Baikan?

498 30 0
                                    

Tidak semua luka dapat dijabarkan, tidak semua bingung menemui titik terang. Ada banyak kecewa hanya hanya dapat dirahasiakan, seperti rasa yang kadang tak dapat diutarakan, baik lewat lisan maupun aksara.

Hal terlucu dari kenangan adalah dapat membuat hal yang manis dijalani malah ditangisi di akhir. Kadang, tertawa sendiri bagaimama kenangan itu berputar bagai kaset lama, perihal pernah bodoh karena cinta.

"Jadi?" Della nampak tak sabar, terlihat gugup juga.

"Lo bener-bener suka sama murid pindahan itu?" Arga menatap Della tepat di manik hazel gadis bersurai sepunggung itu.

Della tak menjawab, memilih menatap ke arah luar kedai kopi. Langit mulai berwarna jingga yang artinya senja segera tiba, lalu berganti malam.

"Del?" panggil Arga, mau tak mau, Della kembali menatap sosok itu.

Matanya mengerjap dua kali, "Lo tau? Selain cinta, kepercayaan itu penting, Ga. Sekarang, kalau gue bilang gue gak suka, gue gak cinta, gue gak punya rasa apapun sama Dello... apa lo percaya? Apa lo bisa terima?"

Berganti, kini Arga yang diam. Bedanya, jika tadi Della diam karena tak ingin menjawab, maka Arga diam karena tidak memiliki jawaban.

"Sejak awal lo terlalu protective sama gue, Ga. Semua yang gue lakuin, hampir semuanya salah di mata lo, lo selalu batasin gue seakan gue boneka yang bisa lo kendaliin." Della berucap tenang, meski sorot matanya menyatakan sebaliknya.

Pada fakta, perempuan memang penyimpan rasa yang palinh hebat. Marah dengan diam, jatuh cinta pun kadang dalam diam.

"Lo tau apa alasannya, Del."

"Dan lo tau gimana gue berusaha memahaminya, Ga. Tapi, planet biru ini bukan cuma ada lo dan gue, bukan cuma kita, Ga."

"Gue sayang sama lo dan gue terlalu takut lo gak bergantung lagi sama gue."

"Lo bisa tanya sama Dello, apa pernah mengkhianati lo... dan temuin gue lagi kalau lo udah punya jawabannya."

Suara decitan kursi yang ditarik mundur terdengar, gadis juita itu siap beranjak, namun Arga menahannya. Netra hitam itu menatap Della tanpa kedip, seakan takut jika ia terpejam barang sedetik, masa satu-satunya gadis yang ia cintai itu akan hilang.

Cowok behoodie hitam itu bangkit dan memeluk Della, tak peduli dengan beberapa pengunjung cafe yang menatap mereka dengan sorot beragam. Della tak membalas, tak juga melepas.

"Gue akan temuin lo, saat gue dapat jawabannya."

***

"Dellaaaaaa, gue kangen banget sam-" ucapan seseorang dari negara sebrang itu terhenti saat Della memotongnya.

Gadis yang baru saja pulang dari kedai kopi itu menyerah dan memilih mengangkay telpon dari sosok yang terus saja menghubungi Della. Mungkin jika handphone bisa marah-marah, benda pipih itu akan mengomel dan meminta Della untuk segera mengangkat panggilan dari Dello.

"Dello," suara Della terdengar berbeda, asing. "Gue pengen lo lupain gue. Jangan hubungi gue dan berharap lebih, apa yang ada di antara kita cuma sebatas anak MPK yang harus nemenin murid pertukaran pelajar, gak lebih."

"Del, lo kenapa sih? Kesambet? PMS?"

Terkedar helaan napas berat Della, gadis itu memejamkan matanya rapat. "Kita bahkan bukan teman, Dello!"

Bukan.

Teman.

Bukan teman.

Ya Della benar, mereka buka teman karena pada akhirnya tidak ada pertemanan cowok-cewek yang berjalan lancar. Dan sebelum rasa yang Della miliki semakin menuntut lebih, ada baiknya gadis itu akhir bahkan sebelum semuanya dimulai.

"Oke, kalo gue ganggu lo, gue minta maaf. Gue cuma-"

Belum sempat Dello menyelesaikan ucapannya, Della lebih dahulu mengakhirinya. Della memilih mematikan ponselnya, melempar tubuh letihnya di atas kasur dengan pandangan menerang ke langit-langit kamar.

Arga dan Dello.

Tak seharusnya Della mencintai mereka dalam waktu bersamaan. Tak seharusnya Della menjadi seegois ini, baik pada Arga maupun Dello.

***

Di sisi lain, Agatha sedang berusaha agar rasa yang ada di hati kecilnya tak disadari oleh siapapun, termasuk dirinya sendiri, apapun yang ia rasakan, itu salah. Satya adalah yang terbaik dan tak seharusnya Agatha mengkhianati cowok itu.

"Ngelamun aja."

"Eh?" Agatha cengo, "Sejak kapan kamu di sini?"

"Sejak kamu melamun. Ngelamunin siapa?"

Pertanyaan Satya tak kunjung mendapat jawaban Dari Agatha. Jelas, bukan ia yang ada dalam pikiran gadisnya itu.

***

"Ice cream." Rian mengulurkan satu cone ice cream rasa cokelat pada Rere, "Aku minta maaf."

Rere mengerjap, tak menjawab.

"Katanya cokelat bisa memperbaiki mood dan ice bisa bikin kepala dingin." Cowok itu tak menyerah, kembali mengulurkan ice cream cokelat itu pada gadisnya, "Jadi aku kasih ice cream cokelat."

TBC

At This Very Moment✔ #wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang