17

1.8K 295 14
                                    

***

Meminta pria mengerikan yang pernah menidurinya dengan sangat kasar bahkan menyebutnya sebagai pelacur untuk menjaganya dari seorang penguntit, rasanya tidak masuk akal. Tentu saja tidak masuk akal karena Jiyong tentu mampu melakukan sesuatu yang lebih kejam dibanding penguntit itu.

"Tempat ini benar-benar sempit," komentar Jiyong yang sekarang membalik keadaan di dalam apartement Lisa. Sebelumnya, Jiyong menuruti permintaan Lisa, pria itu akan tetap tinggal di apartemen Lisa, selama Lisa bersedia melakukan apapun untuknya– dalam artian menjadi pelayannya. Tuan rumah harus memuliakan tamunya, begitu menurut Jiyong.

"Maaf," gumam Lisa, yang berdiri di depan Sofa– di depan Jiyong. Keadaan benar-benar berbalik, Jiyong duduk di sofa seakan ia adalah pemilik tempat itu sementara Lisa berdiri di depannya dengan kepala tertunduk dan tengah berusaha keras untuk berhenti ketakutan– Lisa seperti seorang pelayan yang baru saja dimarahi majikannya.

"Kenapa kau tidak meminta Seunghyun hyung membelikanmu sebuah rumah yang lebih layak?" tanya Jiyong membuat kepala Lisa semakin tertunduk, bahu gadis itu sudah turun sejak tadi, Lisa sudah kehilangan gairah dan semangatnya hari ini. "Istrinya sudah mengambil seluruh gajinya? Hhh... Karena itu aku tidak ingin menikah, menyedihkan sekali. Dia tidak bisa memberimu banyak uang, kenapa kau tidak meninggalkannya saja?"

Tidak ada tanggapan, dan Lisa tetap diam. Lisa sendiri tidak tahu kenapa ia tidak meminta Seunghyun membelikannya rumah, yang tentunya lebih besar dari apartemennya sekarang. Sebelum Lisa berkencan dengan Seunghyun, Lisa memang tidur dengan beberapa pria untuk memuaskan kebutuhannya serta menerima beberapa hadiah. Namun Seunghyun memberinya sesuatu yang lain, Seunghyun membuatnya merasa dicintai, Seunghyun membuatnya berhenti kesepian dan tidak lagi membutuhkan seks dan hadiah dari pria-pria lainnya.

"Kenapa kau memilih jadi orang ketiga?" tanya Jiyong kemudian, karena Lisa terus tertunduk tanpa menanggapinya. "Kau merasa akan menjadi pelacur kalau tidak bergantung pada Seunghyun? Lebih baik jadi orang ketiga dibanding jadi pelacur? Begitu? Kau bisa hidup normal-"

"Normal katamu?!" bentak Lisa yang lantas membuat Jiyong mengukir senyumnya. Kini gadis itu mengangkat kepalanya, wajah takutnya berubah menjadi wajah marah yang penuh keberanian seperti biasanya. Jiyong tidak suka melihat Lisa ketakutan– kecuali kalau rasa takut itu datang karenanya. Membuat Lisa marah ternyata dapat menjadi solusi untuk menghilangkan wajah ketakutan itu.

"Kau tahu apa itu normal?! Apa kau sudah cukup normal untuk mengomentari kenormalanku?! Tersenyum ketika orang lain ingin melihatmu tersenyum dan menangis ketika orang lain ingin melihatmu menangis, itu yang kau sebut normal?! Kau sama tidak normalnya sepertiku! Kau hanya meniru ekspresi orang lain seperti psikopat lainnya! Saat kau menenangkanku di taksi tadi, kau pikir aku tidak tahu kalau kau hanya berpura-pura?! Apa yang harus ku lakukan saat seorang gadis menangis, kau mencari itu dibuku dan artikel bukan?! Kau bahkan tidak bisa berempati, berani sekali mengomentari normal tidaknya hidupku?!"

"Hm... Aku mencarinya di internet," santai Jiyong. "Aku harus menyembunyikan diriku yang sebenarnya sampai appaku mati nanti, aku bahkan mencari wajah sedih seorang anak yang kehilangan eommanya, ketika eommaku meninggal beberapa tahun lalu. Begitulah caraku hidup. Setidaknya dengan begitu aku bisa di terima di masyarakat, di perusahaan. Tapi Lisa... Apa kau baru saja mengakui kalau kau sama tidak normalnya denganku?"

"Aku bukan psi-"

Jiyong tertawa, terbahak-bahak ketika melihat Lisa kebingungan karena ucapannya sendiri. Tentu Lisa tidak ingin disamakan dengan psikopat seperti Jiyong, siapa yang senang di sebut bajingan kasar yang gila? Tentu tidak seorang pun akan merasa bangga dengan gelar psikopat. Bahkan Jiyong sekalipun tidak cukup bangga untuk memamerkan penyakitnya tersebut di hadapan masyarakat luas. Ada perbedaan besar diantara menerima sebuah penyakit dan membanggakan sebuah penyakit. 

"Aku tidak menyebutmu psikopat," ucap Jiyong kemudian, setelah ia selesai tertawa. "Hanya... Terima saja, kalau kau tidak seperti masyarakat yang sok beradab lainnya. Kau tidak bisa berbaur dengan mereka kalau kau terus seperti ini. Apapun alasanmu, kau menyukai Seunghyun, lantas sukai saja dia. Sukai dia sebanyak yang kau inginkan, kenapa kau terus bingung? Kenapa kau menganggap dirimu sendiri aneh karena menyukai suami orang lain? Pelacur, perebut suami orang atau bahkan keduanya, kalau kau menyukainya, kalau kau membutuhkannya, lakukan saja. Terima saja kalau kau pelacur, terima saja kalau kau perebut suami orang, terima saja kalau kau keduanya, terima saja kalau kau berbeda. Kenapa kau terus terombang-ambing diantara keduanya? Kenapa kau membenci dirimu sendiri karena kau ingin bercinta dengan banyak pria? Kenapa kau membenci dirimu sendiri karena kau menyukai suami orang lain?"

"Itu salah..."

"Benar! Itu salah! Lalu kenapa? Apa dunia bersikap baik padamu? Dunia sudah merebut eommamu, appamu, membuatmu jadi anak sebatang kara yang kesepian," ucap Jiyong dengan kemampuan memanipulasinya, dengan kata-kata membingungkannya. "Tentu saja menjadi pelacur itu salah dimata orang-orang beradab itu, tapi apa kau tahu bisnis apa yang tidak pernah kehilangan pasarnya? Pelacuran. Jangan naif seperti orang-orang munafik itu, akui saja. Sejak ribuan tahun lalu pelacuran tetap eksis sampai hari ini. Menjadi pelacur salah? Ya, orang-orang itu menyalahkan pelacur, tapi kenapa bisnis pelacuran sampai hari ini masih ada? Karena sebagian besar dari orang-orang beradab itu tetap membutuhkan seorang pelacur,"

"Kau membenarkan pelacur sekarang? Kau menyuruhku menjadi pelacur? Aku seorang dokter!"

"Kalau begitu bersikaplah seperti seorang dokter! Hapus prasangka kalau kau akan menjadi pelacur saat Seunghyun meninggalkamu. Bagaimana kalau kau berpisah dengan Seunghyun? Kau bisa tetap menjadi dokter, tidak perlu jadi pelacur kalau kau tidak menginginkannya, tapi menjadi pelacur juga tidak masalah. Aku bisa menyewamu sesekali kalau kau menjual dirimu,"

"Tuan Kwon," ucap Lisa dengan tangannya yang sudah terkepal sekarang. Gadis itu benar-benar kesal mendengar ucapan Jiyong– walaupun di kepalanya sempat terlintas kalau ucapan Jiyong itu benar.

"Ya?"

"Aku ingin menamparmu sekarang,"

"Lakukan saja, tapi-" jawab Jiyong yang sudah lebih dulu ditampar tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya. "Tapi kau harus menerima akibat dari tamparanmu ini, nona," lanjut Jiyong sembari membuka mulutnya karena rasa tidak nyaman dari panas tangan Lisa di pipinya. Tanpa menunggu, pria itu menarik Lisa mendekat padanya. Menarik Lisa sampai gadis itu menabrak sandaran sofa di sebelahnya. Pergelangan tangan Lisa terasa seperti tengah di terjepit sesuatu yang sangat kuat, rasanya remasan tangan Jiyong dapat menghancurkan tulang-tulang di pergelangan tangannya itu.

"T- tuan Kwon- kau mengizinkanku- kenapa kau marah-"

"Ya, aku mengizinkanmu menamparku, aku hanya mengizinkannya... Aku tidak bilang kalau aku akan diam saja setelah kau menamparku," jawab Jiyong dengan tatapan iblisnya yang menghipnotis. Tatapan pria itu sangat tajam, sangat gelap, tatapan yang rasanya dapat membunuh Lisa saking tajamnya.

Seperti ketika pertama kali Jiyong menyebut Lisa sebagai pelacur, gadis itu menampar Jiyong. Kemudian berkat tamparan itulah, Lisa berakhir di kamar hotel mewah yang Jiyong tempati dan diperkosa disana. Tatapan Jiyong kali ini mengingatkan Lisa pada malam mereka bercinta– yang menyakitkan namun luar biasa nikmat.

"Tamparanmu benar-benar semakin keras, apa selama ini kau berlatih?" sinis Jiyong sembari mendorong Lisa sampai bagian belakang leher gadis itu menyentuh sandaran tangan pada sofanya. "Kau sudah bersiap untuk ini, benar 'kan?"

"Tu- an- Kwon-"

"Sudah ku bilang..." potong Jiyong sembari memegang dagu Lisa dengan satu tangannya, sementara tangan lainnya menahan berat tubuhnya sendiri. "Kau melakukan kesalahan ketika memintaku tetap disini menemanimu. Atau kau merencanakannya? Menjijikan,"

***

Joker Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang