Delapan

8.6K 890 36
                                    

"Van, gue bisa suruh cewek itu berhenti dari sini." Malik berujar kemudian duduk di sofa sebrang Revan. Ia membawa dua cangkir kopi. "Gue nggak nyangka, Nesa yang penuh kelembutan itu sangar banget kalau lagi marah."

Revan semakin berinsut membaringkan tubuh besarnya di sofa panjang. "Gue juga nggak tahu Nesa bar-bar banget. Yang gue tahu, Nesa itu paling cuman ngomel-ngomel," timpal Revan dengan mata menerawang langit-langit.

"Mungkin benar wanita itu ganggu rumah tangga, Nesa."

Revan menggeleng pelan. "Gue melihat tatapan matanya, dia cewek baik-baik, Lik. Lo tahu kan gimana playernya Revin. Gue kok lebih setuju kalau Revin yang diamuk Nesa daripada cewek itu. Kasihan dia."

Entah, Iris cokelat terang wanita itu lebih menyiratkan ketulusan dan kebaikan. Revan tahu itu. Namun dia tidak ingin mudah terjerumus lagi. Dulu, Nesa juga sangatlah baik, tatapan matanya selalu memancarkan kehangatan. Dan boom! Nesa mengeluarkan taring dan cakarnya yang bersembunyi untuk menyakiti dirinya.

"Gue tahu, lo lagi bandingin cewek itu sama Nesa. Kesan pertama gue lihat dia, itu persis seperti Nesa yang lo kenalin pertama kali sama kita. Polos dan baik." Malik bersikap seolah dirinya adalah cenayang.

Revan menggeleng. "Gue nggak ada pikiran kesana. Pikiran gue melayang sama menu makanan siang ini." Revan mode wajah tengil. "By the way, bos lo ini mau makan siang di sini. So, lo beliin atau pesanin gih, daripada nganggur kagak jelas." Revan masang wajah congkak berlagak seperti seorang bos. Malik berdecak hendak melempar sandal jepitnya ke arah Revan.
"Sendal butut lo nyampe ke muka ganteng gue, gue gantungin gaji sama bonus lo," ancam Revan dengan tangan mengibas.

Malik menurunkan sandalnya, mengusap dadanya menggumamkan kata sabar. "Sialan!" Malik mengumpat sebelum akhirnya beranjak dari duduknya, kemudian berlalu dari ruangan Revan.

Revan tersenyum geli. Dia kembali memejamkan matanya. Bayangan wajah Nesa kembali bertengger dalam pikirannya. Revan menggeleng pelan. "Sial!" Umpatnya memukul pelan kepalanya. Revan membuka matanya, dia dilanda gelisah. Gelisah antara harus mendatangi kedua orangtuanya atau tetap di sana membiarkan semuanya.

Revan belum siap menerima hinaan atau cacian Ayahnya. Revan juga belum sanggup menerima sindiran dari Ibunya. Dan Revan juga belum mengebaskan hati untuk kembali dibandingkan dengan Revin.
Revan mendesah gusar. Dia memang belum mau, tapi bagaimana pun mereka tetaplah orangtuanya, dan Revan tidak mau sampai jadi anak durhaka.

Pikiran kusut itu sebagai penghantar tidur. Dengan mudahnya Revan terlelap, mungkin karena kelelahan diperjalanan dan suguhan adegan tadi.

"Van, woy!" Malik mengguncang tubuh besar Revan kasar. "Woy! Bangun kebo!"

Revan membuka matanya, mengerjap pelan. Matanya terasa lengket susah sekali untuk dibuka. Silau cahaya dari lampu membuat Revan kembali memejamkan matanya. "Jam berapa sekarang?" Tanya Revan dengan suara serak khas bangun tidur.

"Jam lima sore, lo tidur kayak orang pingsan, Van." Malik menggerutu menyodorkan dua kotak makanan.

Revan segera membuka matanya. Dia menguap kemudian bangkit dari tidurnya. Lehernya terasa kaku, belum lagi tangannya terasa pegal. Tidur empat jam di sofa lumayan membuatnya pegal. "Lo nyari makan empat jam? Gila!" Revan berbicara sembari meraih kotak makanan yang disodorkan Malik.
"Gila saja empat jam, orang elo susah banget dibangunin," sanggah Malik tak terima.

Revan kembali menguap. "Mungkin gue kecapekan kali, ya." Revan mengedik tak acuh.

Malik mendengkus sebal. "Lo mau ikut ke apartemen gue apa mau di sini?" Malik memang sudah tidak tinggal lagi di kontrakan. Dia membeli satu unit apartemen sederhana dari hasil usaha yang dibangun Revan itu.

Revan membuka kotak makanan itu. Tidak menunggu lama lagi, Revan langsung menyuapkan nasi beserta lauk-pauknya ke dalam mulutnya. "Ada berapa orang penjahit yang tinggal di sini?" Tanya Revan sambil mengunyah makanannya.

Malik memutar bola matanya ke atas terlihat sedang berpikir. "Beberapa anak paking yang dapet shift malam sih menginap di bawah. Kalau penjahit ya tergantung keinginan mereka. Kalau nggak salah, malam ini ada sekitar sepuluh penjahit yang ambil lembur," jelas Malik secara rinci.

Memang awalnya konveksi yang Revan miliki hanya menerima pesanan seragam sekolah, baju buruh, dan pesanan yang tergolong kecil. Namun sekrang, Konveksi milik Revan sudah mengisi beberapa butik terkenal di dalam kota dan luar kota juga. Semua pekerjaan penjahit di target. Dan mereka juga berbeda bagian, bagian untuk baju khusus pengiriman ke butik dan pesanan. Kualitas pakaian yang dijahit konveksi milik Revan juga tidak sembarangan, menambah peminat untuk mempercayakannya pada Revan.
Revan mengangguk. "Kayaknya besok gue harus mulai beli peralatan kebutuhan gue di sini. Gue bakalan tinggal di sini sementara kayaknya sebelum cari tempar tinggal yang nyaman," tutur Revan kembali menyuapkan makanannya.

Malik mengangguk. "Lo tulis semua daftarnya, biar nanti anak-anak yang belanja sekalian belanja bahan," pungkas Malik.

Nasi yang dimakan Revan tersisa sedikit lagi. Sepertinya Revan benar-benar lapar, sampai dua porsi habis dimakan sendiri. "Besok sudah gue kasih. Malam ini gue mau ke rumah orangtua gue. Nggak mungkin menginap juga, jadi siapin satu kasur buat gue. Kasur lipat juga nggak masalah." Setelah itu suapan terkhir Revan masukan ke dalam mulut. Makanan habis. Revan segera meraih botol minum, menegaknya tak bersisa.

"Oke. Ada lagi?" Malik bertanya sebelum beranjak.

Revan mengedik. "Kayakya segitu dulu. Siapin di lantai satu saja. Gue mau lihat-lihat kinerja mereka nanti setelah pulang dari sana." Revan berhenti sejenak. "Ah iya, cewek tadi anak paking atau penjahit?"

Mata Malik memicing curiga. "Ngapain lo tanyain segala?"

Revan mendengkus keras. "Eh bocah! Wajarlah gue nanyain dia. Gue kan bosnya. Gimana sih elo." Memang tidak ada maksud apa-apa. Revan hanya ingin tahu saja.
Malik memberikan cengirannya. "Gue kira ada getar-getar cinta," goda Malik membuat Revan kembali mendengkus sebal.

"Getar-getar *beungeut maneh beteukok!" Seru Revan kesal.

Malik tertawa keras memegangi perutnya. "Biasa saja kali, Van."

Revan berdecak membuka sepatunya lalu melemparkannya ke arah Malik mengenai kepala Malik membuat Malik berhenti tertawa menatap Revan kesal sembari memegangi kepalanya yang terasa berkedut. "*Belegug siah!" Balas Malik mengumpat.

Giliran Revan tertawa terbahak-bahak. "*puas!"

Dan mereka malah terhanyut saling mengejek dan mengumpat. Bahkan Revan jadi lupa tentang pertanyaan yang belum dijawab.

***

**bengeut maneh betekok!: wajahmu jelek!

**beleugug siah: Kurang ajar.

**puas: Rasain/ rasakan.

Oke sampai di sana dulu, ya...
Dicerita kali ini, kayaknya bakalan ada campuran bahasa daerah sundanya. Emak mau bereksperimen lagi nih.

Revan mau datengin rumah orangtuanya. Kira-kira gimana ya kesan pertamanya ..

Stay tuned sayangnya emak😍😘

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang