Meet

375 135 143
                                    

"Eli, bisa kau tolong ambilkan obeng, sayang?"

"Wait a sec, dad!" Teriak Eli dari ujung ruangan.

Ia lalu berlari menuju lemari yang terletak di dekat pintu dan mulai membuka laci demi laci yang ada di sana, hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. "Aha!" Katanya sambil tersenyum gembira, mengamati obeng yang ada ditangannya.

"Ini, dad" ujarnya sambil menyerahkan obeng itu pada ayahnya.

"Letakkan saja di dekat roda," kata ayahnya tanpa sekali pun mengalihkan pandangannya dari mesin mobil dihadapannya.

"Baiklah." Kata Eli menurut, "Ada lagi yang kau butuhkan, dad?"

Ayahnya menggeleng. "Bukankah ini sudah waktunya berangkat sekolah?"

Seolah baru teringat, Eli melirik cepat pada jam dinding dan waktu telah menunjukkan pukul 07.15 yang artinya tersisa 15 menit lagi baginya untuk masuk kelas, atau kalau tidak ia akan terlambat.

"Oh, shit!" Teriak Eli sambil melepas apron kerjanya. "I have to go, dad!"

"Jaga kata-katamu, Eli." Kata ayahnya mengingatkan. "Kau ingat bukan apa kata ibu?"

"Ya,ya.." kata Eli tidak begitu mendengarkan ayahnya. Ia sedang sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya dan segera bergegas keluar bengkel.

"Bersihkan dulu wajahmu!" Teriak ayahnya.

"There's no more time, dad!" Teriak Eli dari kejauhan sementara ayahnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dasar anak itu."

●●●

Elisabeth Rochester atau Eli sedang berlari menyusuri jalan yang sudah sangat dihafalnya sejak kecil itu dengan 'langkah seribu'.

Sesekali ia nampak menggosok-gosok hidungnya, berusaha untuk menghapus jelaga, oli, dan kotoran dari wajahnya. Tapi, walau begitu, sudah pasti masih saja ada yang tertinggal.

Sial. Batinnya. Kalau saja 'Penyihir sialan' itu mau membantu sedikit saja, paling tidak aku tidak perlu sampai seperti ini.

Eli terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan beraspal itu, melewati gang-gang kecil, tanpa sedikit pun memedulikan sekelilingnya.

Sesekali ia melihat jam di  tangannya dan semakin merutuk sebal. Lima menit lagi!.

Eli mempercepat langkahnya dan saat sudah berada di depan gerbang sekolah, Eli baru bisa menghela napas lega, Selamat.

Ia membungkuk sedikit, untuk mengatur nafasnya, dan mengusap peluh di dahinya.

Baru saja hendak melangkah lagi, tiba-tiba sebuah Lamborghini merah lewat di sampingnya dan entah sengaja atau tidak, mencipratkan genangan air ke tubuhnya.

Damn it!

Eli menggerutu sambil mengusap wajahnya dan menunjuk-nunjuk lamborhini yang melewati gerbang sekolahnya itu. "Hei kau! Siapa pun kau, berhenti!" Teriak Eli.

Tapi seolah tidak bersalah, Lamborghini itu terus berjalan meninggalkan Eli yang sudah basah kuyup itu.

Sudah kotor, basah pula, lengkaplah penampilan Eli hari ini.

●●●

"Hei kau!" Eli memanggil pria yang baru saja keluar dari lamborghini merah itu.

"Hei!" Teriak Eli sekali lagi, kali ini lebih keras. Tapi pria itu tak kunjung menoleh.

"Hei!" Katanya sambil menepuk pundak lelaki itu. Kali ini ia menoleh, dan untuk sesaat, Eli tertegun menatap wajah yang balas menatapnya itu.

"Ada apa?" Tanya lelaki itu sambil menatap penampilan Eli dari atas ke bawah. "Kau butuh tissue?" Tanyanya setelah berhasil mengobservasi Eli.

Eli hanya memutar bola matanya,"Kau pikir aku seperti ini karena siapa?" Kata Eli sambil melotot.

Lelaki itu mengerutkan keningnya.

"Kalau kau tidak mengebut tadi, aku.." kata-kata Eli terhenti ketika melihat seorang gadis cantik berlarian kecil mendekati mereka berdua. Ralat, mendekati lelaki itu.

"Zac" kata wanita cantik itu dengan suara yang kentara sekali dibuat-buat. "Kenapa baru datang? Aku sudah menunggumu sejak tadi." Katanya sambil bergelayut manja di lengan pria itu.

Lelaki yang dipanggil Zac itu tersenyum, "Maaf, Bi. Tadi aku bangun kesiangan."

Eli yang menatap semua itu mendadak merasa perutnya mulas. Ia merasa kedua orang itu sibuk dengan dunianya sendiri dan tidak memedulikan orang lain.

Beberapa saat kemudian, seolah baru tersadar, perempuan cantik itu menoleh dan melihat kearah Eli dengan pandangan menghina. "Oh lihat! Siapa ini?" Katanya sambil menyeringai. "Sang Putri 'Cinderelli'sudah tiba dengan penampilan 'istimewanya'."

Lelaki yang dipanggil Zac itu menatap perempuan disampingnya dan Eli bergantian.

"Kau kenal dengannya?" Tanya Zac.

Perempuan itu mengerucutkan bibirnya, "Aku? Kenal dia?" Ia melirik Eli sekali lagi sebelum kembali berbicara. "Tidak mungkin aku mengenal gadis dekil sepertinya. Tapi, dia cukup terkenal di sekolah sebagai satu-satunya 'Princess' di sini dengan penampilan luar biasanya itu."

Eli hanya bisa menatap lurus pada perempuan itu. Ia sudah biasa mendengar hal-hal semacam ini. Jadi ia sudah kebal, dan tidak terlalu sakit hati lagi.

"Minggir Bi, aku ingin masuk kelas." Kata Eli akhirnya berusaha menyeruak diantara Bianca dan Zac.

Bianca melotot pada Eli tapi tidak berkata apa-apa.

●●●

Eli mengusap wajahnya dengan tissue dan memercikinya dengan sedikit air dari wastafel. Sesekali ia menghela napas berat.

Sungguh hari yang menyebalkan.

Ia lalu mengelap tangannya dan hendak keluar dari kamar mandi ketika mendadak seseorang mendorongnya ke dinding.

"Apa yang kau lakukan?" Teriak Bianca. "Bukankah sudah kubilang, kalau kita bertemu kau harus berpura-pura tidak mengenalku!"

Eli menghela napas. "Kau yamg memulainya lebih dulu, Bi."

Bianca memutar bola matanya. "Aku? Kaulah yang memulainya! Bukan aku! Kenapa kau mendekati Zac-ku?"

Eli mengangkat sebelah alisnya. "Zac-mu?"

"Po..pokoknya.." Bianca sedikit tergagap dengan pipi merona merah, "Kalau kita bertemu lagi kau haru pura-pura tak mengenalku. Dan jangan sekali-sekali mendekati Zac!" Katanya sambil berjalan pergi.

"Aku tidak mendek.." teriak Eli, tapi terlambat. Bianca sudah menghilang dari ujung koridor.

Akhirnya Eli hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepalanya.

Bianca.

Bianca adalah satu-satunya saudara perempuannya. Sejak dulu mereka selalu bersama hingga kejadian itu.

Maafkan aku, Bi.

To be continued.

CinderelliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang