10

2.1K 329 25
                                    

***

"Jangan bicara seakan kau adalah salah satu dari mereka. Kau bukan salah satu dari mereka. Kau berbeda dari mereka. Bagi mereka, kau aneh, sepertiku. Mereka membutuhkanmu sekarang, tapi nanti, ketika kau tidak lagi berguna, mereka akan membuangmu keluar. Seperti si penderita lepra. Lihatlah, moral mereka, peraturan mereka... Semua itu adalah lelucon yang buruk. Mereka hanya sebaik yang diizinkan dunia. Akan ku tunjukan, ketika aku menghancurkan peraturan mereka, orang-orang beradab itu... Mereka akan saling memakan satu sama lain. Aku bukan monster, aku hanya lebih unggul dari mereka, aku hanya seseorang yang melihat apa yang tidak mereka ingin lihat," ucap Jiyong.

"Aku berbeda darimu," gumam Lisa kemudian, enggan disamakan dengan si psikopat kasar Kwon Jiyong. Jiyong mendengarnya– gumaman pelan itu– namun pria itu hanya tertawa sinis ketika mendengarnya. Mereka masih di ruang tunggu lantai 3 bangunan utama dari lapangan golf tersebut, dan Lisa tengah memulai sesi konseling pertamanya.

Lisa sempat gugup, saat berangkat tadi. Kepalanya terus memutar beberapa aksi panas yang pernah Jiyong lakukan padanya. Ingatan itu menstimulasi kepalanya, membuatnya tidak bisa memikirkan hal lain– bahkan ketika sebuah stick golf tadi membentur lengannya, yang Lisa pikirkan justru bagaimana rasanya kejantanan Jiyong memaksa masuk kedalam miliknya.

"Apa yang berbeda? Tidak ada seorang pun yang mengerti kenapa kau tetap bertahan dengan Seunghyun. Mereka menyebutmu aneh karena bertahan dengannya," serang Jiyong membuat Lisa menatap sinis padanya.

"Kita tidak membahas-"

"Tapi aku mengerti," potong Jiyong. "Aku mengerti kenapa kau tetap bertahan dengan Seunghyun. Kau kesepian, dan hanya Seunghyun yang berhasil membuatmu melupakan rasa sepi itu. Tapi... Truth is a lonely thing,"

"Jadi, kenapa kau tidak menyesal setelah-"

"Ingin dengar sesuatu yang lucu? Orang-orang yang mengaku beradab... Akan saling memakan begitu sebuah masalah datang," potong Jiyong, yang terus bicara tanpa membiarkan Lisa membalas ucapannya sama sekali. "Lihat Mark, dia seorang pengacara, appanya mantan jaksa, keluarganya terpandang tapi dia berani memukul temannya karena takut di usir dari gedungnya sekarang,"

"Anda yang membuatnya melakukan itu," balas Lisa sementara Jiyong hanya tersenyum. Jiyong menikmatinya, ketika ia dapat membuat orang lain melakukan apapun yang dikatakannya. Jiyong menikmatinya, ketika ia dapat mengontrol orang-orang di sekitarnya. Jiyong menikmatinya, ketika ia dapat membuat keputusan yang mempengaruhi hidup orang lain. Hidup orang lain berada dalam genggamannya.

"Kau tahu? Bagian terburuk dari sakit jiwa adalah ketika orang-orang berharap kau tidak memilikinya. Aku membayarmu untuk manengisi konselingku, aku membayarmu sebagai Psikiaterku. Tapi aku tidak benar-benar ingin sembuh, aku tidak butuh obat darimu, kau tidak perlu mengobatiku. Kau hanya sebuah tameng, agar aku tidak kehilangan jabatanku. Tidak ada pengusaha yang ingin bisnisnya di atur oleh orang sakit jiwa. Aku hanya membutuhkanmu sampai appaku mati. Begitu dia mati, tidak ada seorang pun yang bisa memecatku karena masalah kejiwaan ini. Bukankah itu menarik?"

"Kenapa kau memberitahuku rencanaku? Kau percaya padaku?" tanya Lisa dan Jiyong tertawa, sembari menggelengkan kepalanya.

"Aku hanya memberi topik untuk kau tulis di laporanmu," jawab Jiyong. Terus menerus mempermainkan Lisa dengan ocehannya. Jiyong mengetahui mengenai masalahnya, pria itu mengakui kalau ia sakit jiwa namun merasa baik-baik saja dengannya. Apa salahnya sakit jiwa? Begitu menurutnya. Orang-orang mencela Jiyong karena pria itu berbeda, namun Jiyong justru menertawakan mereka– karena mereka semua terlihat sama. "Aku akan memberimu sebuah cerita lagi," ucap Jiyong dan tentu saja Lisa mengiyakannya. Pekerjaan memang membuatnya harus mendengarkan semua ucapan Jiyong.

"Aku anak tunggal," ucap Jiyong kemudian, memulai ceritanya dengan sebuah informasi yang sudah Lisa ketahui. "Dan aku tinggal dengan kakekku, kau tahu kenapa?"

"Kenapa?"

"Eommaku pemabuk kasar yang sering membawa selingkuhannya pulang kerumah. Tapi appaku tidak peduli, yang di pedulikan appaku hanya pekerjaannya, bisnisnya, dia membuat keluarganya kesepian dan membuat eommaku perlu bantuan oranglain untuk bertahan hidup di rumah. Karena appaku yang hanya bisa bekerja, eommaku kecanduan seks dan alkohol. Katanya seks membuatnya merasa dicintai, jadi dia bahkan tidak peduli walaupun aku melihatnya tengah berhubungan seks dengan pria-pria muda yang ia bayar. Menjijikan. Saat itu ku pikir hidupku adalah tragedi. Sampai aku menyadari... Kalau ternyata hidupku sebuah drama komedi yang benar-benar lucu. Dunia memaksamu, memaksaku, memaksa eommaku untuk menjadi baik seperti yang mereka inginkan. Tapi dunia tidak bersikap adil, setidaknya padaku dan eommaku. Keadaan dan dunia yang membuat eommaku jadi sangat kesepian sampai kecanduan seks dan alkohol. Tapi dunia juga yang mencelanya. Bukankah itu lucu? Seperti kau menyuruh seorang anak memecahkan piringnya, tapi kau juga yang memarahinya ketika piring itu hancur,"

"Jadi maksudmu kau menyalahkan appamu?"

"Kenapa aku harus menyalahkannya?" jawab Jiyong yang lagi-lagi mempermainkan ucapannya sendiri. Membuat Lisa kembali ragu akan kebenaran ceritanya. "Memang... Memang dia dan kesibukannya yang membuat eommaku, aku, keluarga kecil kami hancur. Dia dan kesibukannya mendorong eommaku untuk menjadi pecandu. Tapi menjadi pencandu seks dan alkohol adalah pilihan eommaku. Aku tidak menyalahkan siapapun, aku hanya merasa hidupku, hidup kita sangat lucu. Ada banyak sekali orang yang mendorong orang lain untuk menjadi jahat, tapi mereka membenci orang jahat, lucu bukan?"

"Tida-"

"Tapi kenapa kau tersenyum saat mendengar ceritaku? Kau juga mengalami hal yang sama, bukan?" potong Jiyong, dengan senyum yang sangat lembut di wajahnya. Menjerat Lisa dan membalik peran mereka saat ini– Jiyong sebagai psikiater dan Lisa pasiennya. "Dunia sangat tidak adil padamu, bukan begitu? Apa yang mereka lakukan padamu, hm?" tanya Jiyong, yang kemudian mengulurkan tangannya untuk menyentuh jemari Lisa. Sentuhan Jiyong lantas membuat Lisa melepaskan berkas catatan kesehatan yang dipegangnya.

"Sekeras apapun aku berusaha, mereka menyebutku beruntung," jawab Lisa yang benar-benar terjerat pada manipulasi pasiennya. Entah Jiyong menceritakan kisahnya sungguhan atau hanya mengarang-ngarang cerita, namun kisah itu menyentuh Lisa, membuat Lisa merasa di mengerti. "Eomma bilang aku sangat cantik saat tersenyum, dia memintaku terus tersenyum dan membuat orang lain senang karena senyumanku. Tapi bagaimana aku bisa terus tersenyum sepanjang tahun? Apalagi setelah kedua orangtuaku meninggal. Rasanya seperti ada lem super di bibirku, rasanya sangat sakit ketika aku harus tersenyum. Tapi aku tetap tersenyum, sampai tanpa sadar orang-orang mulai menyebutku gadis jahat. Setelah orangtuaku meninggal, ada seorang pria paruh baya yang bersedia menjadi sponsorku. Dia memberiku uang untuk kuliah, dan sesekali memberiku uang untuk sekedar membeli pakaian. Tapi aku tetap butuh uang untuk makan... Aku tidak bisa bekerja karena kuliahku sangat sibuk, jadi aku menjual rumah dan tinggal di asrama universitas. Saat itu ku pikir hidupku sudah aman. Ada seseorang yang berjanji membayarkan biaya kuliahku, dan aku punya cukup uang untuk makan selama setidaknya empat tahun kuliah. Setelah lulus nanti ku pikir aku bisa langsung bekerja. Aku sudah merencanakan semuanya tapi orang-orang menyebutku gadis jahat yang tidak tahu malu. Orangtuanya belum lama meninggal tapi dia sudah menjual rumah peninggalan orangtuanya, gadis jahat itu benar-benar seperti anak durhaka. Bahkan paman dan bibiku mengatakan itu. Bagaimana bisa mereka mengatakan itu ketika mereka justru mengusirku karena tidak ingin memberiku makan? Kalau bisa jujur, menjual rumah orangtuaku juga bukan hal yang mudah untukku. Tapi aku tidak punya pilihan lain,"

"Tidak ada seorangpun yang mengerti perasaanmu, masalahmu, dan alasanmu, bukan begitu?" ucap Jiyong mengomentari dan Lisa mengiyakannya.

"Orang-orang yang tidak tahu kalau aku menjual rumah peninggalan orangtuaku menyebutku gadis paling beruntung, aku mendapat biaya kuliah dari seorang sponsor dan punya banyak sekali uang di rekeningku. Mereka bilang tidak ada gadis yang seberuntung aku. Aku menangis sampai air mataku kering, belajar dua kali lebih keras dari mereka, berhemat dua kali lebih keras dari mereka, tapi mereka tetap menyebutku sebagai gadis yang beruntung,"

"Bekerja 16 jam sehari, 7 hari seminggu dan 52 minggu dalam setahun bukanlah beruntung,"

***

Joker Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang