Throwback #2

82 7 1
                                    

Eli melangkah memasuki gedung audisi pianonya, ia lalu menekan tombol lift untuk menuju ke lantai empat.

Selama berada di dalam lift, tak henti-hentinya keringat dingin mengaliri pelipisnya.

'Sabar Eli, kau pasti bisa melewatinya dengan baik.' Pikirnya lalu mengangguk mantap sebelum keluar dari lift.

Begitu menginjakkan kakinya di lantai empat, ia mendapati sudah banyak orang di sana.

Ada yang duduk di kursi, ada yang duduk bersila di lantai, bahkan ada yang berjalan mondar-mandir dengan langkah tak menentu. Tapi satu yang pasti, mereka semua sedang gugup. Sama seperti dirinya.

Ya, hari ini adalah hari penentuan baginya. Hari ini akan menjadi hari penentu masa depannya.

Karena bila ia sukses melewatinya, maka ia bisa membanggakan keluarganya sekaligus dirinya sendiri.

Sebab, audisi ini dilakukan untuk mencari pianis paling berbakat di seluruh Kota London dimana nantinya akan diberikan beasiswa untuk bersekolah di sekolah musik ternama di Perancis.

Eli mengusap-usap tangannya yang sedikit berkeringat sebelum duduk bersila di atas lantai.

Sejak dulu ia sangat menyukai piano. Eli masih ingat betul ketika pertama kali ia jatuh cinta dengan alat musik itu yaitu ketika ia berumur lima tahun. Saat itu ayahnya tengah memainkan lagu Jinggle Bells menggunakan piano tua di rumahnya, dan ketika ayahnya menekan tuts demi tuts piano itu, seketika Eli langsung jatuh cinta. Sejak itulah, ayahnya selalu mengajarinya memainkan alat musik itu.

Eli tersenyum mengingat kejadian yang sudah berlangsung lama itu.

Ia lalu mengaduk-aduk tasnya, berusaha mencari buku catatannya. tapi, setelah beberapa saat mencari, ia tak kunjung menemukannya.

Tidak ada.

Eli membulatkan matanya, dan berusaha mencari sekali lagi, namun hasil yang didapatkannya tetap sama.

Kesal, ia pun mengeluarkan seisi tasnya ke atas lantai, namun buku yang dicari-carinya tetap tak ada.

Eli mengerang panik, ia menepuk keningnya sendiri. Ia ingat bahwa ia lupa membawa buku catatannya dan meninggalkannya di dalam kamar.

Tidak ada waktu.

Ia lalu mengambil secarik kertas di dalam tasnya dan mengambil sebuah pensil dan mulai menulis partitur-partitur not balok yang sudah sangat dihafalnya.

●●●

"Bagaimana ini dok? Pasien ini sepertinya kehilangan banyak darah, dan ternyata ia memiliki golongan darah A, sedangkan di sini golongan darah itu sedang kosong. Dan pendarahannya tidak berhenti, terutama yang di kepalanya, saya takut bahwa ia kehabisan darah sebelum keluarganya tiba, belum lagi kepalanya terbentur cukup keras di aspal."

"Sudah kau coba hubungi keluarganya? Mungkin mereka memiliki golongan darah yang sama dengannya."

Perawat itu menggeleng. "Tidak dok, kami bahkan tidak bisa menghubungi siapa pun dari nomor-nomor yang tersimpan di dalam ponselnya. Sepertinya keluarganya sedang sibuk."

CinderelliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang