Cassandra, tidak ingin jika dirinya harus menikah dikarenakan perjodohan, karena menurutnya menikah itu harus atas dasar cinta.
Tapi, ia juga tidak tau jika takdir telah membuatnya harus menjalani pernikahan dengan orang yang sempat dijodohkan denga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bacanya pas udah berbuka aja :)
--- Aku hanya membalas ucapan Amar dengan anggukan kecilku, kupikir yang dia ucapkan adalah memang kebenarannya dan aku sama sekali tidak akan mempermasalahkan pendapatnya.
Amar juga selebihnya hanya memilih diam dengan terfokus untuk menyetir mobil sampai di rumah, meski raut wajahnya tak lagi seceria tadi, yang terpenting adalah Amar masih tetap sempat tersenyum ketika sedang melirikku.
Ketika kami berdua telah sampai kerumah, Amar membantuku turun dari mobil, Amar juga membukakan pintu rumah agar aku bisa masuk. Rasanya Amar mulai memberikan perhatian lagi padaku, walau aku sadar perhatian sekecil ini hanya untuk menenangkanku sebelum waktu operasi besok.
Perlahan-lahan aku mulai melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, ada perasaan takut ketika mengingat hari esok aku akan berakhir seperti apa, mungkin beberapa hari kedepan aku akan terbaring lemah di atas kasur tanpa bisa mengerjakan apapun. Terkadang aku jadi merasa sedikit takut jika saja operasiku gagal, dan aku pun kemudian harus menyusul kepergian Kak Ayu.
Sampai pada akhirnya semua perasaan takutku seolah memuncak dan terkumpul menjadi satu di dalam kepalaku, dengan keadaan sadar air mataku pun keluar bersamaan dengan tubuhku yang tiba-tiba mengalami gemetar yang cukup hebat.
Kupikir sebelum hari itu menjadi kenyataan, aku sudah harus menentukan apakah diriku bisa memberikan sebuah cinta untuk Amar, karena aku tidak ingin terbebani dengan perasaan saat Amar bisa merasakan kehilangan lagi namun mengetahui cintanya belum benar-benar terbalas.
Di saat inilah aku berharap semoga bisa memberikan kesempata untuk Amar agar mendapat balasan cinta dariku, dan tentu mencoba agar Amar tidak terlalu terpengaruh secara besar dengan apa yang akan kuperbuat untuknya.
Saat aku mendengar langkah kaki Amar mulai perlahan berjalan masuk ke dalam rumah, aku pun segera berdiri untuk menenangkan perasaanku yang tadi sempat bersedih, bahkan sampai menangis secara sembunyi-sembunyi dari Amar, lalu spontan berusaha menahan kakiku agar badanku bisa seimbang dan tegap.
Ketika Amar telah sampai di dekatku, dengan sengaja dia menelungkupkan kepalanya di pundakku, hampir sama dengan yang dia lakukan semalan.
"Ada apa, mengapa berhenti di sini, mengapa tidak langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat?" tanya Amar dengan suara yang jelas seperti sebuah bisikan di dekat telingaku.
"Aku merasa tidak enak jika belum mandi sore, ditambah lagi kita baru saja mengunjungi pemakaman. Jadi pertanyaan itu terus membuatku berpikir, apakah harus mandi di malam hari."
Amar tersenyum tipis, bahkan tanpa aba-aba apapun, dia langsung membalikkan tubuhku menghadapnya. Dengan lembut dia memelukku dan menempelkan kepalanya di sekitar tengkuk leherku, seperti sedang mencium aroma tubuhku dari sana, bahkan dari situ aku bisa merasakan bahwa Amar sempat memberikan kecupan singkat di permukaan leherku.