Throwback #3

62 7 1
                                    

Eli memandang lelaki yang sepertinya terluka parah itu. Ia mengerjapkan matanya sesaat, bingung apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya ia membulatkan tekad dan berjalan mendekati lelaki itu.

"Kau tidak apa-apa?" Eli menatap lelaki itu dengan matanya yang lebar. "Astaga, tubuhmu penuh luka, kau harus pergi ke rumah sakit!" Katanya sambil hendak menyentuh wajah lelaki dihadapannya tanpa sadar, tapi lelaki itu menepis tangan Eli.

"Jangan sentuh." Katamya dingin.

Eli terdiam sejenak. "Maaf." Ia menundukkan kepalanya sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke atas tanah yang basah. Dan tiba-tiba, seolah teringat sesuatu, ia mengambil sesuatu dari ransel sekolahnya dan ternyata itu adalah plester luka.

"Setidaknya pakai ini." Katanya sambil menjulurkan plester itu.

Lelaki dihadapannya terdiam sejenak seolah terkejut melihat perilaku Eli sebelum akhirnya tersenyum dan menerima pemberiannya.

"Kau mau kuantar ke rumah sakit?"

Lelaki itu menggeleng.

"Tapi kalau kau mati bagaimana?" Tanya Eli polos.

Mendengar hal itu, lelaki itu tertawa. "Aku tidak akan mati hanya karena hal seperti ini."

"Tapi darahmu keluar terus." Eli menatap sekujur tubuh lelaki dihadapannya. "Apa sebaiknya kupanggil taksi dan memintanya mengantarkanmu ke rumah? Keluargamu pasti khawatir."

Mendengar hal itu lelaki itu kembali tertawa. "Hei bocah!" Katanya. "Tidak akan ada yang mengkhawatirkanku. Sebaiknya kau pulang saja. Tidak usah pedulikan aku."

Eli terkejut mendengarnya, bagaimana mungkin tidak ada orang yang mengkhawatirkannya?

Ia lalu mengerucutkan bibirnya, "Jangan bicara seperti itu, di dunia ini pasti ada orang yang masih memikirkanmu dan mencintaimu." Ia lalu menatap lelaki itu hangat. "Aku yakin."

"Kenapa kau bisa seyakin itu? Aku sudah tidak punya keluarga, aku sudah hancur, tidak akan ada yang menerimaku." Kata lelaki itu.

Eli terdiam sejenak sebelum menjawab, jujur saja ia bingung apa yang harus dikatakannya pada lelaki dihadapannya itu, karena ia juga dalam kondisi yang sulit. Ia lali berpikir keras agar menemukan kata-kata penghiburan yang pas sebelum akhirnya kembali berbicara. "Kalau begitu, biar aku saja yang mencintaimu." Katanya sambil tersenyum riang.

"Apa?" Lelaki itu mengerutkan kening.

"Kau bilang tidak ada yang mencintaimu ataupun mengkhawatirkanmu. Jadi mulai sekarang, biar aku yang melakukannya."

Mendengar hal itu, lelaki itu tertawa. "Hei bocah, cinta tidak bisa dikatakan semudah itu. Jangan sembarangan mengatakan kalau kau mencintai seseorang."

CinderelliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang