Enam Belas

5.7K 818 65
                                    

Yuhuuuu, triple up gengs ... Gimana? Udah mulai debar-debar belum? Udah mulai penasaran gimana kedepannya nanti ... Respon bagus, up lagi sore. Jangan bosenn ya 😘😘
Typo kasih tahu yaa....

Happy reading dear ...

***

Dahi Revan mengerut dalam melihat perubahan sikap Katia yang terkesan mendadak. Revan memerhatikan Katia yang sibuk dengan mesin jahitnya dari lantai atas. Lengannya bertumpu pada pembatas tangga. Mata tajam Revan terus melihat gerak-gerik Katia yang terlihat sangat gelisah. Revan berbalik, pikirannya menebak jika memang ada yang tidak beres. Revan melangkah masuk ke ruangannya__ lebih tepatnya rumahnya.

"Bro, gue harus ke Jakarta buat beli bahan-bahan yang udah habis." Malik duduk di sofa yang ada di ruang tengah.

Revan melirik Malik sekilas. "Gue boleh minta tolong sama lo?"

Malik menatap Revan heran. "Bolehlah ... Boleh banget malah. Minta bantuan apa?" Malik merubah posisinya duduk dengan tegak. Revan menyusul duduk berhadapan dengan Malik. Mata tajamnya menatap Malik serius.

"Gue mau lo ...." Percakapan mengalir. Rinciannya Revan beritahukan pada Malik. Malik mendengarkan dengan seksama sesekali menganggukan kepalanya.

"Dan siapin kado terbaik buat orangtua gue. Bulan depan ulang tahun pernikahan mereka." Revan selalu ingat setiap tahun bertambahnya usia pernikahan orang tuanya. Bagi Revan, orangtua di atas segalanya. Revan selalu mengesampingkan ego dan harga dirinya untuk orangtuanya. 

"Aset atau apa?" Malik menyahuti dengan cepat.

Revan tersenyum simpul. "Barang sederhana yang penuh maknanya." Jawaban Revan sulit dipercaya, tapi Malik tetap mengangguk mengiyakan. Saat Revan di Inggris, dia selalu mengirimkan hadiah mewah untuk kedua orangtuanya. Dan sekarang, Revan akan memberikannya sendiri.

Suara ketukan pintu terdengar, Malik segera beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu. Sementara Revan terbuai dalam lamunannya, menerka tentang perubahan sikap Katia.

"Van, ada Revin." Malik berucap dengan nada malas.

Revan tersadar. Dia mendongak melihat Revin yang berdiri mengenakan jas kerjanya. Tanpa dipersilahkan, Revin duduk dengan angkuhnya di hadapan Revan. Dan Revan hanya bisa mengembuskan napas berat sebelum memberi kode pada Malik agar meninggalkan mereka di ruangan itu.

"Ada apa?" Revan langsung to the poin. Alis tebal Revan terangkat sebelah menatap Revin yang menatapnya datar. "Lo tahu dari mana tempat gue?" Tanyanya lagi dingin.

Revin menyeringai. Dia mengedik menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. "Gue denger ini Garment punya lo? Gimana bisa lo buka Garment sebesar ini? Ah ... Lo diem-diem pakai duit yang selalu dikirim Papa, kan?" Revin mulai percakapan yang sukses menyulut amarah Revan.

Revan menarik napasnya dalam-dalam. Menatap Revin tajam. "Apa gunanya gue kerja jadi Dosen bertahun-tahun, tapi masih tetep pakai duit Papa?" Sahut Revan terdengar santai.

Revin tersenyum miring. "Bayaran lo nggak sebesar itu buat bisa buka Garment yang koneksinya udah masuk luar kota." Revin menatap Revan meremehkan.

Revan terkekeh pelan. "Apa perduli lo? Gue nggak minta duit sama lo juga, kan? Gue mulai semuanya dari nol. Kalau lo mau tahu." Tidak ada nada membanggakan sedikitpun yang terdengar dari ucapan Revan.

Revin tertawa samar penuh mengejek. "Oke, gue yakin kalau begitu. Ah, iya. Gue ke sini cuman mau ngasih tahu tentang cewek yang Nesa labrak itu." Kini, tatapan mata Revin terlihat sangat serius. "Nesa terus-terusan melabrak wanita itu karena dia cemburu, dia marah gue masih mencintainya." Revin berujar tenang seolah dia sengaja mempermainkan emosi Revan.

Revan terdiam beberapa saat. Tatapan mata Revan semakin menajam. Jadi, Revin mempermainkan dua hati sekaligus? Benar-benar berengsek! "Maksud lo ngasih tahu gue tentang ini apa?" Revan sangat pintar mengendalikan emosinya. Mata tajamnya terlihat sangat dingin tak terbaca. "Lo mau gue benci Katia dan merayakan kesalahan Nesa, begitu?"

Revin tersenyum miring. "Gue cuman mau ngasih tahu, Van ... Dan gue cuman mau ngingetin lo, lo selalu terima barang bekas dari gue. Dan Katia, dia juga barang bekas gue."

Rahang Revan mengetat. Barang bekas? "Maksud lo?!" Nada bicara Revan berubah__ tidak setenang tadi.

Revin mengedik. "Lo tahu, kan. Setiap wanita pasti ngejar-ngejar gue. Termasuk Katia dan juga Nesa. Mereka termasuk wanita yang tergila-gila sama gue. Mereka rela memberikan segalanya buat gue." Terdengar nada bangga dari ucapan Revin.

Jujur, telinga Revan terasa panas mendengar kalimat sialan yang terlontar mulus tanpa rasa bersalah sedikit pun. Revan tersenyum miring menanggapi ucapan Revin. "Ah, gue mengerti sekarang maksud lo ..." Revan mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Ada lagi yang mau lo kasih tahu ke gue?" Revan membalas perkataan Revin dengan senyum setannya.

"Gue tahu, lo sekarang pasti merasa iri, kan? Nesa berhasil gue ambil, dan Katia. Dia nggak lebih kayak barang bekas atau sisa yang layak buat seorang pemulung."

Revan melebarkan senyum miringnya. "Itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki penyakit hati. Dan sayangnya, gue nggak ada masuk penyakit hati itu." Revan mendengkus sebal. "Katia bukan barang, dia manusia. Dia wanita yang harus dilindungi dan ditinggikan derajatnya. Jadi, kesimpulan yang dapat gue ambil dari ucapan lo. Lo bangga melakukan hal bejat itu, bukan begitu?" Revan membalas Revin dengan senyum mengejek. Revin salah jika berpikir dirinya akan marah dan memaki semuanya. Revan punya pegangan untuk mempertahankan yang akan jadi miliknya.

"Lo buang-buang waktu datang kemari hanya untuk menjelekan Katia. Lo datang ke tempat yang salah, Bro. Karena pandangan kita nggak sama." Revan beranjak dari duduknya berdiri tegak dengan tangan melipat di dada. "Lo tahu pintu keluar ada di mana. Jadi, lo bisa keluar secepatnya." Revan membalikan tubuhnya melangkah menuju meja kerjanya.

Revan dapat melihat jelas bagaimana raut wajah geram Revin setelah melihat reaksinya akan aib Katia. Revan menyandarkan kepalanya di kursi sandaran. Dia memilih memejamkan matanya sejenak menahan gemuruh yang kian membesar.

***

Katia sebenarnya sedang dirundung gelisah karena ancaman Revin sebelumnya. Dan telepon Revin tadi pagi yang memberitahunya bahwa Pria berengsek itu akan mendatangi Garment. Katia berkali-kali mengigit ujung kukunya. Dia benar-benar takut.

"Katia ..." Katia gelagapan, dia terlambat untuk menghindari Revan. Katia hanya menunduk tak sanggup menatap Revan.

Revan duduk di sebelah Katia. Mata bulat Katia bergerak kesana-kemari memastikan tak ada yang melihat. Karena dirinya tengah duduk di tangga luar belakang.

"Lagi istirahat?" Revan kembali bersuara.

Sedikit memberanikan diri. Katia menoleh ke samping mendapati senyum lembut Revan yang menawan hatinya. Katia buru-buru mengalihkan pandangannya ke lain arah.

"Boleh saya minta tolong?" Pertantanyaan Revan membuat Katia menoleh heran.

Jemari Revan bergerak menggenggam jemarinya. Tatapan Revan terlihat sendu. "Usia saya sudah nggak muda lagi. Saya sudah jelas tahu apa yang saya rasakan sama kamu. Atas kedekatan kita yang terjalin natural. Saya senang berada di dekat kamu. Saya merasakan sesuatu hal yang berbeda."

Katia terdiam. Perasaannya berkecamuk. Katia masih bertahan membalas tatapan Revan. "A'a, mau minta tolong apa?"

Revan terlihat sedikit berpikir. Sebelum akhirnya menjawab. "Saya minta tolong, balaslah perasaan saya. Dan bersedialah menjadi pendamping hidup saya."

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang