Dua

10.1K 1K 65
                                    

Hari yang sebelumnya ia sangat nantikan. Kini terasa tak ingin ia sambangi. Hari ini ia mengenakan jas rapih, tapi bukan sebagai pengantinnya. Melainkan sebagai pengantar pengantin. Revan menatap dirinya dari pantulan cermin.
Revan kembali terduduk di tepi tempat tidurnya. Dia menumpukan kedua sikutnya di atas pangkuannya. Revan tak tahu harus bagaimana meluapkan rasa sakit yang membuat kerja jantungnya melambat. Revan benar-benar takut kehilangan kendali.

Malam ini dia akan berangkat ke London. Lebih cepat lebih baik. Ini hanya sebagai perpisahan. Tiga tahun pasti cukup bukan untuk melupakan semuanya? Iya, dia tidak boleh lemah. Dia laki-laki. Pantang baginya merana seperti sekarang ini.
Revan bangkit dari duduknya, dia segera mengambil kunci mobilnya berjalan keluar dari kamarnya.

Sampai di tempat parkir. Mata Revan menatap nanar taman yang penuh dekorasi bernuansa ceria itu. Semua warna-warna ada di sana. Revan menarik napasnya dalam-dalam menghembuskannya lewat mulut. Dadanya bergejolak semakin parah. Dia tak sanggup, dia menyerah. Revan memilih berdiam diri di dalam mobil.

Revan sudah menghubungi semua orang, bahwa yang akan menikah itu Revin bukan dirinya. Revan juga sudah menghubungi Nesa jika pernikahan akan tetap berlangsung. Tentu saja dengan Pria yang dicintai Nesa. Semuanya sudah Revan urus. Dia sudah membereskan kekacauan yang semalam ia buat. Dari karangan bunga sampai nama cake sudah Revan ganti dengan nama Revin. Sorvenir pun sudah di ganti dengan nama Revin. Semua tanggung jawabnya, Revan mengeluarkan banyak uang mengganti semuanya.

Mata Revan beralih menatap ereng-erengan mobil pengantin Pria. Senyum pedih kembali terbit dari bibirnya. Tidak lama kemudian ponselnya berdering.
Revan melihat nama yang tertera di sana. Revan ingin sekali mengabaikan panggilan itu, tapi dia juga ingin mendengar suara wanita yang ia cintai untuk terakhir kalinya sebelum resmi menjadi adik iparnya.

"Ya?" Suara Revan tercekat tersangkut di tenggorkan.

"Maafkan aku Revan... Aku banyak nyakitin kamu. Dan kamu malah melakukan semua ini buat aku." Terdengar suara isakan dari sebrang.

Revan mengeraskan hatinya. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian."

"Revan..."

"Aku nggak akan pernah bisa benar-benar marah sama kamu. Kamu tahu itu, kan? Kamu segalanya bagiku. Terlepas dari luka yang kamu goreskan, tapi kamu lebih banyak mengukir keindahan bersamaku." Revan menahan napasnya sejenak. Dia merasa akhir-akhir ini sangat lembek dan juga melow.

"Jangan menangis, Nesa. Ini hari bahagia kamu. Nggak baik nangis-nangis begitu. Aku juga bakalan datang. Ini lagi di jalan. Jalanan macet banget. Aku tutup teleponnya ya. Happy wedding day, darl." Revan segera menutup teleponnya. Dia menengadah menahan laju air matanya. Dia memang Pria, tapi percayalah. Di saat Pria menangis, itu artinya sakit dalam dadanya tak bisa ia bendung lagi.

Revan menunggu sampai semua orang masuk ke taman. Revan menajamkan pendengarannya mendengar kerubungan wanita yang berdiri di samping mobilnya.

"Masa undangan ribuan gitu salah nama. Nggak masuk akal banget, kan?"

"Iya, kayaknya memang Revan yang mau nikah sama itu cewek tapi kayaknya ada masalah deh."

"Kalau iya, kasihan banget ya Revan. Padahal dia ganteng, mapan juga. Pewaris perusahaan besar lagi. Aduh kasihan banget ya."

Revan mendengus memutar bola matanya jengah. Memang ya, wanita diciptakan dengan bibir dua. Hidup mereka nggak akan berwarna kalau tidak menggunjing orang lain. Astaga.. Revan tak habis pikir. Dering ponselnya kembali terdengar. Revan melihat nama yang tertera di sana. Ah, temannya.

"Ya?"

"Lo mau sampai bulukan di dalam mobil? Keluar kek. Ini gue sudah di taman." Gerutuan dari sebrang membuat Revan tersenyum tipis.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang