Kehangatan

202 7 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, Amar tak berhenti-berhentinya mengulas senyum, ia tampak begitu bahagia sehingga dengan cepat mengabarkannya ke hampir seluruh keluarganya.

Hampir semua keluarganya telah habis dihubungi oleh Amar, mereka berkata akan datang berkunjung ke rumah Amar. Membuat manik matanya cenderung terlihat mengkilap dan tertutup secara berkala.

Amar tak berhenti memandangiku dengan pandangan penuh cinta, sambil mengelus punggung tanganku dan menciumnya berkali-kali.

"Jika Dokter Bayu mengetahui ini, dia pasti akan datang kerumah dengan membawa banyak buah-buahan untukmu," ucap Amar dengan perasaan bahagia yang sudah tidak bisa dijelaskan lagi.

Sedangkan di saat ini diriku masih diliputi oleh beragam pikiran, disertai dengan perasaan yang belum sepenuhnyq dengan kabar yang barusan kuterima.

Karena sejak awal aku hanya mengira bahwa ini adalah efek dari penyakit yang telah lama kuderita, walaupun begitu aku jelas bahagia karena ini artinya penyakitku yang lain akan benar-benar sembuh.

"Kamu sudah memberitahukan kabar ini kepada semua keluargamu?"

"Belum semuanya sih, hanya kak Rika saja yang baru mengetahuinya. Makanya aku berniat untuk mengundang mereka untuk membicarakan ini nanti malam. beberapa temanku pun belum tau, karena kupikir itu bisa jadi urusan nanti saat usia kandunganmu telah berjalan 3 bulan, maka aku akan membuatkan acara khusus untukmu dan juga anakku."

"Apa itu tidak terlalu berlebihan, Amar?" tanyaku memastikan, tampak bingung harus bersikap seperti apa.

"Apapun akan kulakukan untuk kebahagiaanmu dan anakku, Cassie Sayang," jawab Amar dengan sangat bersemangat. "Mungkin aku juga akan membuat acara untuk 7 bulanmu nanti."

"Amar, sepertinya kita tidak usah melakukan hal-hal seperti itu. Aku takut hal itu akan menggangu jam kerjamu nanti, apalagi pekerjaanmu bukanlah pekerjaan yang biasa bagi siapapun."

"Mengapa kamu terdengar meragukanku, Cassie? Apa kamu tidak bahagia dengan kabar ini?" tanya Amar dengan tatapan serius dan mulut yang terlihat mengerucut, terlihat sangat lucu bagiku walaupun saat ini tatapan matanya terlihat begitu tajam.

"Aku merasa sangat-sangat bahagia dengan kabar yang kuterima ini, tapi, aku juga tidak ingin membuatmu mengalami kesusahan. Kita hanya cukup membuat acaranya sekali, dan memberitahukan kabar ini ke teman-temanmu setelah kehamilan menginjak usia ke 3 bulan."

"Baiklah kalau itu pilihan yang kamu inginkan, Sayang."

Amar sesekali menyandarkan kepalanya pada pundak Cassie, saat ia sedang menyetir mobil.

"Berhati-hatilah Amar, kamu bisa melakukannya lagi nanti saat kita sampai di rumah," ucapku dengan perasaan was-was setiap kali Amar mencoba menyadarkan kepalanya dengan mencari kenyamanan dari tempat sandarannya.

Ya tuhan, sebenarnya saat ini Amar terlihat begitu menggemaskan dan lucu, sudah lebih dari dua kali aku memujinya seperti ini selama hampir satu hari penuh. Mungkin hal ini terjadi karena, efek dari kebahagiaan kami, mood-ku yang terus membaik, dan senyuman Amar yang terus terngiang di kepalaku.

Entah mengapa jarak yang kami lewati untuk sampai di rumah tidak terlalu terasa, Amar pun memintaku untuk tetap berada di dalam mobil sampai dia datang untuk membantuku turun.

Aku merasa seperti dimanja lagi dengan Amar, bagaimana tidak Amar terus membantuku berjalan sampai masuk ke dalam rumah, seakan aku sedang kesusahan jalan karena kondisi yang sedang hamil, padahal belum terjadi perubahan yang cukup signifikan dari bentuk perut rataku ini.

Tak ayal aku hanya bisa menahan gelakan tawa, melihat Amar yang terus memanjakanku sambil mengelus-elus perutku.

"Amar, apakah Ibu dan Ayah beneran akan datang kesini?"

"Iya, tapi, kamu gak usah pusing memikirkannya, karena kak Rika akan datang membantu kita. Jadi kamu hanya perlu beristirahat saja."

"Ungh, baiklah."

Secara perlahan Amar mengantarkanku masuk ke dalam kamar dan menuntunku untuk membenarkan posisiku saat sedang berbaring.

"Kamu mau minum apa, Sayang?" tanya Amar Amar antusias dengan mata yang membulat, membuatku memperhatikan Amar dengan tatapan yang lembut.

"Aku akan menjawabnya nanti saja. Aku hanya menginginkan kamu untuk tidur di sampingku sebentar saja."

Wajah Amar seketika bercahaya dengan senyuman merekah yang menghiasi wajahnya. Di balik netranya Amar, dapat terlihat bayangan diriku dibagian sudut matanya yang mulai berkaca-kaca.

Dengan cepat Amar berjalan mendekatiku guna menyembunyikan wajahnya pada bagian samping lenganku, kurasa Amar merasa malu karena aku melihatnya bersedih.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Ti-tidak ada." Amar telah mendapatkan kenyamanan dengan posisinya sekarang, sampai helaan napasnya yang hangat terasa menyengat tersentuh kulitku. "Hussh, seharusnya kamu sudah tertidur sekarang."

"Aku tidak mau."

"Bagaimana bisa?"

Amar mengarahkan tatapan matanya ke atas, mengarah kepadaku, yang kubalas dengan menggerakkan sebelah tanganku untuk menunjuk ke arah pipiku.

"Oh, kamu minta dicium. ya, Sayang?"

"Ungh, gak juga sih."

"Bilang aja secara langsung kalau kamu memang mau dicium," sergap Amar dengan cepat, langsung mendaratkan benda kenyal itu sekejap di pipiku.

Terasa hangat dan mendebarkan, seperti biasanya atau mungkin lebih dari biasanya. Aku tidak bisa menjelaskannya, karena akan menjadi rancu di dalam pikiranku.

My Perfect PilotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang