"Ngomong-ngomong," Eli menatap Victor yang berjalan disebelahnya, sementara Zac sudah menghilang entah kemana sejak tadi dan belum kembali hingga kini.
"Hmm?" Victor menoleh dan menatap Eli sambil tersenyum.
"Kau benar-benar tidak ingin menceritakan kenapa kau bisa ada disini?" Eli mendongak dan menatap mata biru laut milik Victor. Mata yang selalu entah kenapa dapat membuat jiwa Eli merasa tenang. Cepat-cepat Eli mengalihkan pandangannya kearah lain, seolah takut ia akan masuk kedalam pusaran laut yang dalam kalau berlama-lama menatap mata Victor. "A..aku tidak memaksamu untuk bercerita..ha..hanya saja dari tadi aku berpikir walau kau banyak bicara tidak seperti biasanya, aku pikir kau hanya melakukannya untuk menyembunyikan kesedihanmu." Kata Eli yang langsung menundukkan kepalanya begitu selesai mengatakannya.
Mereka berdua menghentikan langkah mereka, dan hanya terdengar helaan napas selama beberapa saat, dan suara ranting pohon yang berderit karena ditiup oleh angin semilir yang menyejukkan hawa disekeliling.
"Aku kemari untuk mengunjungi makam ibuku." Kata Victor setelah merenung beberapa saat.
Eli yang mendengarnya seketika mendongak dan menatap Victor. "Maaf..aku tidak bermaksud..kalau kau tidak ingin bercerita..."
"That's okay." Sela Victor. "Aku ingin menceritakannya padamu." Kata Victor sambil tersenyum menatap Eli dan merapikan rambut Eli yang sedikit berantakan karena diterpa angin.
Ia lalu membawa Eli duduk disalah satu bangku yang ada di daerah itu sambil menatap hutan yang ada jauh di depan mereka namun masih dapat terlihat dari posisi mereka yang ada di bukit.
"Ibuku meninggal ketika aku masih kecil." Katanya memulai. "Ia meninggal karena mendapati ayahku berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri."
Sontak Eli terkesiap mendengarnya.
"Ia membunuh dirinya sendiri ketika mendengar bahwa ayahku akan menceraikannya demi sekretarisnya itu." Kata Victor setengah menggeram sambil mengepalkan tangannya. Dari matanya, dapat terlihat dengan jelas pancaran dendam. "Ayahku tidak pernah memedulikan kami sepanjang ingatanku. Ayahku hampir tidak pernah pulang dan selalu berada di kantor dan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri dan tentu saja ditemani sekretarisnya itu, sementara ia meninggalkan aku dan ibuku sendirian di rumah."
"Awalnya aku tidak mengerti akan itu semua, aku masih terlalu kecil, hingga suatu hari aku mendengar keduanya bertengkar hebat. Dan sejak saat itulah aku tidak pernah melihat ayahku lagi. Sementara ibuku terus mengurung dirinya di kamar dan tidak mau keluar."
Victor mengusap wajahnya yang tidak memiliki ketidaksempurnaan itu sebelum kembali memandang ke arah hutan dan melanjutkan ceritanya. "Di hari sebelum ibuku meninggal, aku memberanikan diri untuk memasuki kamarnya untuk melihat bagaimana keadaannya. Dan dia..dia tampak kurus dan pucat dia.." setetes air mata jatuh dari mata Victor dan mau tak mau entah kenapa Eli merasakan dadanya nyeri melihat Victor yang nampak menyimpan beribu kepedihan di dalam hatinya.
"Dia lalu menatapku dan seolah terkejut, dia mencengkram bahuku dan bilang kalau ini semua salahku. Dia bilang kalau harusnya aku tidak terlahir dan dia juga bilang kalau sejak awal aku seharusnya tidak ada diantara dirinya dan ayahku."
Tanpa sadar, Eli membawa lelaki yang tampak rapuh itu kedalam pelukannya. "Sstt.." ia berusaha menenangkan Victor yang tidak biasanya seperti itu sambil mengelus punggung lelaki itu. "Aku yakin dia tidak bermaksud seperti itu. Dia mengatakan itu semua karena sedang bingung dan terkadang orang yang sedang bersedih memang ingin menyalahkan orang lain karena mereka membutuhkan itu untuk pembenaran di dalam diri mereka sendiri. Ini bukan salahmu."
Hening beberapa saat, hingga isakan tertahan Victor berhenti dan lelaki itu sontak melepaskan pelukannya pada Eli. "Maaf aku terlalu terbawa emosi hingga.."
Eli tertawa. "Tidak apa, apa gunanya teman bila tidak bisa saling menghibur dikala susah?"
Victor tersenyum. Teman.
"Ngomong-ngomong," Eli membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu. "Pakai ini dan hapus air matamu, kau tidak ingin tampak jelek di depan para gadis bukan?"
"Ini," Victor terpana melihat sapu tangan ditangannya yang terdapat inisial namanya. "Milikku bukan?" Tanyanya sambil mengalihkan pandangannya dari sapu tangan itu dan menatap Eli bingung.
Eli mengangguk riang.
"Kau masih menyimpannya?"
Eli mengangguk. "Bukankah kau menyuruhku menyimpannya? Dan lagi sapu tangan itu tampak mahal jadi aku pikir tidak layak bila aku membuangnya begitu saja. Dan kupikir ini saat yang tepat untukku mengembalikannya padamu." Katanya.
Mendengar hal itu, mau tak mau Victor tersenyum. "Jadi apa kau memikirkanku ketika kau menatap sapu tangan ini?" Tanyanya separuh menggoda.
"I..itu.." saat ini Eli merasa bahwa wajahnya pasti sudah semerah tomat.
"Kau selalu membawanya kemana-mana jadi sudah pasti.."
"I..itu karena aku meletakkannya ditasku dan aku selalu membawanya karena aku ingin mengembalikannya padamu disaat yang tepat." Jawab gadis itu cepat dan mau tak mau Victor tertawa mendengarnya.
Ia lalu mengulurkan tangannya dan mengelus puncak kepala gadis itu. "Kau lucu sekali." Katanya lalu bangkit berdiri. "Ayo," ia mengulurkan tangannya pada Eli. "Kita cari Zac. Aku takut dia tersesat."
Dengan memanyunkan bibirnya, Eli menggenggam tangan Victor dan Victor pun melakukan hal yang sama, tapi ia tidak ingin melepaskannya karena inilah salah satu momen yang dinantikannya.
"Dia kan bukan anak kecil, tidak mungkin dia tersesat." Kata Eli yang terus berceloteh disamping Victor yang terkikik geli.
"Mungkin saja. Tempat ini luas, dan indah. Mungkin dia tanpa sadar berjalan kearah yang salah, dulu dia juga sering melakukannya dan itu membuat keluarga kami kewalahan sehingga biasanya bila itu terjadi aku dan ibuku akan membantu pengasuh Zac mencarinya."
"Kau dan ibumu?" Eli menatap Victor dengan mata bulatnya dan hal itu membuat Victor gemas.
"Ya." Lelaki itu mengangguk. "Karena biasanya ibuku juga ikut menjaga Zac, karena orang tuanya jarang ikut hadir dalam acara keluarga jadi Zac tak memiliki wakil selain pengasuhnya sehingga biasanya aku dan ibuku menjaganya."
"Wah kalian tampak dekat."
"Kami?" Victor membulatkan matanya. "Apakah tampak seperti itu dimatamu?"
Eli mengangguk.
"Yah.." lelaki itu tampak berpikir sejenak. "Kalau dipikir-pikir...mungkin?" Ia menggedikkan bahunya.
Eli tertawa melihat reaksi Victor yang seperti itu. Ia lalu menatap sekeliling dengan pandangan menerawang. "Jadi tempat ini pasti memiliki banyak kenangan mengenai kalian bertiga?"
Victor kembali mengangguk. "Mungkin itulah alasannya mengapa hingga sebelum kematian ibuku, ia menulis disuratnya bahwa ia ingin dimakamkan disini." Katanya kali ini tanpa ada nada kesedihan terselip disana.
Eli yang melihat Victor sudah mulai ceria kembali mau tak mau tersenyum.
"Aku berharap dia bahagia disana." Katanya seraya menatap langit yang sedikit mendung.
"Aku juga."
To be continued.
27-12-2019.Nah, dimana Zac? Nantikan bab berikutnya hehe*kayak apaan aja* huehehehe..btw mendadak aku jadi bingung, enaknya Eli endingnya sama siapa guys? Akankah Zac jadi second lead yang tersakiti? Atau malah Victor? Jadi bingung wkwkwk..kita lihat kelanjutannya ya..karena authornya juga pusing bikin endingnya..thanks udah mau baca..silahkan tunggu kelanjutannya🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderelli
Teen FictionElisabeth Rochesther atau yang biasa dipanggil "Eli" diberi julukan "Cinderelli" oleh teman-temannya karena setiap hari tubuhnya selalu ditutupi debu dan kotoran dikarenakan ia harus membantu ayahnya mengurus bengkel. Tapi apa jadinya bila suatu ha...