Dua Puluh

8.1K 1K 131
                                    

Puncaknya gengss... Serem sama marahnya si A'a. Double up.

Happy reading dear...

***

Lama berbincang dengan rekan-rekannya yang turut hadir. Revan berkeliling mencari Kakaknya dan juga Katia. Jas Revan sudah dilepas, dia hanya mengenakan kemeja putih polos yang bagian tangannya digulung sampai sikutnya. Revan masih kepikiran tentang ucapan Revin.

Revan berhenti di belakang Kakaknya menepuk bahu Kakaknya pelan. "Katia mana?" Tanyanya setelah Revi menoleh.

Revi tampak berpikir. "Barusan dia izin ke belakang. Mau aku antar dianya nolak."

Revan segera berbalik meninggalkan Revi. Perasaan Revan jadi tidak karuan. Revan tergesa menuju toilet dekat kolam renanng.

Sampai di dekat toilet, Revan terpaku melihat pemandangan di depannya. Revin tengah mencumbu Katia. Rahang Revan mengetat, giginya bergemeletuk menahan amarah. Sementara buku jarinya memutih karena terkepal kuat. Suasana di sana sangat sepi, mendukung Revin melakukan aksi bejatnya.

"Kamu tahu? Semua sudah yang aku lakuin disorot CCTV. Aku akan mengahancurkan Revan sekali lagi. Menghancurkannya sehancur-hancurnya."

"Biadab!"

"Ya. Dan Pri biadab ini yang selalu menikmati tubuh indahmu. Kamu nggak bisa dan nggak boleh berpaling. Kamu hanya pantas jadi simpanan dan pela--"

"Berengsek!"

Revan tidak tahan lagi, dia merenggut jas Revin dari belakang. Menjauhkan Revin dari wanitanya. Revan mengempaskan tubuh Revin kuat membentur batu besar yang ada di sana.

Manik hitam Revan semakin menggelap ditutupi kabut amarah. Sudah habis batas kesabarannya. Revin terlalu banyak dan sering memermainkannya. Revan menyerang Revin. Menghajarnya habis-habisan. Ingin sekalin Revan mengoyak mulut laknat Revin. Tinjuan dilayangkan bertubi-tubi tak mengingat belas kasihan. Revan marah. Sangat marah.

Jerit histeris wanita yang melihat diabaikan Revan. Revan masih belum puas menghajar Revin yang kesusahan melawannya. Revan berhenti, manik tajamnya semakin menjam. Dia berdiri bersedekap menatap tanpa ekspresi.

Tidak lama kemudian sebuah tinjuan dilayangkan ke arah Revan membuat Revan tersungkur tidak seimbang. Revan melihat siapa yang meninjunya dan senyum kecut terlihat dari bibirnya.

"Dasar pembuat onar! Seharusnya kamu nggak datang bawa wanita rendahan itu!" Bentak Ayah Revan yang barusan meninjunya.

Revin berdiri membalas tatapan tajam Revan dengan tatapan mengejek. Revin menyunggingkan senyum sinis ke arah Revan.

Jemari Revan mengepal kuat. Dia tidak akan mengalah lagi. Tidak akan pernah lagi. "Dia bukan wanita rendahan!" Tekan Revan pelan menatap tajam Ayahnya.

"Jelas dia wanita murahan. Kalau bukan, mana mau dia berlari ke pelukanmu setelah menjalin hubungan cukup lama denganku." Revin menyirangi sengaja menyulut amarah Revan.

Revan mengembuskan napas pelan. "Dia bukan wanita murahan." Lagi, Revan mengulang kalimat itu penuh penekanan.

"Sudah dari kalangan rendah, murahan pula. Hebat! Pasangan terbaik." Revin mengejek Revan.

Tanpa aba-aba, Revan melangkah cepat menghajar Revin kembali tanpa ampun. Bahkan Ayahnya pun tidak bisa menghentikan pukulan Revan.
Revan tahu ini salah, dia tidak perduli lagi bila harus kehilangan keluarga sialannya.

Pukulan di punggung Revan membuat Revan mundur ke belakang. Ayahnya dan dirinya beradu tatapan tajam. "Anak sialan!" Kata Ayahnya menyentil hati Revan.

Revan tersenyum miring. "Siapa yang sialan? Siapa yang lebih sialan!" Bentaknya meninggi.

Revan beralih menatap tajam Revin yang dibantu Nesa dan Kakaknya berdiri. "Dia! Dia yang lebih sialan! Dia pembuat onar sebenarnya!" Revan menudingkan jari telunjuknya pada Revin. Revan bergerak mencengkram sisi jas Revin. Mendorongnya hingga tersungkur di bawah Ayahnya.

"Diakah anak yang selama ini anda banggakan Tuan Pratama? Pria bajingan inikah yang selalu membawa baik nama anda?" Revan berdecih sinis menendang kaki Revin keras.

"Ah saya lupa. Bukankah kalian sama-sama Pria arogan yang sombongnya tidak tertolong. Saya lupa jika nurani keluarga Pratama sudah mati! Saya juga lupa kalau kedua orangtua saya sudah lama Mati!"

"REVAN!"

Revan menoleh menatap Ibunya dengan iris mata yang memerah. "Kenapa Nyonya? Bukankah saya hanya orang asing yang ikut masuk dalam keluarga Pratama?"

"Anak nggak tahu diri!" Hardik Ayahnya marah.

Revan kembali menatap Ayahnya. "Oh tentu saja saya masih punya harga diri, Tuan." Revan merogoh saku celananya mengeluarkan kartu ATM dan juga buku rekening yang tadinya memang akan ia kembalikan baik-baik pada Ayahnya. Revan melempar kedua aset itu pada Revin yang masih terkulai tak berdaya.

Semua mata tertuju pada benda yang dilempar tadi. Revan kembali tersenyum miring. "Terimakasih sudah bersedia membesarkan saya hingga saya mengerti kerasnya hidup. Terimakasih sudah menciptakan benteng tinggi diantara saya, sehingga saya tidak seperti anak bajingan kesayangan anda. Saya ragu kalau saya berada di posisi dia. Mungkin saya bisa lebih bajingan dari dia." Revan melirik sekilas Revin.

"Itu uang yang sering anda kirimkan pada saya dengan enggan. Saya tidak pernah mengambil satu rupiah pun dari sana. Saya berdiri di kaki sendiri, tanpa harus mengemis belas kasihan dari anda."

Revan berjalan ke arah Katia yang terisak menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Revan merangkul mesra pundak Katia, dia menatap iba pada wanitanya. "Semua baik-baik saja, Sayang ... Aku di sini." Revan berbisik kemudian mengecup puncak kepala Katia.

Revan mengajak Katia meninggalkan tempat sialan itu, tapi terhenti dengan seruan dari belakang. "Sekali keluar dari rumah ini. Jangan pernah menganggap kami keluarga." Suara itu terdengar dingin menusuk yang mendengarkan.

Revan berbalik, terdiam beberapa saat. Sebelum akhirnya dia melangkah meninggalkan Katia berjalan ke arah sana. Dengan wajah tanpa ekspresi, Revan terus melangkah berhenti tepat di hadapan Ayahnya. Revan memberikan senyum simpul, lalu membungkuk hormat. Revan berjongkok di sisi Revin.

Dugh

Dugh

Plak

Semua mata membulat melihat aksi Revan. Revan tersenyum puas melihat Revin tak sadarkan diri setelah dirinya melayangkan beberapa pukulan lagi. Revan berdiri kembali merapihkan celana dan kemejanya yang kotor.

"Tanpa anda bicara pun, saya sudah tidak sudi lagi memiliki keluarga sombong dan arogan seperti keluarga anda. Segera bawa anak kesayangan anda ke rumah sakit, atau dia akan mati." Revan berucap pelan terdengar menyeramkan.

"Ingatkan pada anak anda, jangan berani mengusik kehidupan saya ataupun wanita saya. Dan kalau sampai itu terjadi, saya tidak akan segan-segan memulangkan dia hanya tinggal nama."

"Saya muak. Saya banyak bersabar menghadapi kalian yang kekanakan. Kalau anda belum mengerti bagaimana saya. Tanyakan pada mereka bagaimana saya. Sekali saya marah, saya tidak akan pernah takut pada kematian apalagi hukum."

"Satu lagi, sekali lagi saya dengar kalian menghina calon istri saya. Saya nggak akan tanggung buat kalian merasakan hidup di pinggiran jalan, agar kalian sadar. Bahwa sombong bukanlah hak manusia."

Revan benar-benar menyeramkan, seringaian dan tatapannya mampu membuat oranglain bergidik ngeri. Revan manusia biasa punya batas kesabaran, dia terlalu lama diam mungkin. Jadi mereka bersikap seenaknya padanya. Satu hal yang mereka tidak tahu. Revan memiliki amarah yang mengerikan dibalik jarang marahnya dirinya.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang