Sembilan

8K 964 63
                                    

Berkali-kali Revan mengembuskan napasnya berniat mengurangi rasa gugupnya. Tadi Revan sudah tertawa habis-habisan, dan sekarang giliran sakit-sakitan. Revan menyugar rambutnya ke belakang membuang keresahan. Dengan sedikit bergetar, Revan menekan bel yang ada di samping pintu. Lihat, dia persis seperti seorang tamu, bukan? Benteng yang menghalangi dirinya dengan keluarganya semakin tinggi. Menunggu beberapa detik, tidak lama pintu terbuka menampakan Nyonya besar di rumah itu. Tatapan mata mereka bertemu, Revan tersenyum tulus sementara Ibunya hanya menatap Revan tanpa ekpresi. Dalam hati Revan meringis.

"Masih ingat jalan pulang kamu?" Ucapan itu terdengar sinis.

Revan masih mempertahankan senyum tulusnya menatap ibunya lembut. "Maaf, Ma. Saya baru pulang tadi---"

"Memang apa perduliku? Kamu kan nggak pernah menganggap kami," sela Ibu Revan masih bernada sinis.

Nah, kan. Belum juga masuk sudah disambut dengan sindiran yang manis. Sebagai anak Revan merasa serba salah. "Maaf, Ma. Saya nggak pernah mempunyai maksud seperti itu. Saya--"

Ucapan Revan kembali terhenti saat Ibunya melebarkan pintu dan masuk lebih dulu ke dalam tanpa ucapan atau kata sambutan mempersilahkan. Revan bimbang, dia tersenyum getir kemudian memilih berbalik berniat pergi. Satu tetes air mata di sudut matanya keluar. Bahkan tidak ada kata rindu yang terucap dari bibir Ibunya. Revan tersenyum ikhlas, dia mengusap matanya pelan. Kaki lebar Revan hendak melangkah, tapi tertahan suara lainnya.

"Kenapa nggak masuk? Tega banget kamu sama aku, Van." Itu Revi, dia berdiri di ambang pintu menatap punggung adiknya sedih.

Revan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap kakaknya. "Mbak apa kabar?" Tanya Revan sendu menatap sang Kakak. "Maaf, saya jadi ganggu--"

Tanpa diduga, Revi menerjang tubuh Revan. Dia memeluk tubuh Revan menangis di sana. Revan menengadahkan kepalanya menahan air matanya. Setidaknya ada kakaknya yang merindukannya. Revan mengusap punggung Revi lembut. "Kamu memang adik durhaka, Revan. Kamu nggak merasa bersalah ninggalin aku tanpa kabar?" Revi mengomel dalam pelukan Revan.

Revan terenyuh. Dia tersenyum simpul. "Di sana susah sinyal, Mbak," elak Revan dengan nada guyonan.

Revi melerai pelukan. Dia menatap tajam Revan sebelum melayangkan geplakan keras di kepala Revan membuat Revan mengaduh kesakitan. "Kamu pikir Inggris itu pelosok sampai nggak ada sinyal, heh!" Sungut Revi kesal.

Revan meringis memegangi kepalanya. "Saya memang nggak ada waktu buat sekedar pegang ponsel, Mbak. Di sana Saya juga bekerja paruh waktu, buat bekal tinggal di sana." Revan membela dirinya. Memang benar, selama di Inggris, Revan tidak sekalipun memegang ponsel. Ponselnya memanga ada, tapi tetap saja Revan tidak mau mengeluarkan biaya sia-sia hanya untuk membeli pulsa.

Tatapan mata Revi berubah jadi sendu menatap Revan. "Kamu nggak pernah mau minta tolong sama Papa. Kamu selalu melakukan semuanya segala sendiri, padahal kamu masih punya kami, Van."

Revan mengusap tengkuknya pelan. "Saya cuman--"

"Tentu saja Revan punya malu. Anak yang susah diatur nggak berhak minta apapun pada orangtuanya," ucap Pria tua yang datang dari belakang Revi. Itu Ayah Revan.

Revan tersenyum simpul. "Saya cuman ingin berkunjung kok. Saya nggak ada niat lain, maaf saya mengganggu waktu istirahat kalian." Revan menunduk menyesal. Entah sejak kapan Revan menyebut dirinya dengan bahasa formal. Revan benar-benar semakin jauh dengan orangtuanya.

Ayah Revan berdecih sinis. "Nggak rugi saya kehilangan satu anak pembangkang, Karena saya masih punya satu anak yang sangat bisa diandalkan," ungkapnya membuat Revan menatap Ayahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Revan merasa jika ucapan Ayahnya bagaikan pisau tajam yang menusuk-nusuk hatinya. Perih, tapi tidak berdarah. Bukan dia ingin dibanggakan, hanya saja. Apakah prestasinya selama ini masih kurang membanggakan? "Saya mengerti, Pa," sahut Revan pelan.

Ayah Revan tertawa terdengar mengejek. "Papa? Untuk ukuran yang lues selama bertahun-tahun pergi tanpa kabar, apa masih layak memanggil sebutan itu?"

Revan terheyak. Apa itu artinya dirinya sudah tidak pantas memanggil itu pada kedua orangtuanya? Revan masih mempertahankan senyumannya.
"Saya tahu, saya banyak salah sama Papa dan Mama. Saya memang anak kurang ajar yang nggak layak untuk menjadi bagian dari keluarga Papa. Saya benar-benar minta maaf untuk itu, Pa." Revan menunduk, dia tidak mau bersikap sama seperti Papanya. Karena bagaiamana pun mereka tetaplah orangtuanya. "Tapi, Saya--"

"Revi, kalau sudah selesai tutup pintunya." Suara Ayah Revan menghentikan ucapan Revan. Ayah Revan segera berbalik meninggalkan pintu.

Revan tersenyum miris. Bagi keluarganya dia bukanlah apa-apa. Revan beralih menatap kakaknya. "Sudah lumayan malam juga, Mbak. Saya pamit saja, sampaikan salam saya pada Mama dan Papa." Revan mengalah, karena tidak ada orangtua durhaka pada anaknya.
Revan segera berbalik, langkah kakinya menuruni anak tangga. Revan segera menaiki motor maticnya kemudian melajukannya meninggalkan garasi rumah itu.

Revan menggeram menahan rasa sakit yang terus berkedut dalam dadanya. Revan menahan laju air matanya dengan terus mengembuskan napas. Dia hanya seenggok sampah yang tidak bisa didaur ulang. Revan tahu letak salahnya dimana, tapi Revan tidak tahu jika kesalahannya sangatlah fatal.
Revan tidak kuat lagi, dia berhenti di tepi jalanan yang sepi. Dia membuka helmnya sebelum akhirnya berteriak keras. "ARGH!" 

Air mata mengalir begitu saja. Dia bukan cengeng, hanya saja, rasa sakit dalam dadanya tak bisa ia tahan lagi. Dia memang Laki-laki, tapi tetap dia manusia biasa. Dia punya hati. Hati tempat dimana segala rasa mampu ia rasakan. Belum satu hari dirinya kembali ke Kotanya, dia harus menerima sakit lagi.

***

Sampai di rumah produksi, Revan melangkah lesu menuju tangga luar yang ada di samping rumah. Tadinya Revan ingin memeriksa beberapa pekerjaan, tapi berhubung moodnya sangat jelek. Jadilah Revan memilih segera beristirahat.

Revan terus melangkah menapaki satu demi satu anak tangga. Revan berhenti di lantai dua. Suara mesin terdengar menyala. Revan berbelok ke ruang jahit. Revan berdiri di batas pintu masuk, bersandar di pembatas pintu. Mata tajam Revan mengawasi beberapa orang wanita yang tengah fokus pada mesin jahitnya, hingga tak menyadari keberadaan Revan.

Tepat tatapan mata Revan berhenti pada wanita yang tadi pagi dilabrak itu. Oh jadi wanita itu salah satu penjahit di rumah produksinya. Revan menatap lekat wanita itu, dahi Revan mengerut samar. Sepertinya wanita itu kurang fokus. Revan melangkah ke sana. Dia berhenti dibagian stop kontak. Revan menekan satu saklar, dan semua mesin tiba-tiba mati. Semua orang menatap ke arah Revan.

Revan tersenyum. "Sorry, saya melihat kalian kurang fokus." Revan berucap santai. "Ingat, menjahit butuh konsentrasi tinggi. Kalau kalaian nggak konsentrasi, jari-jari kalian yang jadi korbannya." Revan memang belum memperkenalkan diri sebagai pemilik konveksi, tapi Revan sangsi jika mereka sudah tahu siapa dirinya.

"Maaf, Pak." Semua berseru bersama.

Revan tersenyum simpul, membuat wanita yang ada di sana terpesona. Revan memang tampan dengan wajah khasnya sendiri. Kulit putih bersih Revan dan wajah Revan yang berseri menambah ketampanannya.

"Nggak usah seformal itu, santai dikit."

Semua terpana, hanya Katia yang terdiam dengan tatapan kosong. Revan berjalan menuju mesin jahit Katia, dia duduk di depan Katia. "Kamu masih memikirkan soal tadi pagi?" Revan mematikan tombol mesin di sana. Jemarinya memberi isyarat agar kembali menyalakan saklar tadi.

Katia membalas tatapan Revan. "Hah?"

Revan terkekeh pelan. "Kamu nggak fokus. Jari-jari kamu bisa habis tanpa kamu sadari."

Katia tersenyum malu. "Maafkan saya, Pak. Saya nggak sadar."

Revan geleng-geleng kepala. "Jangan ulangi, bahaya buat diri kamu," ucap Revan penuh perhatian. Revan segera berdiri. "Ikut ke ruangan saya," titahnya kemudian berlalu.

Katia linglung, dia merasa was-was atas titahan itu. Katia menarik napas kemudian mengembuskannya. Katia berdiri. Semua mata menatap Katia penuh penasara, sementara Katia mengedik tidak tahu sebelum ikut berlalu menuju ruangan yang ada di lantai tiga.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang