Sabita memasuki rumahnya, membuka pintu yang terkunci seraya menarik napas panjang. Dia akan kembali pada kenyataan hidupnya yang tak lagi sempurna karena mamanya belum juga ditemukan. Perlahan dia mengamati setiap sudut ruangan, mengingat keberadaan mamanya di rumah itu.
Melihat pintu kamar mamanya yang terbuka, Sabita langsung masuk. Menyentuh satu persatu benda yang ada di meja samping tempat tidur. Sabita menangis dalam keheningan. Memeluk erat figura berisi foto dirinya dan sang mama. "Ma, Mama di mana? Sabita kangen Mama. Sabita pengen Mama di sini peluk Sabita, marah atau pukul Sabita seperti biasa. Asal Sabita bisa lihat Mama setiap hari."
Kerinduan mendalam membuat Sabita tak bisa menghentikan tangisnya, gadis itu terduduk dilantai memeluk lututnya sediri. Dia lelah juga berpura-pura bahagia sepanjang hari. Memamerkan senyum yang terkadang palsu. Semua itu karena dia tidak mau terlihat lebih lemah lagi. Semua teman-temannya sudah membantu semaksimal mungkin, dan hasilnya tetap nihil.
Ponsel berdering saat gadis itu hampir terlelap, memilih mengabaikannya dan bangkit dari lantai. Membuka lemari sang mama dengan perlahan.
Sebuah surat Sabita temukan, gadis itu menghapus air matanya dengan cepat. Mencari tahu apa isi di dalamnya.
Untuk putriku, Sabita.
Sayang, mama pergi. Jaga diri baik-baik ya. Maaf atas perlakuan kasar mama sama kamu. Jangan cari mama. Karena mama akan pergi sangat jauh dari hidup kamu. Bukan karena mama nggak sayang sama kamu. Tapi karena mama takut menyakiti kamu lebih dalam lagi. Mama bukan ibu yang baik buat kamu, maafkan mama. Mama akan baik-baik saja di tempat mama yang baru, percayalah. Beri mama waktu untuk memperbaiki diri, agar saat bertemu kamu lagi mama bisa membahagiakan kamu.
Mama sayang sekali sama kamu. Love you sayang.Dari seseorang yang kau sebut bidadari tanpa sayap.
Sabita menutup mulutnya dan kembali meneteskan air mata, menyesali kenapa ia baru membuka lemari itu saat ini. Hatinya begitu terpukul, mengetahui alasan dibalik perginya sang mama. Bidadari tanpa sayap miliknya.
Lalu, apa yang harus Sabita lakukan? Tetap mencari atau mengikhlaskan takdir berjalan dengan sendirinya. Sabita sudah mencari kemana-mana. Sabita sudah hampir putus harapan.
Ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari Aditya. Sabita menyiapkan diri terlebih dahulu sebelum menjawab panggilan itu.
"Ha-hallo, Kak." Sabita menjawab dengan gugup, takut-takut Aditya mengetahui dia menangis.
"Udah sampe?" tanya Aditya di sebrang telepon.
"Udah, aku udah nyampe rumah."
"Baik-baik aja, kan?"
"Kenapa tanya gitu?"
"Gak boleh?"
"Emm, boleh. Aku baik-baik aja."
"Yaudah."
"Aku ngantuk, tidur duluan, ya, Kak. Selamat malam."
"Hmm, malam."
Aditya menjambak rambutnya frustasi, dia sangat mengkhawatirkan Sabita. Tapi kenapa saat panggilannya dijawab dia hanya mengatakan itu. Terlebih dia mengingat saat Sabita dan Fathan berduaan di perpustakaan. Keduanya terlihat sangat dekat. Aditya sangat cemburu, tak rela jika Sabita masih dekat dengan Fathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Fiksi RemajaIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...