Suasana begitu tegang. Semua orang berkumpul tanpa terkecuali. Revan yang sedaritadi berusaha menelan ludah karena tenggorokannya terasa kering. Perutnya terasa melilit menanti detik demi detik proses dimana dirinya akan berubah status dan juga merubah status anak orang.
"Kita mulai sekarang bagaimana?" Tanya Na'ib yang duduk berhadapan dengan Revan.
Revan mengangguk pelan. Mulas di perutnya semakin menjadi. Bulir-bulir keringat terlihat membasahi dahi Revan. Revan sendiri. Tidak ada pihak keluarga yang mendampingi. Berhubung Ayah Katia sudah tiada dan Katia tidak punya Paman pengganti Wali, jadilah Na'ib menggantikan tugas sebagai Wali.
Revan sudah mengambil keputusan yang besar untuk merubah kehidupannya. Dia ingin menghabiskan sisa usianya dengan wanita manis sang pemilik hati. Terasa singkat memang, tapi sangat berkesan baginya. Dia selalu merasa damai berada dekat Katia, dadanya selalu berdetak mengalun merdu saat melihat senyuman indah dari bibir seksinya. Iya. Dia Katia. Wanita yang tidak pernah ia bayangkan, apalagi ia impikan. Tidak sekalipun.
Perlahan Revan mengangsurkan lengannya pada Wali. Mata tajamnya terlihat semakin menajam. Mata tajamnya bertemu dengan mata Na'ib.
"Saudara Revan Bumi Pratama. Saya nikahkan engkau dan saya kawinkan engkau dengan Katia binti Alm. Pamungkas. Dengan maskawin berupa emas dua puluh empat gram dibayar tunai."
Revan tersentak, sekali tarikan napas dia menjawab. "Saya terima nikah dan kawinnya Katia binti Alm. Pamungkas dengan maskawin tersebut dibayar tunai." Hembusan napas lega Revan hembuskan saat mendengar dari para saksi yang menjawab sah.
Satu titik air mata kesedihan dan haru bersatu. Dia berhasil. Berhasil melawan kesakitannya. Dia berhasil menumpas habis ketakutannya. Pernikahan yang hampir terjadi dulu sangatlah membuatnya terpukul. Kesakitan cintanya berbuah manis. Dia hanya perlu bersabar dan menerima kesakitan itu dengan lapang dada.
Suasana tegang tadi berubah haru. Ibu Katia terisak dipelukan adik angkat Katia. Sementara Revan berusaha memertahankan senyumannya. Meski dia sangat ingin sekali menangis bahagia.
Katia menunggu di dalam kamar. Dia tidak diperbolehkan keluar sebelum dijemput oleh dirinya. Revan bergerak perlahan menghampiri Ibu mertuanya. Dia duduk bersimpuh memeluk Ibu mertuanya. Ibu mertuanya tidak berbeda jauh sikap dan sifatnya dengan Katia dan juga Mama Janira. Mereka sangat hangat dan sederhana. Revan sangat jatub cinta pada ketiga wanita itu. Dirinya terhanyut dalam buaian dekapan Ibu mertua. Dekapan hangat seorang Ibu yang hampir tidak pernah ia rasakan. Tangisannya pecah. Mengingat sekarang dirinya memikul tanggung jawab anak orang lain. Dirinya bertanggung jawab sepenuhnya atas kebahagiaan apalagi lukanya.
Pelukan terurai. Revan menatap sendu Ibu mertuanya.
"Titip Katia, ya. Kalau dia salah tegur dia. Jangan terlalu memanjakan dia dengan tahta apalagi harta. Didik dan bimbinglah dia ke jalan yang benar dan lurus. Mama percaya, kamu bisa menjaga Katia dengan baik."
Revan terenyuh. Pesan yang amat bijaksana. Di saat orang tua lain sibuk menginginkan harta terbanyak untuk anaknya, tapi Ibu mertuanya malah berkata demikian.
Revan mengangguk mengecup punggung tangan Ibu mertuanya. "Revan akan berusaha, Ma. Revan akan berusaha bersama-sama melangkah dengan Katia menuju jalan yang benar." Revan menatap teguh Ibu mertuanya.
Sungguh, dia sangat beruntung berada dalam lingkup keluarga yang hangat penuh kasih sayang. Dia kehilangan keluarga arogannya dan Tuhan menggantinya dengan keluarga yang tiada tandingannya.
Ibu mertunya mengangguk. Sekali lagi memeluk dirinya.
***
Katia terdiam di dalam kamarnya dengan jemari yang saling meremas satu sama lain. Katia merasa gugup, dia dilanda gelisah. Takut-takut Revan salah ucap atau salah lainnya.
Katia sangat cantik dibalut dengan kebaya putih tradisional dan sanggul khas daerah Jawa Barat. Bunga melati menjadi penghias di mahkota yang bertengger di rambut hitam Katia. Aroma wangi pengantin menyeruak memenuhi kamar Katia yang sudah dihias layaknya kamar pengantin.
Katia menatap gugup sekeliling kamarnya yang tidak terlalu luas. Kemudian senyum kecut tercetak jelas dari bibir seksinya. Katia mengingat semua masalalunya. Dia tidak bisa memberikan hak yang seharusnya Revan dapatkan. Mata Katia mengabur, alangkah tidak tahu malunya dirinya masih mau menerima Revan yang jelas-jelas tak sebanding dengannya. Katia menggeleng menahan napas berharap air matanya tidak lolos begitu saja merusak make-upnya.
Pintu terbuka. Katia menoleh. Sepasang manik cokelat terangnya beradu dengan manik hitam pekatnya Revan. Katia mengalihkan pandangannya, dia menelan ludahnya susah payan. Degup jantungnya berdebar tidak karuan, Pria tinggi besar itu sudahlah pasti jadi suaminya sekarang.
"Dosa mengalihkan pandangan gitu dari suami."
Katia tercengang, dia menoleh menatap Revan. "Memang, A'a sudah jadi suami aku?" Katia malah bertanya balik. Mendengar kata suami, entah kenapa membuat tubuh Katia tiba-tiba meremang.
Revan mengangguk. Dia melangkah semakin dekat padanya. Tanpa diduga, Revan menekuk lututnya di hadapan Katia. Jemari besar Revan menggenggam jemarinya. Hati Katia menghangat, mereka berdua sama-sama merunduk mengecup punggung tangan yang saling mengait itu.
Manik cokelat terang Katia berkaca-kaca. Katia menarik napas dalam-dalam sebelum tersenyum lembut pada Revan.
"Makasih, A'," bisik Katia pelan.
Ternyata Katia tidak mampu menahan laju air matanya. Air matanya lolos begitu saja menatap mata tajam yang selalu mencintainya.
Revan menggeleng. Dia mengusap air mata Katia lembut. "Jangan nangis. Aku suka pengen lempar orang ke sungai Amazon kalau lihat kamu nangis," gerutu Revan membuat dirinya tersenyum haru.
"A'! Bisa serius nggak sih! Aku serius!" Sentak Katia kesal.
Revan terkekeh pelan mengecup kembali punggung tangan Katia, lalu menempelkannya di pipinya.
"Itu salah satu kelemahan aku. Aku nggak bisa serius, karena sekalinya serius. Aku bisa buat orang ketakutan."
Katia mengangguk membenarkan. Dia sudah beberapa kali melihat Revan berbicara begitu serius setelah perkelahian yang membuatnya tahu bagaimana amarah Pria humoris itu. Revan benar-benar menakutkan.
Katia mengelus rahang bersih Revan penuh sayang. "Aku beruntung bisa memiliki A'a."
Revan memejamkan matanya membuat Katia tersenyum senang. "Jangan pernah pergi dariku, A'. Jangan pernah tinggalin aku." Katia memelas menatap Revan. "Aku udah beneran jatuh sama A'a. Aku bakalan gila kalau sampai A'a ninggalin aku."
Revan bergerak mengecup bibir Katia. Melumat bibir itu pelan hingga warna lipstik Katia menempel di bibir Revan.
"Bicara terus, aku nggak akan bawa kamu keluar." Revan melirik ranjang berdominasi warna merah hati itu. "Kayaknya ranjang lebih menarik seka--"
Degup jantung Katia semakin parah. Katia segera beranjak dari duduknya. "A'a mah edan!" Katia segera berjalan cepat sedikit kesusahan meninggalkan Revan yang terbahak-bahak melihat ekspresi Katia.
***
Tidak ada yang bisa menebak bagaimana perasaan Nesa saat ini. Nesa merasa sendiri, apalagi suaminya yang sibuk mengurus perusahaan dan juga Ayah mertuanya yang berada dalam keadaan koma. Nesa butuh perhatian, dia butuh suport dari suaminya setelah mengalami banyak tekanan. Setiap hari, Nesa habiskan dengan menangis menyesali semua yang telah terjadi. Dia kehilangan Revan karena ketololannya. Dia kehilangan janinnya karena tekanan yang dia alami. Semuanya karena Revin.
Tubuh Nesa merosot. Dia terisak memeluk dirinya sendiri. Mengapa hidupnya jadi seperti ini? Apa ini semua terjadi adalah balasan atas dia yang sudah melukai, mengkhianati, dan memermalukan orang sebaik Revan. Tangis Nesa semakin keras, Nesa menangis tersedu. Dia bodoh melepaskan berlian hanya demi sebuah batu kerikil. Iya. Revan batu berlian, sedangkan Revin batu kerikil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakitnya Cinta (Tamat)
Short StorySiapa yang bisa tabah ditinggalkan calon pengantin wanita di saat pernikahan akan berlangsung hari esok? Apalagi yang merebut calon pengantinnya itu adalah saudara kembarnya sendiri. Senyuman, tingkah laku konyol Revan adalah bentuk kesakitan dalam...