Emosional

217 14 4
                                    

Sungguh, hari ini. Aku merasa ingin menyerah saja pada takdir.

Aku merasa beban ini begitu berat, dan kenapa dia justru membiarkanku mengangkat selimut ini sendirian.

Bukankah, ini juga penyebabnya datang dari dia. Padahal kemarin aku sudah membersihkan dan merapikan kasur ini sampai kelelahan, tapi entah karena angin apa. Dia tiba-tiba saja membuatku terhipnotis dan bahkan dengan mudah mengikuti keinginannya.

Amar, tolong bantulah aku.

Nyatanya aku tidak cukup kuat untuk mengangkat selimut dan seprai ini sendirian. "Amar, tolong bantu aku," seruku yang tiba-tiba terjatuh ke lantai setelah tidak sengaja menginjak seprai, lalu selimut yang kuangkat juga terlempat keatas dalam waktu sesaat dan akhirnya berhasil jatuh ke atasku tubuhku.

Dengan cepat, Amar berlari dari luar menuju kamar. Hingga ia berhenti saat mendapati wajahku telah berhasil keluar dari selimut yang menutupiku tadi.

"Aduh, selimut ini menyusahkan saja." gerutuku dengan kesal sembari menghentak-hentakkan kakiku yang masih tersangkut di dalam selimut

"Sini, aku bantu."

"Ya ampun, kenapa gak nawarin dari saat sebelumnya sih!"

Amar hanya terkekeh kecil lalu tersenyum lagi saat mendengar keluhanku, tanpa sadar dia seakan telah membuatku lemah. Sampai semakin tersirat keinginku untuk membenturkan kepala di dinding.

Namun, tidak. Aku terlalu bodoh jika melakukan itu. Aku juga terlalu bodoh sampai mengabaikan sesuatu yang lebih penting pada selimut dan seprai itu, kurasa Amar tidak seharusnya melihatnya secara langsung.

Segera aku pun berlari menyusul Amar ke kamar mandi.

Langkahku terrhenti saat Amar memasukkan selimut itu ke dalam mesin cuci. Tepat saat itu aku langsung berteriak untuk melarangnya.

"Jangan!" teriakanku yang begitu keras ini, mungkin saja bisa membuat telinga Amar mengeluarkan darah dan berakhir tuli.

Amar langsung menghentikan penggerakkannya, dia terdiam seperti patung setelah mendengar teriakanku.

"Aku gak minta kamu buat simpan ini di mesin cuci, karena ini seharusnya di cuci pakai tangan. Memangnya kamu mau kalau beberapa pakaian yang sudah ada di dalam mesin cuci, bercampur dengan selimut yang ada--"

Aku sengaja menggantung ucapanku, dan Amar juga langsung memahaminya. Kami kembali membawa selimut itu ke dalam kamar mandi. Kini aku mengambil alih selimut itu, menyimpannya pada satu wadah besar berisi air.

Amar yang berdiri di belakangku refleks menyalakan pancuran air dan mengaturnya pada suhu air yang hangat. Amar sangat membantuku saat itu, kami saling tertawa bersama sampai Amar dengan sengaja membasahi bajuku dengan air dari pancuran yang yang ia pegang.

Lantas, aku berseru kesal padanya. Memukul dadanya hingga kami sama-sama basah oleh air yang keluar dari pancuran.

Amarah yang berdiri tepat di depan pintu, membuatku sedikit kaget. Bukan karena aku mengira dia hantu, tapi Amar membuatku kaget dengan setelan pakaian yang sedang ia kenakan. Amar memakai sebuah turtleneck berwarna hitam dengan celana jeans berwarna biru.

It's so damn hot!

Aku tidak tau, Amar bisa begitu memikat hanya dengan memakai pakaian seperti itu. Bahkan tatapan mataku tak bisa beralih darinya saat ini.

Sepertinya, Amar membuat sakit di kepalaku hilang ketika melihatnya. Tapi itu juga membuat akal pikiranku ikut melayang karena seakan saat ini, diriku dibuat menjadi selayaknya sebuah patung.

My Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang