Sepuluh

9.1K 939 62
                                    

Katia duduk gelisah, dia menatap Revan takut. "Bapak kenapa manggil saya?" Katia bertanya pelan. "Apa masih berhubungan dengan kejadian tadi pagi?"

Katia melihat atasannya yang duduk santai sembari meminum kopi dadakan yang dibuat oleh anak paking. "Kamu ada hubungan apa sama Revin? Apa kamu memang benar kenal dia?"
Wajah Katia pucat pasi, tubuh Katia menegang. Ini yang dia takutkan sedaritadi. "Saya ... Saya ..." Katia merasa suaranya tersendat di tenggorokan. "Saya tidak mengenal Revin, Pak." Katia sangat takut, sungguh. Tidak perduli apa hubungan Pria di hadapannya dengan Revin, Katia sudah tidak ingin berhubungan dengan Revin.

Katia melihat Revan terkekeh pelan. "Kamu santai saja. Saya nggak makan orang, kok. Saya memang baru pulang dari Inggris sih. Jadinya rada kaget melihat keributan tadi, tapi saya percaya sama kamu. Jangan takut." Ucapan atasannya membuat Katia bisa mengembuskan napas lega. "Jangan panggil Bapak juga. Kesannya saya tua banget, padahal saya masih baru tiga puluh tahun," ujarnya lagi membuat Katia tersenyum tipis.

"Kami biasa panggil *Akang pada Kang Malik," sahut Katia mulai bersikap biasa.

"Ya sudah, kamu panggil saya *A'a saja. *A'a Revan, kedengarannya keren." Revan menimpali dengan binar antusias. Katia hanya tersenyum sembari mengangguk pelan. "Saya cuman mau kasih tahu, jangan dekat-dekat dengan dua orang itu. Saya nggak mau kamu jadi jelek di mata orang lain. Kamu pegawai saya, sudah pasti rumah produksi bakal jadi bahan gunjingan juga."

Katia menunduk sedih. "Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa Katia katakan. Dia tidak mengerti kenapa wanita itu terus mengejarnya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pelakor. Padahal, Katia tidak sekalipun pernah melayani Revin.

Terdengar helaan napas lelah. "Jangan terus-terusan minta maaf. Saya bisa kenyang cuman mendengar maaf kamu."

Katia mendongak tersenyum geli. Semua ketakutannya hilang sudah. Ternyata pemilik tempatnya bekerja sangatlah ramah, tidak ada kata arogan apalagi dingin tak tersentuh. Atasannya sangat baik dan hangat pada setiap pegawai. Katia tidak pernah menyangka itu, dia sering membayangkan jika pemilik konveksi itu sangatlah sombong persis seperti Revin. Namun ternyata tidak.

Katia hendak meminta maaf, tapi segera Revan menghentikan ucapan Katia. "Saya beneran kenyang kalau kamu minta maaf lagi. Ayo, buatkan saya mie instan, rasa rendang, ya. Saya lapar banget," titahnya sangat santai.

Katia menatap Revan tak percaya. "Bapak mau makan mie instan?" Katia bertanya ragu. Dia pernah bercerita bekerja jadi admin online, bukan? Semua yang menjadi atasannya sangatlah sombong dan arogan. Mereka selalu mempersulit keadaan, tapi ini? Atasannya kali ini sangatlah berbeda. Katia melihat sebelah alis Revan terangkat menatapnya penuh tanya. Katia gelagapan. "Ehm, saya cuman mau memastikan kalau apa yang Bapak inginkan itu--"

"Kamu mau uang lembur kamu beku nggak saya cairin? Atau kamu mau---"

Katia seger beranjak dari duduknya berdiri dengan sigap. "Saya buatkan." Katia menatap Revan ragu. "Bapak nggak masalah tentang kejadian tadi pagi?" Katia takut jika dirinya sampai dipecat, karena jarang ada pekerjaan senyaman ini. Katia sangat betah bekerja di konveksi itu, dia sudah hampir dua tahun setengah bekerja di sana.

Revan mengedik. "Itu bukan urusan saya," pungkasnya tak acuh.

Katia menatap heran Revan. "Terus kenapa Bapak menyuruh saya kemari?"

Revan kembali mengedik. "Saya cuman mau ngasih teguran, jangan ulangi lagi melamun saat mesin menyala. Bahaya. Saya nggak mau ngeluarin biaya buat hal yang nggak masuk kesalahan produksi," tutur Revan santai.

Katia meringis. "Saya beneran--"

"Masakan mie sekarang," titah Revan sembari mengibaskan tangannya. "Sepuluh menit, jangan satu bungkus. Tiga bungkus mie cukup."

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang