Lima

9.9K 974 22
                                    

Tiga tahun kemudian...

London

Dahi Revan mengerut heran melihat temannya yang selalu mojok di ujung koridor flat bertemankan dengan satu lembar potret yang entah siapa dalam potret itu. Revan berjalan menghampiri temannya itu. Dia ikut duduk di samping temannya ikut menatap langit malam. "Kamu punya kebiasaan aneh tiap malem. Seneng banget mandangin poto itu." Revan melirik potret yang dipegang sekilas. Tangan Revan bergerak menepuk bahu temannya menguatkan. Temannya seorang wanita yang sama berasal dari Indonesia, hanya berbeda kota.

Wanita yang bernama Janira itu mendelik sebal ke arah Revan. "Kamu itu, ngurusin aku saja. Itu perut kamu ratain dulu sebelum balik lagi ke Indo," cibirnya sebal.

Revan memang banyak berubah, terutama fisiknya. Tubuhnya masih tetap tinggi, hanya perutnya dan pipinya yang sangat terlihat kentara perubahannya. Perut buncit dan pipi chubby. Tapi, wajahnya masih tetap tampan mempesona. Di sekitar flatnya saja banyak yang mengajak Revan berkencan. Revan memang tidak terlihat seperti Lelaki yang pernah patah hati.

Bukannya tersinggung, Revan malah tertawa. "Eh. Galau boleh. Tapi jangan kelamaan. Nggak bosen galau terus selama tiga tahun di Inggris?" Revan menarik sebelah alisnya menggoda Janira.

Raut wajah Janira berubah masam. "Hah... Pengennya juga aku melupakan dia. Susah baget tapi. Apa mungkin jodoh kali, ya?" Janira mendaratkan kepalanya di bahu Revan.

Mereka memang sudah sangat dekat, tapi hanya sebatas sahabat. Tidak lebih. Karena Revan sendiri tidak merasakan kelancangan hati yang bisa membuatnya terpuruk. Mungkin hatinya sadar, jika Janira bukan hati yang mudah ditaklukan. Jadilah hatinya tak terjerumus, beruntung karena tidak perlu merasakan yang namanya patah hati lagi. Revan masih sangat jelas merasakan bekas sakitnya cinta dalam dadanya. Ternyata, luka dalam lebih lama proses penyembuhannya daripada luka luar.

"Jodoh? Ada gitu saling menyakiti? Nggak ada, ya." Revan menyangkal ucapan Janira. Karena hakikatnya, jodoh adalah pasangan yang ditakdirkan Tuhan untuk saling melengkapi dan saling mencintai. Bukan malah saling menyakiti dan mengkhianati.

"Besok lusa pulang, Van. Kamu mau ikut ke rumahku dulu? Atau langsung ke Bandung?" Janira mengalihkan pembicaraan.

Alis tebal Revan saling bertaut. "Kalau langsung ke Bandung, itu pake ongkos sendiri. Sayang kan, duitnya. Mending ke Jakarta, transitnya di rumah kamu deh," sahutnya mengerling jahil ke arah Janira.

Janira memutar bola mata malas. "Ada ya, Laki kayak kamu. Aku nggak tahu deh, ceweknya bisa tabah apa nggak menghadapi kamu." Janira sangat tahu bagaimana kejahilan dan ketengilan seorang Revan. Dia sering jadi korban.

Revan terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum tipis menanggapi ledekan Janira. Janira seorang wanita, sudah pasti Nesa pun dulu merasa jengah atas kelakuannya yang berbeda jauh dengan Revin. Tidak salah memang saat Nesa tidak bisa mencintainya. "Dan untungnya nggak ada cewek yang mau." Revan menimpali disusul dengan tawanya yang menggelegar. Revan tahu dirinya memang tidak layak untuk menjadi seorang kekasih apalagi menjadi seorang Imam. Sedikit ada rasa syukur karena Nesa mengatakannya sebelum semuanya masuk dalam zona yang semakin serius.

"Aku perhatiin, kamu happy-
happy saja di sini, Van. Kayak nggak ada beban atau apa pun itu. Kayaknya, kamu memang bahagia banget, ya?" Janira menebak seperti itu, karena memang melihat Revan dari awal sampai detik ini. Revan sangat menikmati perjalanannya. Bahkan, Revan sangat mudah bergaul dengan lingkungannya. Di flat, di tempat kerja, dan di Kampus. Revan punya banyak teman. Dan selalu terlihat senang saja.

Revan tersenyum tipis. "Karena hidup itu ada untuk dinikmati, Nir. Aku belajar menikmati detik demi detiknya masalah yang semakin mendewasakan aku. Aku belajar meresapi setiap perihnya perjuangan. Kalau banyak mengeluh bisa membereskan semuanya. Aku bakalan jadi orang pertama yang banyak mengeluh."  Revan menolehkan kepalanya ke samping supaya bisa langsung menatap sahabatnya. "Bohong banget kalau kita hidup nggak ada masalah sedikit pun." Revan mengedik tak acuh karena jika dikorek seberapa banyak masalahnya. Sudahlah pasti dia yang paling pertama masuk dalam urutan pertama masalah itu. Mungkin.

"Van, cinta itu sakit, ya... Kita cinta tapi tidak bisa memiliki. Rasanya sesak banget." Seperti biasa. Janira selalu dengan mudah mengalihkan topik pembicaraan.

Revan mendesah pelan. Memang, rasanya itu sakit sangat membekas. "Hem... Kayak kita pengen meluk bulan, tapi nggak akan pernah bisa," sahut Revan sendu. Membahas cinta, Dia memang selalu teringat akan kenangan itu. "Karena memeluk bulan itu nggak mungkin. Jadinya kita cuman bisa mandangin bulannya saja. Dengan berjuta rasa."

Mata tajam Revan, berubah jadi redup sendu. Denyut-denyut sakit kembali terasa. "Kamu pernah tanya, kan? Kenapa aku nggak mau nanggapin perasaan wanita-wanita di sini? Itu karena aku takut patah hati, Nir. Patah hati itu sakitnya bukan main."
Revan jadi larut dalam bayangan masalalu. Dia sebenarnya tidak mau menunjukan sisi kelamnya.
Namun, mengingat kata cinta. Itu membuatnya harus tersenyum pahit. Menelan bulat-bulat rasa sakit akibat jatuh cinta. Patah hati boleh, tapi bukan berarti kita harus berhenti disatu titik, kan?

Revan merasa bahunya basah. "Aku belum bisa bangkit sepenuhnya dari dia, Van." Revan terdiam. Dalam hatinya ikut menimpali jika dirinya merasakan hal yang sama.
"Aku bego banget kan, Van. Masih saja terpaku sama dia." Kini Janira terisak.

Revan meringis. "Iya, emang kamu bego. Nggak ada cowok lain apa dipikir. Terpaku sama satu cowok itu nggak baik juga, Nir. Nih, ada Babang Revan yang ganteng siap bahagiain kamu." Revan membunsungkan dadanya tanda bahwa ia sedang bangga.

Janira bangkit menggeplak kepala Revan membuat Revan mengaduh. "Mulut kok gitu banget! Aku mah ogah sama kamu." Janira menggerutu kesal.

Revan tertawa terbahak-bahak. "Kamu sih nggak tahu, Nir. Aku ini limitid edition," ujarnya dengan bangga. Siapa yang tahu, di balik tawanya, Revan menyimpan sejuta luka yang menumpuk dalam hati membuat hati terpecah tak berbentuk lagi.
Revan tidak bisa berbuat lebih. Dia hanya bisa pasrah. Jika membahas dendam, Revan bukan orang yang pedendam. Dia tulus memaafkan orang-orang yang melukainya. Biarlah Tuhan yang membalasnya. Begitu pikirnya.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang