Untuk meredakan emosi sayang2ku ... Emak bawa satu part lagi nih... Klo kelar ditulis. Update lagi nanti sore atau malam.
Happy reading dear...
***
Revan bersembunyi tepat di kamar lantai dasar tempat paking. Dia benar-benar muak melihat Nesa yang terus mendatanginya. Revan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Itu Nesa inginnya apa? Atau mungkin Nesa berpikir dirinya masih memiliki rasa untuk Nesa. Oh tidak! Tidak bisa dibiarkan. Revan harus segera mengambil ancang-ancang untuk beralari seribu langkah. Revan memutar bola matanya tengah berpikir. Ah! Datangi Revin. Kan dia suaminya, sudah seharusnya Revin mendidik istrinya agar tidak mendatangi dirinya lagi.
Revan memandang ponselnya yang belum kunjung muncul pesan dari Malik. Revan berdacak membenarkan kerah kaosnya. Ponsel Revan tiba-tiba berdering. Nomber Fawas muncul di layar ponselnya.
Revan menjawabnya. "Ya?"
"Lo udah balik? Gue baru ketemu Malik kemarin malam. Dia bilang lo udah ada di sini."
"Hem ..." Revan hanya berdeham menanggapi seruan dari sebrang.
"Pihak Kampus nungguin lo. Gue sudah kasih tahu Rektor kalau lo sudah balik. Gue lagi di jalan arah sana."
"Siapa?" Revan benar-benar tidak fokus. Dia sedang dilanda was-was.
"Gue ..."
"Yang nanya!" Revan segera memutuskan sambungan telepon sebelum mendengar makian dari sahabatnya yang satu lagi. Mata Revan terus melirik ke arah pintu. Revan takut Nesa menemukannya.
"Ah sialan!" Umpat Revan mengusap wajahnya frustrasi.
Malik belum kunjung menghubunginya memberitahu jika Nesa sudah pergi lagi.Ponsel berbunyi. Revan segera membuka pesan dari Malik.
'Dia nggak mau balik. Dia malah mewek di ruangan lo.'
Revan mendesah kasar merasa terhimpit keadaan. Tidak ada pilihan lain, antara pergi atau menunggu. Daripada dirinya bulukan menunggu Nesa pergi. Revan memasukan ponselnya ke saku celananya. Revan melangkah keluar kamar dan sialnya lagi, baru saja keluar, tubuhnya malah ditubruk seorang wanita.
"Maaf, A'. Saya buru-buru," ujarnya menunduk bersalah.
Memang Revan sudah memerkenalkan diri pada semua Karyawannya dan meminta mereka memanggilnya A'a. Karena kalau Akang, Revan merasa dirinya Akang Tahu Bulat. Seperti Malik contohnya.
"Kenapa kamu buru-buru?" Revan menahan wanita yang menubruknya.
Wanita itu memberanikan diri menatap Revan. "Itu, A'. Teman saya. Bagian menjahit, dia pingsan. Saya harus buru-buru," katanya lagi terlihat gurat kecemasan.
"Siapa namanya?" Sebagai bos yang baik, Revan perlu memperhatikan pegawainya.
"Katia, A'."
Dan tanpa menunggu lama, Revan menarik tangan wanita itu menyeret wanita itu untuk berjalan mengikutinya. Itu gerakan spontan yang muncul tiba-tiba. Revan juga tidak mengerti, tapi yang jelas, dirinya merasa khawatir. "Kita pakai mobil." Revan hendak membuka pintu mobil.
"Rumahnya ada di belakang rumah ini, A'." Wanita itu menahan ajakan Revan.
Revan melepaskan pegangannya. Dia segera berjalan mendahului wanita itu. "Ya sudah, kita jalan." Langkah Revan sangatlah panjang. Perasaan apa yang tengah bersarang dalam dadanya itu. Tidak. Jangan dulu memikirkan perasaannya. Yang terpenting sekarang adalah mata dan hatinya ingin memastikan jika Katia baik-baik saja.
Tiga ratus meter dari rumah produksinya. Revan berhenti tepat di depan rumah kecil yang terlihat asri dengan beberapa pepohonan yang ada dalam pot. Revan menatap sekeliling, jarang tetangga. Hanya ada tiga rumah di sekitar rumah kecil itu.
Revan melihat wanita itu masuk dan memersilahkan dirinya untuk masuk. Revan ikut masuk ke dalam, sampai di ambang pintu Revan harus menundukan kepalanya karena pintu terlalu rendah.
"Tunggu di sini dulu, A'." Wanita itu masuk ke lebih dalam lagi.
Revan menatap sekeliling ruangan itu. Tidak luas, tapi tidak pengap. Persis seperti rumah kontrakannya dulu. Revan terperenjat saat mendengar suara keras dari arah belakang. Segera Revan menyusul masuk tanpa permisi.
***
"Sakit, Lis!" Ringis Katia memegangi keningnya.
"Kok kamu nggak lawan wanita itu sih, Ti. Aku jadi kesal sendiri." Lisa menggerutu mengobati kening Katia.
Katia mengembuskan napas berat. "Posisinya beneran nggak enak di aku, Lis. Aku lagi nggak siap, eh tiba-tiba dia main jambak saja." Katia mencebik merasa kepalanya masih sakit.
"Siapa yang menjambak kamu?" Suara berat itu membuat Katia dan Lisa refleks menoleh ke arah pintu kamar. Revan gelagapan. Dia mengusap tengkuknya gugup. "Maaf, saya nggak sopan main masuk saja, ya?"
Katia tersadar. Dia mendelik pada Lisa. "Nggak kok, A'," sahut Katia sembari tersenyum tipis.
Katia menyikut Lisa. "Silahkan duduk, A'. Maaf seadanya."Lisa menyingkir, Revan duduk di kursi yang tadi di duduki Lisa. "Kamu baik-baik saja?" Tanya Revan lembut. Katia terpaku, dia menatap Revan dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Tatapan teduh Revan begitu menyejukan hatinya. "Siapa yang jambak kamu?" Revan menyadarkan Katia dari lamunannya.
Dadanya bergemuruh hebat, meletup-letup kegirangan. Katia tersenyum tipis menggeleng pelan. "Itu ... Em .. Saya--"
"Katia dilabrak sama wanita yang tempo lalu melabrak Katia di garment, A'. Kepala Katia dibenturin ke pintu dua kali. Belum lagi rambutnya dijambak kenceng banget sama itu wanita." Lisa langsung menjelaskan tanpa diminta. Dia tahu jika sahabatnya itu tidak akan mengatakannya.
"Nesa?" Tanya Revan membuat Katia terdiam. "Nesa labrak kamu lagi?" Pertanyaan Revan membuat Katia meringis. "Kamu bicara sama saya. Kamu pegawai saya, dan saya harus melindungi kamu."
Katia menatap Revan dalam. ada rasa kecewa saat Revan mengatakan sebagai pegawain. "Saya ... Baik-baik saja kok, A'." Katia mengelak berusaha bersikap baik-baik saja.
Revan mendesah pelan. "Memangnya, apa hubungan kamu sama Revin? Sampai Nesa bersikap bar-bar seperti itu sama kamu." Revan menatap Katia lekat.
Iris mata Katia terasa memanas. Katia tersenyum mengalihkan pandangannya. "Saya juga nggak tahu, A'. Saya juga bingung," jawab Katia pelan. Katia tidak mungkin mengatakan jika dirinya adalah bekas budak cintanya Revin. Seketika hati kecil Katia meriut kesakitan.
Katia mengusap matanya, dia kembali menoleh pada Revan. "A'a kok bisa kemari? Apa Lisa mengatakannya pada A'a?" Katia bertanya pada Revan karena Lisa berlalu begitu saja dari kamarnya.Revan menunjukan cengiran khasnya. "Saya nggak sengaja nabrak teman kamu itu, dan dia kayaknya juga kepaksa ngomong sama Saya," ujarnya.
Katia menganggukan kepalanya pelan. "Jadi merepotkan, A'." Katia berucap tak enak.
Revan menggeleng. "Nggak. Sama sekali nggak repotin. Nanti saya coba kasih peringatan sama Nesa. Kalau kejadian ini terulang lagi, kamu jangan sungkan bicara sama saya."
Air mata Katia tumpah. Dia belum pernah menemui Pria yang setulus ini padanya. Apalagi Pria di hadapannya itu adalah atasannya. Dengan perasaan haru yang menggunung, Katia spontan memeluk Revan yang duduk di pinggir ranjangnya. Dia ikhlas jika harus jatuh cinta pada Revan. Revan pria baik hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakitnya Cinta (Tamat)
Short StorySiapa yang bisa tabah ditinggalkan calon pengantin wanita di saat pernikahan akan berlangsung hari esok? Apalagi yang merebut calon pengantinnya itu adalah saudara kembarnya sendiri. Senyuman, tingkah laku konyol Revan adalah bentuk kesakitan dalam...