan ini, karena ini adalah kali pertama Amar mengajakku untuk mengunjungi makam Ayu.
Amar tersenyum sekilas. "Kamu maukan?"
"Iya. Mau."
Amar tersenyum lagi, kemudian pergi meninggalkan kamar. Aku hanya menghela napas berat untuk kesekian kalinya saat melihat ranjang yang amat berantakan.
Ini semua terjadi karena karena perbuatannya Amar. Akhirnya, kuhanya bisa meneguk salivaku dengan kasar, menyesal sembari meringis. Namun, tetap memilih untuk memperbaiki tempat tidur dan mencuci selimut serta seprainya.