"Revan?" Mata Wanita itu tampak berbinar melihat sosok Revan. Sementara wanita satunya lagi menunduk tak mau menatap Revan. Ketiganya terdiam dengan lingkaran yang terasa aneh.
Revan tersenyum simpul, tidak menyangka akan bertemu masalalunya secepat itu. "Hai. Apa kabar?" Revan bertanya canggung. Bagaimana pun, wanita di hadapannya ini adalah adik iparnya sekarang. Tatapan mata Revan beralih pada wanita yang menunduk terdengar terisak. "Kenapa?" Revan beralih lagi menatap dia__ Nesa.
Wajah Nesa tidaklah banyak berubah, keimutan dan kepolosannya masih sangat terlihat. Begitu kata batin Revan. Raut wajah Nesa berubah sedih. "Aku cuman lagi berusaha mempertahankan rumah tangga aku. Dia," Nesa menunjuk wanita yang masih tertunduk itu. "Dia sudah menggoda Revin, Revan. Dia berniat menghancurkan rumah tangga kami." Air mata Nesa mengaliri pipi tirusnya.
Wanita itu mengangkat wajahnya. Dia menggeleng keras tak terima. "Saya sudah bilang kalau saya nggak ada urusan sama suami, Mbak," sanggah wanita berkulit eksotis itu.
Dia Katia, mata beningnya sudah berkaca-kaca. "Demi Ibu Saya, saya nggak pernah menjalin hubungan apapun." Kemudian Katia terisak membekap mulutnya sendiri.Revan mengembuskan napas berat. Oh, jadi permasalahan Revin dan rumah tangganya. "Nes, nggak baik koar-koar di luar. Mending masuk, bicarakan dengan kepala dingin. Jangan mentang-mentang di luar panas, kamu juga ikutan panas." Revan berdecak menengahi keduanya.
Revan menatap lekat Katia yang masih menahan tangisnya. "Kalau kamu nggak merasa, jangan takut. Kita bicarakan baik-baik, ayo." Revan segera berbalik melangkah lebih dulu menaiki tangga menuju balkon lantai dua.
Revan menggeleng samar sembari mendesah lelah. Baru saja dia menginjakan kaki di Bandung, sudah disuguhi permasalahan masalalunya.
***
Ruangan luas yang berdominasi warna putih itu terasa pengap, padahal ruangannya sangat luas. Memang ruangan yang sengaja Revan pesan pada Malik saat membangun rumah itu. Revan ingin memiliki rumah di dalam rumah. Tepatnya di lantai tiga.
Revan duduk bersebrangan dengan Katia dan juga Nesa. Nesa terlihat sangat santai, berbeda dengan Katia yang terlihat tegang. Katia belum siap jika harus dipecat, Katia terlanjur betah di sana. "Kamu kemana saja, Van?" Nesa membuka suara. "Kamu menghilang bak ditelan bumi." Nesa menatap Revan sendu.
Revan yang duduk bersilang kaki tersenyum tipis. "Kalau ditelan bumi, kemungkinan besar yang duduk ini hantunya," sahutnya sembari terkekeh pelan.
Nesa tersenyum lembut. "Kamu masih Revan yang dulu ternyata," tukas Nesa tak melepaskan pandangannya.
Revan mengedik. "Kamu, nggak baik labrak orang di depan umum, Nes." Revan kembali ke topik pembicaraan. "Kamu sudah dapat pengakuan dari Revin?"
Nesa kembali menangis. "Dia nggak pernah mau mengakui semuanya. Aku tahu kalau wanita itu simpanannya Revin. Iya, kan? Ngaku kamu!" Nesa beralih menatap marah pada Katia.
Katia menatap Revan memelas. "Saya nggak pernah jalin hubungan apa pun sama Revin. Saya berani bersumpah, tolong jangan pecat saya ..." Katia memohon pada Revan, seolah tahu jika Revan adalah bosnya.
Revan melirik Nesa yang terlihat berapi-api. "Berarti itu cuman praduga kamu, Nes. Jangan main tarik orang yang bahkan nggak tahu permasalahannya apa. Kamu klarifikasi dulu sama Revin, baru--" ucapan Revan terhenti. Pupil mata Revan melebar melihat Nesa menyerang Katia dengan membabi buta.
"Sialan! Jalang sialan! Dasar pelacur!" Nesa menjambak rambut hitam panjang Nesa. Nesa semakin menggila karena Katia tidak memberikan perlawanan.
Katia sebenarnya berani, tapi mengingat ada orang lain, dia takut mengganggu pekerjaannya bila melawan. Jadilah dia bersikap pasrah, perutnya dan perut keluarganya lebih penting daripada membalas emosi wanita yang menyiksanya itu.
Revan segera beranjak dari duduknya. Dia berusaha melerai keduanya. "Nes!" Revan menarik pergelangan tangan Nesa. Nesa masih menyerang, terpaksa Revan berpindah menarik Katia dengan memeluknya. Revan mendekap Katia menjadikan dirinya tameng. Astaga ... Wanita dengan segala kemarahannya. Gerutu batinnya.
Katia terisak dalam dekapan Revan. Revan memisahkan Katia dengan mengajak Katia berdiri di pojok ruangan. Revan berdiri membelakangi Katia. "Kamu sakit ya, Nes?" Kata Revan dengan nada bicara sedikit meninggi. Bisa bahaya kalau sampai rumah produksinya jadi bahan gunjingan masyarakat. Berdampak pada omset produksinya nanti. Ada-ada saja.
"Ngapain kamu lindungi pelacur itu, Revan!" Nesa membentak Revan marah.
Revan mengusap dadanya menenangkan. "Kamu nggak bisa dan nggak boleh nuduh sembarangan gitu, Nesa! Mana Revin? Panggil dia kemari! Kita selesaikan semuanya baik-baik."
Nesa menggeleng dengan air mata yang terus berderai. "Nggak Revin, nggak kamu. Terus belain wanita murahan itu!" Setelah mengatakan itu, Nesa mengentakan kakinya berbalik meninggalkan ruangan Revan.
Revan termangu. Apa? Dirinya membela wanita di belakangnya itu? Bagaimana bisa? Kenal juga tidak. Revan berbalik menyadari wanita itu masih terisak. "Hei, semuanya sudah baik-baik saja."
Katia menggeleng, tanpa diduga Katia bersimpuh di hadapan Revan. "Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya ... Saya bersumpah kalau saya nggak ada hubungan apa pun. Saya mohon jangan pecat saya."
Revan mendengkus memutar bola mata jengah. Revan memegang kedua bahu Katia mengajak Katia untuk berdiri. "Kenapa kamu minta maaf sama saya? Saya bahkan nggak tahu asal-usul masalahnya." Revan berbicara dengan suara pelan.
Katia menggeleng. "Saya takut, Bapak ..."
"Ah ... Saya kayak pernah melihat kamu, tapi dimana, ya ..." Revan tampak berpikir kemudian mendesah. "Ah saya lupa."
Katia tersenyum geli menyusut air matanya kasar. "Bapak yang hampir menabrak saya tiga tahun yang lalu," ujar Katia pelan.
Revan berdecak. "Benar. Pantas saja terasa asing, mungkin karena rambut kamu yang berubah kali, ya. Dulu saya mengingat kamu, karena rambut kamu mirip dora." Revan sebenarnya ingat, tapi dia ingin mencairkan suasana. Revan tipe Pria yang tidak tegaan, saking tidak tegaannya, dia rela melepas calon mempelainnya. Apalagi setelah melihat keadaan wanita di depannya yang terlihat mengenaskan.
Katia tersenyum simpul. "Saya benar-benar ti--"
"Memang siapa yang mau pecat kamu? Saya nggak bilang. Dan ya, menang kamu tahu siapa saya?" Revan menyela ucapan Katia yang pasti akan memohon padanya. Katia menggeleng pelan kembali menunduk. "Lain kali, kalau ada yang labrak nggak jelas begitu kamu lawan. Jangan takut." Revan kembali berujar.
Katia hanya menganggukan kepalanya. Revan mengembuskan napas pelan. "Ya sudah, balik kerja," titah Revan yang langsung dituruti Katia.
Katia berjalan cepat, mengucapkan syukur dalam hatinya. Saat Katia memegang kenop pintu, suara Revan kembali terdengar. "Obatin luka kamu. Wanita banyak bekas luka nggak bagus dipandangnya."
Katia tersenyum tipis, dia hanya menganggukan kepalanya kemudian keluar dari ruangan Revan.
Revan mendesah kasar. Tadinya dia ingin beristirahat. Eh malah harus melerai singa betina mengamuk. Revan mendaratkan bokongnya di sofa, menyandarkan punggungnya , dan memejamkan matanya lelah. Revan perlu istirahat sebelum kembali menghadapi masalah esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakitnya Cinta (Tamat)
Short StorySiapa yang bisa tabah ditinggalkan calon pengantin wanita di saat pernikahan akan berlangsung hari esok? Apalagi yang merebut calon pengantinnya itu adalah saudara kembarnya sendiri. Senyuman, tingkah laku konyol Revan adalah bentuk kesakitan dalam...