Lima Belas

5.9K 739 28
                                    

Sudah tersedia versi ebooknyaa, yaa...

***

Hari demi hari berganti. Kedekatan mereka semakin terlihat. Perasaan Katia kini merambat liar menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang mengikat. Tidak. Katia tidak boleh memiliki harapan itu. Katia harus bercemin akan dirinya yang tidak pantas bersanding dengan Revan. Revan terlalu baik. Katia yakin jika masalalu Revan tak sekelam miliknya. Senyum kecut tersungging dari bibirnya, Katia memokuskan dirinya pada pekerjaannya. Bergelut dengan pekerjaannya membuatnya sedikit melupakan angan yang mengharapkan sesuatu yang mustahil.

"Tia," panggil seseorang terpaksa membuat Katai mematikan mesin jahitnya.

Sebelah alis Katia terangkat ke atas menatap teman kerjanya. "Ada apa Nining?" Sahut Katia berbalik menatap Ning.

Nining menatap Katia. "Anu ... Bisa tolong antarkan yang dipesan Akang Malik ke Ruang A' Revan?" Nining menatap Katia memelas.

Katia mengedik. "Kan kamu yang disuruh, kenapa harus aku yang mengantarkan?" Katia menggoda Nining yang gelagapan salah tingkah.

"Aduh ... Aku paling nggak sanggup dekat-dekat cowok ganteng. Belum di atas ada tiga cowok ganteng, bisa pingsan aku kelebihan lihat yang bening," ujarnya setengah berbisik.

Katia tergelak keras. "Idih ... Kamu. Kamu kan cantik, Ning. Mengapa harus berlebihan seperti itu?" Katia tidak bisa menahan tawanya, dan dia malah semakin tergelak melihat ekpresi Nining yang seperti sedang menahan kentut ...

Katia memang orang yang mudah akrab, tapi dia selalu membatasi keakraban itu.

"Tia ...," geram wanita berkulit kuning langsat itu.

Katia beranjak dari duduknya.
Menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya. Dia meraih plastik yang di sodorkan Nining. Matanya melirik plastik itu. "Apa ini, Ning?"

Nining telah berbalik berkutat dengan mesin jahitnya. "Itu seblak yang dipesan Akang Malik." Katanya pelan.

Katia mengangguk kemudian melangkah menuju tangga yang menghubungkannya ke lantai tiga. Bersenandung pelan mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak sangat cepat.

Sampai di depan pintu, Katia menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengetuk pintu itu beberapa kali. Tidak ada sahutan, Katia menempelkan telinganya di pintu mencoba mendengar percakapan dari dalam. Sayup-sayup terdengar tawa renyah dari dalam___ yang salah satunya dari suara Revan. Katia tidak bisa menyembunyikan senyuamannya. Ya Tuhan ... Katia sudah jatuh dalam pesona Pria berkulit putih itu.

Saking senangnya, Katia tidak menyadari pintu ruangan terbuka dengan Katia tersungkur jatuh dalam dekapan seseorang. Katia menelan ludahnya susah payah, merasa malu tak berani menatap siapa yang mendekapnya. Aduh ... Katia ketahuan menguping!

"Aduh Neng ... Nggak usah ngintip-ngintip gitu. Mau ikutan tinggal masuk," seru seseorang dari jarak lumayan jauh.

"Dekapan saya memang lumayan bikin nyaman sih." Suara berat itu membuat Wajah Katia semakin merah padam. Katia malu setengah mati. Tapi dia tidak tahu harus berbuat bagaimana.

"Kalau kamu mau saya dekap terus, nanti setelah dua kampret itu pergi," ujarnya lagi.

Katia menahan napasnya beberapa detik sebelum akhirnya memutuskan untuk segera berdiri tegak. Mata mereka bertemu, Katia tertegun menatap wajah Revan yang dihiasi seringai jahil seperti biasa. "Em ... Maaf, A'. Saya ..." Ucapan Katia terhenti, dia benar-benar gugup ditatap seperti itu oleh Revan. Tatapan lembut memuja?

"Kenapa? Kamu kangen sama saya?" Goda Revan semakin membuat Katia salah tingkah. Detak jantungnya semakin berdetak liar tak tertolong. Katia hanya bisa berharap bunyi detak jantungnya tidak terdengar keluar. Kalau sampai keluar, sudahlah pasti sangat memalukan.

Sakitnya Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang