Tujuh Belas

6K 904 123
                                    

Revan terlihat sedikit berpikir. Sebelum akhirnya menjawab. "Saya minta tolong, balaslah perasaan saya. Dan bersedialah menjadi pendamping hidup saya."

Katia membeku. Manik cokelat terangnya semakin terlihat bersinar. Katia menatap lekat Revan yang menatapnya tak kalah lekat. Mendadak perutnya mulas, Katia merasa keringat dingin membasahi punggungnya. Ini bukan mimpi, kan? Dirinya tidak salah dengar, kan? Ah ... Apa memang benar dirinya salah dengar.

"Em ... A'. Kayaknya telinga saya sedikit bermasalah. Bisa ulangi A'a minta tolong apa?" Katia memilih mengulang lagi daripada nanti dirinya salah dalam menanggapi. Genggaman terasa semakin mengerat. Perut Katia semakin terasa mulas.

"Saya minta tolong sama kamu, tolong balas perasaan saya. Dan jadilah pendamping hidup saya. Menerima segala kekurangan saya dan menjadi wanita satu-satunya dambaan saya."

Mata Katia terasa memanas. Manik cokelat terangnya terasa mengabur. Dadanya terasa berkecamuk, antara senang dan sedih. Senang karena perasaannya berbalas dan sedih karena masalalunya.

"Sa-saya nggak pantas bersanding dengan A'a. Saya nggak ada pantasnya sama sekali." Katia meremas jemari Revan yang masih menggenggamnya. "Masalalu Saya kelam, A'. Kalau A'a tahu masalalu saya, saya yakin A'a nggak bakalan sudi sekedar berdekatan dengan saya." Katia terisak menunduk menyembunyikan wajahnya.

Sebelah tangan Revan terulur menyentuh dagu lancip Katia untuk mendongak menatapnya.
"Masalalu apa yang bisa membuat saya nggak sudi berdekatan dengan kamu?" Revan menatap lembut Katia.

Katia terpaku, air matanya semakin mengalir deras. Hatinya berdenyut tidak jelas. Haruskah dirinya menceritakan semuanya? Haruskah dia memberitahu tentang masalalunya? Katia menatap Revan dalam. Jika Revan memang benar saudara kembar yang sering Revin ceritakan dulu, sudahlah pasti Revan tak akan mau menerima bekas saudaranya. Memikirkan itu membuat Katia semakin terisak tak mampu dibendung lagi.

"Katia ... Saya lebih berlapang dada jika saya mendengar semuanya dari bibirmu. Daripada saya mendengar dari orang lain dan ditambahi bumbu-bumbu fitnah yang merugikan kamu." Tatapan Revan sangatlah menyakinkan.

Katia menggeleng pelan menyeka air matanya. Sekali tarikan napas, Katia berbicara. "Saya sudah nggak perawan lagi, A'."
Katia menunggu ekspresi Revan, tapi sayang, tak ada ekspresi terkejut atau tak menyangka seperti yang dia bayangkan.

Usapan dipuncak kepalanya membuat Katia terkesiap. Katia memandang Revan yang ternyata tengah mengusap puncak kepalanya lembut disertai senyuman yang menghangatkan hatinya.

"Ada lagi?"

Katia sedikit linglung, terdiam mengumpulkan keberanian untuk membicarakan semuanya sekarang saja. "Dan saya---"

"Kamu mantan kekasihnya Revin. Iya, kan?"

Katia menahan napasnya sejenak. Apa Revin sudah datang dan memberitahukan semuanya pada Revan? Apa yang Revin katakan tentang dirinya? Pikiran buruk mulai menghinggapi benaknya.

"Nesa, dia juga mantan kekasih saya," ujar Revan sendu.

Bahu Katia melemas, dia rasanya ingin menangis keras karena Nesa dan dirinya sangatlah jauh berbeda kelasnya. "Ah ..." Katia tidak tahu harus mengatakan apa, karena yang jelas dirinya semakin merasa kecil.

***

"Saya juga punya masalalu dengan Nesa." Revan tersenyum kecut mengingat masalalunya. "Dia meninggalkan saya tepat saat esoknya kami akan menikah." Revan mengalihkan pandangannya ke lain arah. "Kalau kamu berpikir hidup saya nggak ada masalah, lebih baik kamu segera singkirkan pikiran itu jauh-jauh."

Revan mengembuskan napas berat sebeleum kembali menatap Katia. Dia mengeratkan genggaman jemarinya. "Lupakan masalalu. Yang saya inginkan adalah membangun masa depan denganmu. Bukan meratapi masalalu. Saya ingin mengukir indahnya setiap masa denganmu, bukan ingin mengingat ukiran masalalu."

Tekad Revan sudah bulat. Dia sudah memantapkan hatinya untuk membuka hatinya lebar. Kedatangan Revin padanya bukan menyurutkan niatnya, malah semakin menguatkan niatnya. Revin salah jika berpikir dirinya akan meninggalkan Katia setelah dirinya memberitahukan status Katia. Revan tidak akan meninggalkan Katia seperti Revin yang sudah meninggalkan Katia layaknya seenggok sampah. Revan akan menjaga Katia dengan sepenuh hati. Karena pada hakikatnya, seorang wanita pantaslah ditinggikan derajatnya. Wanita yang berjuang sendirian melawan kesakitannya demi melahirkan seorang penerus.

Revan tak memersalahkan keadaan Katia. Revan tulus mencintai Katia, dia tidak sepicik itu menuntut kesucian. Karena pada dasarnya, setiap insan pasti pernah melakukan kesalahan. Yang terjadi biarlah berlalu, asalkan yang melakukan kesalahan menyesal dan tak akan mengulanginya lagi, itu lebih dari cukup. Begitu pikir Revan.

Revan melihat binar keraguan dari mata bulat bersih Katia. Sekali lagi dia meyakinkan. "Saya manusia biasa yang sama, tak pernah luput dari dosa dan salah. Saya hanya seorang Pria yang ingin mengarungi mahligai rumah tangga dengan wanita yang sudah berhasil menawan hati saya. Saya hanya ingin hidup bersamamu, bersama anak-anak kita kelak. Terlepas dari masalalu kita dulu, biarlah kita pendam dan tutup rapat. Jangan merasa kecil dengan kekhilafanmu, Katia."

Pandangan mereka saling bertaut. Revan tersenyum lembut mengusap air mata Katia yang turun ke pipinya. Revan menyeka air mata yang hendak keluar lagi dari kelopak mata indah Katia. "Saya juga nggak bisa janji tentang perilaku saya nanti, tapi jika nanti saya salah, jangan mendiami saya. Apalagi meninggalkan saya. Tolong sadarkan saya dan bicaralah baik-baik." Revan tidak tahu mengapa lidahnya begitu lancar merangkai kalimat penenang itu pada Katia. Namun yang pasti, hatinya meronta menunggu jawaban Katia yang belum kunjung terucap.

Revan meringis saat melihat Katia semakin menangis sedu-sedan. "A-aku ..." Katia kembali menangis sampai sesenggukan.
"Maaf ..." Katia kembali menangis dan itu membuat Revan tersenyum masam.

Revan mengusap puncak kepala Katia lembut. "Tidak masalah, mungkin ini terlalu mendadak, tapi saya beneran tulus mencintai dan menyayangi kamu." Revan tahu, pasti jawabannya bukanlah hal yang enak didengar. Revan mengerti.

Katia menatap Revan bersalah. "Maaf karena aku nggak bisa jaga kesucianku. Maaf karena aku sudah bersikap murahan hanya karena cinta. Maaf--"

Revan memilih membungkam bibir Katia dengan bibirnya. Revan memang belum pernah melakukan hubungan intim, tapi kalau hanya sebatas ciuman, Revan beberapa kali pernah melakukannya dengan Nesa. Ingat. Hanya beberapa kali selama tiga tahun berhubungan.

Revan melepaskan tangan mereka yang saling bertaut. Revan memilih memegangi kedua pipi Katia. Bermain dengan bibir lembut Katia.

Pagutan terlepas, Revan menempelkan keningnya pada kening Katia. Meresapi deru napas Katia. "Saya nggak minta tolong kamu buat minta maaf atau apapun itu. Saya hanya minta tolong balas perasaan saya. Cukup kamu mengatakan 'Ya' atau 'bersedia' itu lebih dari apapun." Revan berbisik pelan di depan wajah Katia yang begitu dekat dengan wajahnya.

Revan melihat wajah Katia merah merona. Dan itu membuatnya senang. "Jadi, kamu bisa tolongin saya?" Revan menarik sebelah alisnya masih menempelkan kening mereka.

"Iya. Aku bersedia. Terimakasih sudah mau mencintaiku ..."

Revan tersenyum lebar mengangguk samar. "Terimakasih juga sudah mau menolong saya." Wajah Revan terangkat mengecup kening Katia mesra. "Aku mencintaimu."
***

Gilaaa .... Gilaa ... Emak baper ... Ya Allah ... Anak emak satu ini sweet banget sih .... Ahh emak keukeupin juga A'a ni ... 😍😍😘

Pada sama nggak sama emak? Atau biasa aja nggak baper. Hufff...

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang