Dua Puluh Dua

4.6K 785 80
                                    

"Apa maksud kamu, Nes?" Revi menatap tajam pada Nesa yang menunduk sambil terisak.

"Aku yang batalin pernikahan sama Revan, Mbak. Revan beneran baik orangnya. Aku nyesel lepasin Revan," jawab Nesa masih menunduk bersalah.

Revi memijat pangkal hidungnya mendengar semua penjelasan dari Nesa. Penjelasan yang benar-benar membuat kepalanya pusing bukan main. Revi mendesah pelan menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. Sudah tiga hari sejak kejadian Revan memukuli Revin. Revin baru pulang dari rumah sakit hari ini. Sungguh, ia tak mengerti jalan pikiran Revin bagaimana. Revi mengusap wajahnya kasar, menatap datar pada Nesa.

"Seharusnya kamu dan Revin itu minta maaf sama Revan. Kalian bersikap seolah-olah kalian yang paling terluka," ujar Revi dingin.

Batin Revi meringis saat mendegar kedua orangtua mereka menyumpah serapahi Revan. Dan menganggap Revan tidak berguna sama sekali. Revi ingin sekali mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya. Orangtuanya terlalu memandang Revan sebelah mata. Mereka menutup mata dan telinga atas segala kebaikan yang Revan berikan. Revi memejamkan matanya sejenak. Lelehan air mata mengalir begitu saja. Terlalu kejam memang kedua orangtuanya. Tidak sepantasnya mereka membedakan Revan dan Revin. Jika bisa, Revi ingin mengganti posisi Revan saja. Sudahlah pasti banyak luka yang tertimbun di dalam hati Revan.

Seingatnya, Revan selalu tertawa, tersenyum dan murah perhatian. Revan tidak pernah terlihat marah, dia juga selalu bersikap seolah dia sangat menikmati hidupnya. Tanpa beban sama sekali.

"Aku nggak tahu Revin bisa sejahat itu, Mbak. Aku ... Aku sering mendengar dari Revin bahwa Revan itu sangatlah menyeramkan. Semua perilaku Revan hanya topeng buat menutupi keburukannya. Aku ..."

Revi mengibaskan sebelah tangannya tanda ia tak mau mendengar lagi. "Revan butuh perhatian, dia butuh kasih sayang. Bukan kasih sayang palsu yang kamu kasih ke dia." Revi menatap Nesa lekat. "Kamu nggak mikirin bagaimana perasaannya saat itu. Kamu nggak mikir bagaimana saat itu Revan harus menahan malu sekaligus sakit karena bukan kesalahannya?" Revi berucap dengan nada sinis.

Nesa memang polos, anggun dan lemah lembut. Namun ia tak menyangka bila Nesa punya sikap sangat sadis dan tega.

Nesa menggeleng dengan tangis yang semakin keras. "Aku ..."

Revi beranjak dari duduknya. "Semuanya juga sudah terjadi. Dan kalian sudah sepatutnya meminta maaf sama Revan atas semua luka yang kalian berikan." Revi mulai melangkah, tapi terhenti saat mendengar erangan kesakitan Nesa.

Revi melihat Nesa memeluk  perutnya setengah berbungkuk seperti tengah menahan sakit. Dengan tergesa Revi mendekati Nesa, dia merangkul pundak Nesa membimbingnya untuk duduk di tepi ranjang.

"Kamu nggak apa-apa?" Revi bertanya panik.

Nesa menggeleng lemah. "Perut aku, Mbak. Sakit banget ... Mbak ..." Nesa kembali mengerang. Keringat terlihat mengucur dari kening ke pelipisnya. Keringat dingin.

Revi menelan ludahnya susah payah. "Kamu tunggu. Aku panggil Mama dulu." Revi segera beranjak. Dia berjalan cepat setengah berlari untuk menemui ibunya.

***

"Kamu istirahat yang banyak, Vin. Jangan gubris omongan anak nggak tahu diri itu." Tuan Pratama berdiri angkuh melipat tangan di dada.

Nyonya Pratama menggelengkan kepalanya. "Dia juga sama anak kita, Pa," timpal Nyonya Pratama pelan.

Rahang Pria paruh baya itu mengetat. "Anak macam apa kayak gitu! Dari dulu, kerjaannya nyusahin terus. Repotin saja terus," gerutu Tuan Pratama kesal.

Revin menyeringai senang. "Ya, Pa. Revan terlalu berlebihan. Dia malah menganggap kita musuh, padahal kita kan keluarga." Revan senang dengan situasi seperti ini. Dimana dirinya menang banyak dari Revan.

Memang itu yang dari dulu dirinya inginkan. Dia tidak suka dengan takdirnya yang harus terlahir bersama dengan Revan. Dia juga tidak suka tentang fakta dimana prestasi Revan selalu cemerlang dibanding dirinya. Dia tidak senang jika harus dirinya yang dikalahkan. Sekalipun kasih sayang kedua orangtuanya. Dia tidak suka berbagi apapun dengan Revan.
Tidak kasih sayang kedua orangtuanya, atau kebahagiaan Revan yang membuat dirinya terlihat menyedihkan. Tidak. Biar Revan saja yang terlihat menyedihkan. Biar dirinya terlihat sempurna dengan keangkuhannya. Iya. Intinya adalah hati Revin sudahlah tercemar oleh penyakit hati yang memang tidak ada obatnya. Apapun akan ia lakukan termasuk menghasut dan memupuk ketidak sukaan kedua orangtuanya pada Revan.

Suara pintu terdengar dibuka kasar. "Ma! Nesa ... Dia ngeluh sakit di perutnya." Revi berseru keras dengan napas terengah.

Serempak mereka menoleh dengan mata terbelalak. Nyonya Pratama segera beranjak dari duduknya melangkah tergesa keluar. Sementara Revan bersusah payah bangkit dari terbaringnya ikut menyusul ke luar.  Darah dagingnya baik-baik saja. Revin yakin. Semua baik-baik saja.

***

Dikit dulu ya... Ini emak nyempetin update, padahal emak baru libur sehari. Biasa single mom mah selalu sibuk. Lagi upyek di dapur. H-3 lebaran juga kan. Lagi masa2nya sibuk.
Mangapin emak ya... 😍😍😘

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang