Sebelas

11.7K 1K 116
                                    

No edit, mon maap kalo ada kalimat nggak efektif sama kalimat yang rancu. Tulisan zaman doloe.
***

Revan mendongak menatap Wanita yang berdiri di depannya. Revan menutup buku laporan yang tadi pagi Malik berikan padanya. "Kamu nggak ngajar lagi, Van?" Dia Nesa. Nesa tiba-tiba datang pagi-pagi memasuki ruangannya tanpa permisi mengganggu pekerjaannya. Untung saja Katia hari ini masuk bagian siang hari. Nesa mengenakan pakaian casual. "Aku ganggu kamu?" Nesa bertanya ragu.

Revan mendesah pelan menutup buku laporan. "Enggak," jawab Revan pendek. Revan beranjak dari kursi kerja yang ada dekat jendela. Dia berjalan menuju sofa yang berada di tengah ruangan itu. "Kamu mau labrak wanita itu lagi?" Tanya Revan setelah mendaratkan bokongnya di sofa.

Nesa mengedik. Dia menyusul Revan lalu duduk di samping Revan. "Aku mau cerita sama kamu, Van," sanggah Nesa pelan.
Nesa tiba-tiba memeluk lengan Revan menumpahkan tangisnya di pundak Revan. Posisi yang ia rindukan saat bersama dengan Revan dulu.

Revan terkesiap, dia merasa pundaknya basah dengan air mata. "Kamu, oke?" Revan memiringkan kepalanya menatap Nesa.

Nesa menggeleng semakin menangis. "Aku nggak baik, Van. Aku sakit ...," lirih Nesa memegangi dadanya dengan sebelah tangannya. "Aku sakit ...," ulang Nesa semakin teredam tangis. Revan terdiam. Membiarkan Nesa menumpahkan tangisnya dulu. Revan tidak mengerti, bukannya Nesa lebih memilih Revin karena Revin lebih baik darinya? Seharusnya Nesa bahagia sekarang. Nesa menangis tersedu menyembunyikan wajahnya di punggung Revan. Revan tahu, karena Nesa dulu sering melakukan itu saat dia benar-benar ingin menangis.

"Revin menyakitimu?"

Nesa tidak menjawab, dia hanya menganggukan kepalanya pelan.

"Dia bermain wanita lagi?"

Nesa masih tidak menjawab, tangisnya malah semakin menjadi. Dan nahasnya, Revan tidak merasakan denyutan sakit saat melihat Nesa menangis. Dulu, Revan selalu ikut merasa sakit jika Nesa menangis seperti itu. Tapi sekarang tidak.

Menunggu beberapa menit, sampai pintunya terbuka disusul Malik ikut muncul. Malik menatap Revan penuh tanya sebelum melirik Nesa yang masih menangis menyembunyikan wajahnya di balik punggung Revan.

Revan memberi isyarat agar Malik ikut duduk di sofa. Dia tidak mau sampai terjadi kesalah pahaman jika sampai terpergok dalam posisi seperti itu. Malik menuruti isyarat Revan, dia duduk di sofa yang berhadapan dengan Revan.

Dirasa tangis sedikit mereda, Revan kembali bertanya. "Sudah lega?"

Nesa merubah posisinya duduk tegak menatap Revan lekat. Matanya sembab dan hidungnya memerah. "Maaf, aku pasti ganggu kamu." Nesa menoleh mendapati Malik yang sudah duduk di hadapannya.

"Tidak masalah. Kamu bisa cerita. Mau sekarang atau lain kali? Kebetulan hari ini kami ada tinjau tempat baru. Dan harus segera pergi." Revan berkata penuh ketenangan. "Kalau kamu mau bercerita. Kamu bisa bercerita sama Mbak Revi, setahuku dia stay di rumah." Begitu lebih bagus. Dia sebenarnya tidak ingin bergesekan dengan masalalu. Dia ingin mengubur semuanya dan menutupnya rapat. Kedatangan Nesa ke rumah produksinya bukan hal yang baik. Dia tidak ingin merusak rumah tangga saudaranya hanya karena Nesa kembali memercikan api pada debu cinta yang sudah padam. Dia tidak ingin cinta itu kembali menyala membakar akal sehatnya untuk menghalalkan segara cara untuk mendapatkan Nesa. Tidak. Dia tidak mau.

Nesa menatap Revan nanar. "Kamu ngusir aku?" Tanya Nesa dengan raut wajah terluka.

Revan menggeleng. "Tidak. Bukan maksud mengusir, tapi aku memang sedang harus tinjau perkembangan rumah produksi baru sih sesuai jadwal," sangkal Revan masih bersikap tenang.

Nesa tersenyum miris. "Aku tahu, kamu lagi menjauhiku, bukan? Kamu nggak mau bertemu denganku, kan?" Nesa menatap Revan sendu.

Revan tersenyum simpul. "Kamu tahu aku orangnya paling nggak bisa marah lama-lama. Aku juga nggak suka naruh dendam. Jadi, pikiran kamu itu nggak ada benarnya." Revan tersenyum simpul membalas tatapan Nesa.

Nesa seperti tidak tahu malu, dia malah memeluknya dengan erat dari samping. "Aku cari kamu dari dulu, Van. Aku merindukanmu," bisik Nesa kembali terisak.

Revan terpekur beberapa saat sebelum akhirnya berdeham. Biasanya, bila Nesa mengatakan rindu. Sudahlah pasti hatinya bergetar senang. Namun sekarang? Kata rindu itu seolah angin lalu yang melintasinya begitu saja. "Kamu seharusnya jangan mengatakan itu, Nes."

Nesa mendongak menatap Revan sedih. "Mengapa jangan?"

"Karena resikonya bener-bener tinggi," ucap Revan sembari melepaskan pelukan Nesa. "Kamu sudah jadi istri dari adikku, itu akan jadi boomerang untukku. Kamu tahu betul bagaimana hubunganku dengan keluargaku. Apalagi setelah pembatalan pernikahan itu," jelas Revan pelan. Revan tidak pernah menyembunyikan apapun dari Nesa. Hanya bisnisnya saja yang ia sembunyikan, bermaksud untuk jadi kado pernikahan mereka dulunya.

Bukannya menjauh, Nesa malah kembali memeluk Revan dan membenamkan wajahnya lagi di pundak Revan. "Aku minta maaf, Van. Aku benar-benar minta maaf."

Entahlah, Revan merasa air mata Nesa tidak berpengaruh sedikitpun pada hatinya. Apa mungkin rasa yang ia anggap masih ada sebenarnya telah hilang ditelan waktu? Kalau memang iya. Revan sangat bersyukur.

"Bos, kita harus berangkat sekarang." Malik merasa jengah dengan drama yang Nesa lakukan. Malik tahu betul tabiat Nesa yang sebenarnya.

"Nes, sorry. Aku beneran harus pergi." Revan berusaha melepaskan pelukan Nesa. Lama-lama dia risih sendiri. Pelukan terlepas, Revan segera beranjak dari duduknya menghindari Nesa. Revan melangkah membawa ranselnya yang di simpan di atas nakas kecil yang ada di ruangan sana. Dia berbalik menatap Nesa yang masih bergeming menatapnya. "Kamu mau aku teleponin Mbak Revi buat jemput atau dengerin cerita kamu?" Revan kembali berucap. Coba, kurang baik apa lagi dirinya.

Nesa menggeleng. "Aku akan ke rumah habis dari sini. Nggak usah hubungin Mbak Revi." Nesa mengusap pipi dan matanya sebelum beranjak dari duduknya. Nesa hendak melangkah mendekati Revan. Namun, tergesa Revan melangkah lebar menuju pintu keluar. "Ayo, Bro. Keburu siang," ajaknya sambil berlalu.

Revan trauma. Dia tidak mau perasaan menyiksa itu kembali lagi. Revan lebih nyaman dengan diri dan hatinya yang sekarang.

***

Siang berganti malam, semua furniture kebutuhan Revan sudah terpenuhi. Revan saat ini tengah menghirup udara malam yang sangat melegakan. Revan berdiri dengan tangan yang bertumpu pada pembatas balkon. Mata tajam Revan memancarkan kesejukan, mata itu mengamati sekitar rumah produksi yang amat luas dengan taman belakang yang sengaja disediakan. Tatapan mata Revan berhenti tepat pada sosok wanita yang tengah duduk di bangku taman sendirian. Melamun lagi.
Revan berdecak kemudian melangkah menuruni tangga yang memang ada dari arah belakang langsung menuju taman. Ada tiga tangga dari luar. Satu dari arah depan, satu dari arah samping, dan satunya lagi dari arah belakang. Semuanya berhenti di lantai dua. Revan tidak mau repot harus berkeliling rumah untuk langsung keluar. Maka dari itu dia memberikan desain yang dia inginkan sedemikian rupa.

Sampai di bawah, wangi mawar menguar. Revan terus melangkah, lalu ikut mendudukan diri di samping Katia. Revan menoleh bersamaan dengan Katia yang menoleh hingga tatapan mereka bertemu.

Revan tersenyum manis dan senyuman itu seolah menular pada Katia. Katia ikut tersenyum menampakan lesung pipinya membuat Revan terpana. "Cantik," gumamnya nyaris tak terdengar. Revan berdeham mengalihkan tatapannya. "Kamu seneng banget melamun, kayak nenek-nenek kurang belanja." Revan berujar santai menatap lurus ke depan.

Revan kembali menatap Katia. "Jangan sering-sering senyum kayak gitu. Atau nanti saya bakalan jatuh cinta sama kamu." Revan berucap serius. Dalam benaknya Revan sungguh mengagumi kecantikan Katia yang disinari rembulan. Bercahaya dan berkilau, ditambah rona merah di kedua pipinya menambah kecantikan Katia. Jika saja debaran jantungnya tidak segera menyadarkannya. Mungkin Revan akan terus menatapi Katia.

"Maaf?" Katia membuka suara. Dia menatap Revan penuh keheranan.

Revan gelagapan, dia berdeham keras. "Iya. Kamu jangan sering-sering senyum gitu." Revan mengulang ucapannya.

Senyum Katia semakin lebar membuat Revan benar-benar terpana. "Bukannya senyum itu ibadah?" Suara Katia terdengar merdu di telinganya.

"Kalau buat saya, senyuman kamu itu berbahaya." Revan menatap Katia lekat. "Bisa buat saya terjerumus dan jatuh berkali-kali nantinya." Revan tersadar atas ucapannya, dia menggeleng pelan. Mungkin dirinya terserang kantuk jadinya seperti sekarang ini. Melantur.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang