Emak update ... Nyempetin dulu yes ... Emak bukan sibuk bikin kue shay ... Sibuk tamatin cucian sama setrikaan yang numpuk tralala bukan main. Eh malah curhat. Niatnya sebelum lebaran tamat, tapi apalah daya ternyata masih setengah perjalanan. Ayo gengs ... Ramaikan. Vomentnya biar emak semangat buat update lagi. Typo maafkeun ya, begitu beres langsung update. Nggak di edit2.
Happy reading dear ....
***
"Janin tidak bisa dipertahankan. Kita harus segera melakukan kuret karena janin sudah tidak berkembang lagi. Kondisi si Ibu lemah, banyak pikiran dan tekanan sehingga janin yang baru berusia sembilan minggu itu harus kami keluarkan." Penjelasan dari sang dokter mampu membuat keluarga Pratama terdiam merasa raga mereka ditarik secepat kilat. Apalagi Revin, dia merasa napasnya terenggut mendengar setelah mendengar penjelasan sang dokter.
"Revan sialan!" Desis Revin mengepalkan jemarinya kuat.
Tanpa diduga sebuah tamparan keras melayang ke pipi Revin yang masih bengkak. Revin merasa kebas, dia menoleh untuk melihat siapa yang menamparnya. Matanya menatap tajam Kakaknya yang menatapnya marah.
"Kenapa Mbak tampar aku?"
"Cukup buat nyalahin apapun masalah kamu sama Revan! Dia nggak pernah mengganggu hidup kamu!" Bentak Revi marah.
"Memang Revan penyebanya!"
"Kamu nggak bisa salahin dia!"
Keadaan berubah jadi menegangkan. Semua mata menatap pada dua saudara itu penuh tanya. Nyonya Prtama segera menutup pembicaraan. "Ya sudah dok, lakukan saja tindakannya. Biar Revin tandatangani." Nyonya Pratama beralih pada Revin. "Ayo Revin, ikut dokter sama perawatnya. Harus ada yang kamu tandatangani," titah Nyonya Pratama lembut.
Revi menatap Mamanya tak menyangka sebelum akhirnya membuang pandangannya ke arah lain tersenyum kecut. "Bagus! Belain saja terus anak kesayangannya," sarkas Revi muak.
"Revi!"
Revi tersentak, segera berbalik membalas tatapan tajam Ayahnya. "Kamu mau cari masalah, nanti. Jangan sekarang. Kasihan Revin. Dia lagi dilanda masalah." Tuan Pratama berujar pelan.
Revi berdecih menatap sinis Ayahnya. "Papa selalu saja mikirin perasaan Revin, tapi Papa nggak pernah mikirin perasaan Revan. Dia juga sama anak Papa! Adik aku!"
"Revi! Berani kamu, ya, berbicara selancang itu," tegur Nyonya Pratama.
Revi tersenyum masam. "Kadang aku suka mikir, apa mungkin Revan sering didatangi penyesalan karena terlahir dari keluarga hancur kayak gini?" Revi meringis sendiri merasa matanya memanas. "Revin, Papa, Mama. Selalu saja numpahin masalah itu penyebabnya Revan. Padahal, Revan nggak ada ikut campur sedikitpun."
Tubuh Revi bergetar, dia merasa ikut sakit dalam dadanya membayangkan betapa sulitnya hidup Revan. "Papa habis-habisan marahin Revan, menghina Revan, mencaci Revan. Apa Papa nggak pernah meraba bagaimana perasaan Revan? Apa Mama nggak ngenes lihat anak dicaci Ayahnya sendiri?"
Revi tidak bisa membiarkan semuanya terus berlarut. Revi harus meluruskan semuanya. Revi tahu, kalau Revan memang tidak masalah jika harus semakin jauh dengan keluarganya karena dia sudah berusaha. Tapi keluarganya? Mereka terlalu kejam tanpa mengetahui fakta apapun yang menyangkut Revan.
"Bagus! Sudah mau ngikutin jejak adik kamu yang pembangkang itu, hah! Kamu mulai berani sama Papa karena marah hubungan kamu sama gembel itu nggak Papa restuin juga, hah!"
Senyum masam Revi berganti jadi senyum miris. "Papa terlalu mengagungkan kasta dan harta. Aku berbicara karena memang fakatnya Revan nggak pernah salah!" Nada bicara Revi meninggi. Emosinya semakin tersulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakitnya Cinta (Tamat)
PovídkySiapa yang bisa tabah ditinggalkan calon pengantin wanita di saat pernikahan akan berlangsung hari esok? Apalagi yang merebut calon pengantinnya itu adalah saudara kembarnya sendiri. Senyuman, tingkah laku konyol Revan adalah bentuk kesakitan dalam...