Tiga

9.5K 1K 28
                                    

"Misi-misi, orang ganteng mau lewat." Revan menghampiri teman-temannya yang tengah berkumpul di samping luar taman. Revan memilih ikut bergabung di sana, daripada harus bersama keluarganya.

"Widih... Orang ganteng yang kagak jadi married," ledek Malik teman di kontrakannya.

"Jangan begitulah, Bro. Kasihan orang ganteng nanti tambah merana," timpal Fawas rekan kerjanya.

Revan mendengus memutar bola mata malas. "Gue memang ganteng. Kalian sirik banget, sih." Revan memilih mengabaikan ledekan teman-temannya. Revan mengambil satu gelas minuman, lalu menegaknya hinggak tandas.

"Satu gelas masih kurang, Bro. Lo butuh satu tangki air. Gue sangsi, hati lo pasti hangus dibakar api cemburu," celetuk Fawas yang dibalas tatapan tajam Revan.

Fawas dan Malik tahu betul kalau kalau Revan sangat mencintai Nesa. Tapi mereka tidak tahu, kenapa bisa tertukar pengantin seperti sekarang ini.

Bahu Revan turun, ia menghembuskan napas berat. "Lo berlebihan, Bro. Cewek masih banyak. Lagian kalian tahu lah, kalau gue itu--"

"Setia banget sama satu cewek. Dan itu cuman Nesa," sergah Malik menatap Revan.

Wajah Revan akan sangat menunjang kalau dia bersikap seenaknya. Revan bisa dengan mudahnya bergonta-ganti pasangan karena wajah dan badannya di atas standar. Rahang tegas, alis tebal, mata tajam, hidungnya yang mancung. Mampu memikat wanita manapun, tapi Revan terlalu naif. Dia hanya setia dengan satu cinta dan satu pasangan.

Revan mendesah berat. Wajahnya terlihat sangat frustasi. "Berapa bajet yang lo keluarin buat ngulang semuanya dalam satu malam?" Pertanyaan Fawas membuat Revan menoleh ke arah Fawas.

Revan mengedik. "Gue nggak hitung. Gue cuman ngeluarin tanpa mau ngehitung semuanya. Untung gue nabung banyak dari dulu," Revan menjawabnya dengan santai. Revan sudah mengeluarkan bajet yang diminta. Dan Revan kembali harus mengeluarkan uang lagi untuk mengganti semuanya. Mungkin nanti, dia akan menjual mobilnya untuk biaya di Inggris sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan sampingan di sana.

Malik menepuk punggung Revan kuat. "Lo tahu, kalau gue jadi lo. Gue bakalan minta ganti rugi sama adik lo itu." Mata Malik melirik ke dalam.

Revan tertawa sumbang. "Gue udah hina di mata mereka, Lik. Nggak mungkin gue harus ngemis sama mereka. Gue masih nyimpan otak waras gue."

Pantang bagi Revan mengemis pada kedua orangtuanya. Apalagi pada Ayahnya. Revan tidak tahu kenapa. Karena Revan merasa orangtuanya sangat menjaga jarak dengan Revan. Dan Revan juga ikut membentengi dirinya. Semua kerenggangan terjadi sesudah Revan menanggung kesalahan Revin yang ikut tawuran waktu itu. Revan sempat mendekam di penjara selama satu bulan. Dan selama itu pula Revan semakin giat belajar hingga dia bisa secerdas sekarang.

"Gue baru tahu, ternyata hidup jadi lo nggak enak, bro," ujar Fawas memasang wajah miris.

Revan kembali tertawa. "Hidup gue enak. Enak banget malahan." Revan menoyor kepala Fawas sambil masih tertawa. "Udah, kalian masuk. Makan. Gue tahu hidup kalian lebih melarat dari gue." Revan bersikap sangat santai, seolah semua yang terjadi tidak ada apa-apa baginya.

"Sialan, lo!" Umpat keduanya yang membuat Revan tertawa terbahak-bahak.

***

Revan tidak menunggu acara selesai. Siang harinya Revan sudah berbenah di kontrakannya. Kontrakannya tidak besar, tapi sederhana. Ada dua kamar, satu kamar mandi, ruang tengah dan dapur. Revan menatap nanar kontrakan yang sudah empat tahun ia tinggali. Revan pasti akan sangat merindukan kontrakannya. Sekarang dia benar-benar sendiri. Tanpa Nesa. Senyum miris terbit dari bibir Revan.
Beberapa potongan kenangan bersama Nesa berebut memenuhi pikiran Revan. Tawa Nesa, senyum Nesa, dan raut wajah cemberut Nesa. Revan merasa sesak dalam dadanya semakin memenuhi rongga dadanya. Nesa bukan miliknya. Revan harus ingat itu.

"Bro, lo udah selesai?" Malik masuk ke dalam kamar Revan melipat tangan di dada bersandar di pintu.

"Bentaran lagi. BPKB sama STNK udah gue siapin. Gue butuh duitnya sekarang, Bro." Revan menyahuti pertanyaan Malik.

"Lo yakin mau jual mobil? Mending lo gadein aja selama lo di Luar Negeri, kan?" Malik tampak ragu melirik surat-surat yang ada di nakas.

Revan mengedik. "Kalau gade, nanti gue harus mikirin buat nebus lagi. Gue mau lepas saja."

Malik menganggukan kepalanya. "Oke, kita ke showroom temen gue dulu. Nanti kita langsung ke Jakarta."

"Oke," sahut Revan cepat. Revan sudah memutuskan mengubur semuanya dalam-dalam bersama lukanya. Revan yakin, di masa yang akan datang nanti, semua yang terjadi padanya adalah pengalaman berharga.

Rumah sudah dikunci. Revan memberikan kunci kontrakan pada Malik. Revan masuk ke mobilnya. Kopernya ia simpan di bagasi mobil Malik. Mobilnya melesat meninggalkan rumah kontrakan.

Sampai di Showroom, Revan mulai memberikan harga yang ia inginkan. Tawar menawar terua berlangsung sengit, sampai akhirnya mentok di harga yang kurang pas sesuai keinginan Revan. "Oke. Asal duitnya cash saja, langsung transfer. Gue beneran butuh." Memang dana pemberangkatan bukan tanggungannya. Karena itu masuk kedalam beasiswanya. Ongkos berangkat-pulang ditanggung pihak Universitas.

Hanya saja, untuk masalah biaya sewaan dan makan. Itu tidak tercantum di sana. Maka dari itu Revan menjual mobilnya, karena tabungnya hampir habis.

"Oke beres. Gue transfer sekarang juga," sahut Yogi pemilik Showroom.

Revan tersenyum tipis seraya menyerahkan kunci mobil beserta surat-suratnya. "Ini. Semuanya lengkap di dalam sana," ujar Revan.

Mereka bangkit bersama-sama. Saling berjabat tangan meucapkan terimakasih satu sama lain. Revan berlalu dari sana. Sejenak Revan berhenti di samping mobilnya. Tidak mewah memang, tapi cukup berarti baginya. Dia bersusah payah menyicil mobil itu dari hasil jerih payahnya. Bagi siapa pun yang tahu siapa Revan, mereka pasti tidak akan percaya jika kehidupan Revan jauh dari kata mewah.

Revan masuk ke mobil Malik. Dia duduk di kursi penumpang. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sembari memejamkan matanya.

"Gue bener-bener salut sama lo, Bro." Suara Malik menyusul setelah pintu mobil di tutup.

"Gue juga salut sama diri gue sendiri," sahut Revan masih memejamkan matanya.

Malik tersenyum tipis. "Gue tahu, lo lagi nginget kenangan lo sama Nesa di kota ini, kan? Jangan terlalu dalam. Atau lo semakin sakit."

Revan membuka matanya menatap Malik. "Gue tahu. Dan gue sedang meresapi sakit ini biar terasa lebih nikmat."

Malik mengedik. Temannya yang satu itu benar-benar berbeda. Dia menderita, tapi dia masih tetap santai. Kalau dia jadi Revan, sudah dipastikan dia akan mengamuk pada setiap orang yang memandangnya remeh.

"Buruan jalan. Dikejar jam penerbangan. Kita harus sampe sebelum jam sembilan, atau gue nggak berangkat sama sekali." Revan berucap tegas pada Malik.

Malik berdecak segera menyalakan mesin mobil. "Sekali Revan. Tetep saja Revan," gerutunya sebal.

Revan menggeplak kepala Malik. "Gue denger, ogeb!" Seru Revan menatap tajam Malik. Revan sangat tahu arti tatapan Malik. Tatapan mengasihaninya. Dia tidak butuh dikasihani. Dia bisa berdiri sendiri.

Selamat tinggal luka...

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang