Sekolah Baru

2.3K 179 122
                                    

Sabita terpaksa berjalan kaki ke sekolah barunya karena motor beserta barang-barang lainnya baru sampai sore hari nanti. Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh jika hanya berjalan kaki, tapi mau bagaimana lagi, Sabita tak punya pilihan lain.

Pindah dari Bandung ke Jakarta, tak pernah ia bayangkan sekalipun dalam mimpi. Semua ini gara-gara mamanya yang tertipu oleh pria berengsek bernama Galih. Pria itu berjanji akan menikahi mamanya setelah diberi pinjam uang lima puluh juta. Namun, nasib buruk memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menimpa Sabita dan mamanya. Rosa.

Pria penipu itu menghilang bak ditelan bumi setelah diberi pinjaman. Kabar yang terakhir berhasil Rosa dapat adalah, Galih tinggal di Jakarta. Alasan itulah yang membuat Sabita pindah, untuk mencari pria berengsek itu.

Rosa tak bisa mengikhlaskan begitu saja sisa uang yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Sementara Sabita, ia menjadi korban dari kekesalan mamanya sendiri. Setiap hari dimarahi, dipukul, bahkan terkadang ia harus mencari uang sendiri untuk makan.

Sabita tak mau menambah pengeluaran keuangan lagi, maka dari itu ia memilih berjalan kaki ke sekolah dengan risiko ia harus berangkat lebih pagi.

Sesampainya di sekolah baru, lebih tepatnya di depan kelas barunya, Sabita menyiapkan diri untuk menyapa teman-teman barunya. Sampai guru yang mengajar mempersilahkan ia masuk.

"Jangan gugup," gumamnya.

"Sabita, ayo masuk, perkenalkan diri kamu."

Sabita masuk dengan senyuman manis tersungging di bibirnya yang tipis. Berusaha terlihat tenang walau sejujurnya ia takut mendapat sambutan buruk. Sabita mendengar dari temannya di Bandung bahwa orang-orang Jakarta itu sombong dan tidak ramah.

"Perkenalkan, nama aku Sabita. Panggil aja Sabit. Pindahan dari Bandung. Aku harap diterima di kelas ini dan bisa berteman baik sama kalian."

"Ada yang ingin ditanyakan pada, Sabita?" tanya Ibu Andin.

"Saya, Bu." Cowok berlesung pipit itu mengangkat tangan dengan semangat, tatapannya beralih memandang Sabita. "Punya obat diabetes, gak? Gue langsung terserang penyakit itu saat liat senyum lo."

"Huu!" sorak mengejek terdengar di sepenjuru ruang kelas, Sabita lagi-lagi hanya menyunggingkan senyum tipis. Gombalan yang terlontar dari mulut cowok berlesung pipit itu membuatnya geli sendiri.

"Ya sudah. Sabita, kamu boleh duduk di samping Mely."

Cewek dengan pipi sedikit chuby melambai dan tersenyum, memberitahu bahwa dialah yang bernama Mely.

Sabita duduk dengan tenang, tidak buruk untuk hari pertama bersekolah. Justru menurutnya menyenangkan, ia sejenak bisa melupakan beban yang ada di rumah.

"Kenalin, nama gue Mely," ujar cewek itu sambil mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.

"Sabita," balas Sabita sambil tersenyum.

"Gimana rasanya digombalin Fathan?"

"Nama dia Fathan?"

Mely mengangguk antusias. "Tapi jangan suka sama dia, ya. Udah punya pacar soalnya."

"Baru masuk, kenapa harus mikirin pacaran?" Mely terkekeh atas jawaban Sabita, benar juga.

***

Waktu istirahat tiba, Mely menatap Sabita bingung saat cewek itu masih saja fokus pada buku cetak biologi yang barusan dipelajari.

"Sabita, lo nggak mau makan ke kantin?"

Sabita menggeleng, "Kamu mau kesana? Duluan aja, aku lagi menghemat."

Namanya Sabita [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang