Cuaca pagi ini sangatlah tidak bersahabat. Dinginnya udara menusuk sampai ke tulang belum lagi gelapnya langit di luar sana membuat setiap orang pasti memilih merapatkan selimutnya lagi. Berbeda dengan Revan yang sudah segar menggunakan pakaian casualnya tidak ketinggalan rambut yang dicepak masih setengah basah. Hari ini dirinya mulai mengajar lagi menggantikan dosen senior yang berhalangan hadir.
Wajah Revan yang sudah berseri semakin berseri setelah kejadian malam kemarin dimana dirinya mengutarakan niatnya. Revan berdecak kesal, dirinya itu terlalu simple, saking simplenya dia tidak meraba perasaan Katia yang dilamar tanpa ada romantis-romantisnya. Tapi Revan sudah bertekad untuk memberikan kejutan pada Katia nanti setelah acara ulang tahun pernikahan kedua orangtuanya.
Revan melirik jam dinding, dia tergesa membereskan barang bawaannya melangkah keluar kamarnya. Hidung mancungnya mencium aroma masakan yang menggoda perutnya. Dahi Revan mengerut melihat siapa yang tengah memasak di dapurnya.
Dilihat dari belakang dan warna rambutnya bukan Katia. Lalu siapa? Batinnya keheranan.
"Van!"
Revan terperenjat menoleh ke belakang. Kakaknya sudah berdiri melipat tangan di dada sembari tersenyum lebar. Revan mengabaikan kakaknya, dia kembali melihat ke arah dapur. Dan ternyata dia memang bukan Katia, melainkan Nesa yang berdiri dengan anggunnya tersenyum lembut ke arahnya.
Revan berdecak segera berbalik, dengan langkah tergesa-gesa, Revan berjalan menuju ruang depan. Revan menggerutu pelan terus berjalan, sampai akhirnya mendudukan bokongnya di single sofa.
Tidak lama Revi ikut duduk di sebrangnya. Bersilang kaki dengan anggunnya menatap Revan lekat. "Kamu kerja di sini, Van?"
Revan membalas tatapan Revi datar. "Numpang, Mbak." Revan mengalihkan pandangannya sejenak. "Mana bisa gaji mengajar bisa buka usaha seluas in?" Revan tersenyum kecut mengingat ucapan Ayahnya.
Revi menggeleng. "Bukan itu maksudku, Van. Aku cuman tanya, kamu kerja di sini atau nggak? Kok jawaban kamu malah sewot."
Revan mengedik menyandarkan punggung kokohnya di sandaran sofa. "Iya, biasanya kan ujung-ujungnya selalu tentang penghasilan saya, kan?"
Revan tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Bagi kedua orangtuanya, dirinya tidak mungkin bisa membuka usaha sebesar sekarang ini. Sebentar lagi peresmian kantor untuk garmennya yang sekarang masih dalam proses. Revan akan membangun perusahan besar. Dan iti hasil jerih payahnya, bukan hasil kiriman orangtuanya. Tolong ingat itu.
Tidak lama kemudian Nesa datang membawa roti panggang dan juga tiga cangkir teh hangat.
Senyuman Nesa tak kunjung pudar. Revan curiga dengan senyuman itu."Kamu mengapa ikut Mbak Revi? Lalu Revin bagaimana?" Revan bertanya pada Nesa yang baru saja ikut duduk di samping Revi.
"Revin nggak pulang sudah dua hari ini. Padahal Nesa lagi hamil." Revi menjawab lebih cepat dari Nesa.
Revan mengembuskan napasnya pelan. "Lalu, kemana dia?" Revan menatap lekat Nesa yang hanya diam menunduk.
Tiba-tiba mata Nesa berkaca-kaca dan Revi segera menenangkan Nesa. "Nggak tahu deh, Van. Itu anak tambah ngaco. Pusing kepala aku lihat kelakuan dia." Masih Revi yang menjawab.
Revan menarik sebelah alisnya menatap keduanya heran. "Terus, alasan Mbak ajak Nesa kemari apa?" Tatapan mata tajam Revan beralih menatap Kakaknya."Kasihan Nesa, Van. Dia kayak tertekan banget. Kebetulan aku mau temuin Malik, ya sudah bawa sekalian."
Malik dan Kakaknya itu memang menjalin hubungan sejak dirinya pergi ke Inggris. Berhubung kedua orangtuanya dari kalangan atas, jadilah hubungan mereka tersendat karena materi. Revan juga sudah memikirkan semuanya sejak jauh hari. Makanya garmen miliknya dikelola Malik. Tapi tetap, semua yang tertulis di kertas atas namanya.
Revan geleng-geleng kepala kemudian mendesah gusar. Mata tajamnya menatap Nesa ragu. Seolah sedang ada yang ia pertimbangkan akan ucapannya. "Aku ada jadwal mengajar pagi ini. Jadi, aku nggak bisa lama-lama temenin Mbak. Nggak masalah, kan?" Revan melirik Revi yang mengangguk samar.
Jujur, Revan sedikit risih dengan kedatangan Nesa lagi. Revan merasa ada sesuatu yang memang sedang Nesa kejar. Revan menggeleng sebelum menggendong ranselnya. Langkahnya terhenti di dekat sofa. "Kalau ada apa-apa, bilang sama Malik. Ini juga tempat Malik, kok." Revan tidak memiliki niat sedikitpun memberitahukan semuanya pada Kakaknya itu. Revan terlalu malas memperpanjang obrolan karena ada Nesa di sana.
Pintu terbuka, sosok manis berdiri di depan pintu dengan senyuman tak kalah manis mampu memabukannya. Revan tersenyum lebar, dia melipat tangan di dada menatap memuja pada sosok itu. "Aku nggak mimpi, kan, lihat wanita manis berdiri di sini?"
Pipi Katia merah merona. Ia tersenyum menunjukan lesung pipinya. "Masih pagi, A'," ujarnya sembari memutar bola mata malas.
Revan terkekeh pelan. "Nggak tahu nih, virus cinta bikin ngedrop hati, butuh suntikan cinta yang lebih banyak."
Pipi Katia semakin merona. Dia menggeleng mencubit lengan Revan keras membuatnya mengaduh. "A', kalau A'a keseringan gombal begitu. Aku bisa diabetes nggak jelas," gerutu Katia seraya mencebik kesal.
Revan tergelak. Dia merasa tenang berada di dekat Katia. Dan itu jadi point tambahan untuknya memperkuat perasaannya. Revan mengacak gemas rambut hitam Katia yang sengaja diurai.
"Ini, A'. Tadi masak lumayan banyak. Sengaja." Katia menyodorkan kotak makan beserta jus yang dibungkus dengan tas kanvas.
Senyum Revan mengembang. Dia sengaja menggoda Katia dengan mencolek dagu Katia. "Cie ... Calon istri idaman," godanya sembari mengedipkan matanya genit.
Katia kesal. Dia mengentakan kakinya sebal. "Mau diterima nggak? Kalau nggak, aku kasihkan saja ke Akang Malik."
Revan menggeleng kemudian bergerak mengambil alih tas itu. "Terimakasih, Sayang." Revan berucap lembut pada Katia.
"Loh, katanya mau berangkat." Revi kembali muncul di belakang Revan.
Revan menoleh sekilas, kemudian menyingkir ke samping supaya mereka bebas saling melihat. Revan melirik Katia yang hanya tersenyum canggung sambil menunduk. Revan menautkan jemari meraka sebelum menarik Katia berpindah tempat di sisinya.
"Dia Katia, Mbak. Calon istri saya."
Dahi Revi mengerut dalam. "Kayak pernah ketemu. Apa, aku salah lihat, ya?" Revi tampak mengingat wajah Katia.
Revan meringis saat merasakan jemarinya diremas lumayan keras. Ah! Revan tahu. "Dia mantan pacarnya Revin, Mbak."
Mata Revi membulat, Revi menganga tak percaya. "Ah, iya! Kok bisa?"
Pertanyaan Revi membuat Revan tersenyum tipis. "Maksudnya, Mbak?"
Revi menggeleng masih tak menyangka. "Kalian kayak tukeran pasangan. Aku benar nggak, sih." Revi jadi panik sendiri.
Revan melirik Katia yang semakin merapat padanya. Tangan Revan mengibas ke arah Kakaknya. "Nggak ada jodoh ketuker, Mbak. Cuman jodoh kita masing-masing ya dipinjem dulu."
"Kamu serius dengan wanita itu?" Nesa ikut membuka suara setelah berdiri di samping Revi.
"Ya. Memang ada masalah?"
"Ada. Dia itu wanita penggoda, Revan! Kamu nggak pantas sama dia!" Nesa berseru marah pada Revan.
Revan melirik Katia yang semakin mencengkram jemarinya. "Dia bukan wanita penggoda, Nesa ..."
"Ya! Dia wanita penggoda! Gara-gara dia Revin mengabaikan aku! Gara-gara kemunculan dia, Revin sering tidak tinggal di rumah!" Nesa berteriak lantang seraya menudingkan telunjuknya ke arah Katia.
Revan mendelik pada Kakaknya memberi kode agar membawa Nesa menjauh.
Revi mengangguk, memeluk Nesa dari samping. Sedikit menyeret Nesa agar menjauh.
Setelah dipastikan menjauh, Revan berbalik menatap Katia yang ternyata sudah menangis tertahan. Revan segera memeluk Katia erat, mengecup puncak kepala Katai lembut.
"Kamu bukan wanita penggoda. Aku percaya itu."
***
Nah kan, nah kan... Yang nunggu konflik, siapkan hati. Mantapkan lisan untuk mencaci.
Emak nggak jadi libur ya... Cuman nggak bisa double up. Typo kasih tahu ya... Ketik langsung update.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakitnya Cinta (Tamat)
Kısa HikayeSiapa yang bisa tabah ditinggalkan calon pengantin wanita di saat pernikahan akan berlangsung hari esok? Apalagi yang merebut calon pengantinnya itu adalah saudara kembarnya sendiri. Senyuman, tingkah laku konyol Revan adalah bentuk kesakitan dalam...