Sabita memeluk boneka burger kesayangannya—pemberian sang ayah, sambil terbaring menghadap atap kamar. Dia baru saja selesai membereskan rumah. Selepas pulang dari rumah sakit sore tadi, dirinya tak tahan melihat rumah berantakan.
Gadis dengan rambut panjang tergerai itu beralih menatap layar ponselnya yang telah terisi penuh. Tak ada satupun pesan yang Aditya kirimkan, padahal ia menantinya. Sabita berharap Aditya berubah pikiran dan mau mendengarkan penjelasannya.
Dengan ragu Sabita mengetik lalu menghapus kembali pesannya, mencari kata-kata yang lebih pas untuk dia kirimkan pada pacarnya yang tengah salah paham.
Sabita : Assalamualaikum.
Terbaca, namun tak kunjung mendapat balasan dari Aditya. Sabita memajukan bibirnya. Harus dengan cara apalagi ia membuat Aditya mau mendengarkannya.
Aditya : Hmm?
Mendengar suara notifikasi baru, mata Sabita berbinar. Nama Aditya terpampang jelas dalam layar.
Sabita : Kalo salam itu wajib dijawab Kak Adit.
Aditya : Yaudah ulang.
Sabita : Assalamualaikum, Kak Adit.
Aditya : Waalaikumsalam.
Sabita : Lagi apa?
Aditya : Mikirin lo.
Tercipta lengkungan manis di bibir Sabita. Hal manis sederhana yang Aditya lakukan padanya selalu herhasil membuat mood-nya membaik.
Sabita : Maaf soal yang tadi. Besok aku jelasin semuanya.
Aditya : Hmm.
Sabita : Masih marah?
Aditya : Enggak, tidur sana. Udah malem.
Sabita : Nyuruh pacar tidur nggak ada manis-manisnya.
Aditya : Besok gue kasih yang manis.
Sabita : Apa?
Aditya : Nanti aja.
Aditya : Besok gak usah bawa motor, biar pulangnya bisa bareng gue. Minta jemput Mely aja, jangan jalan kaki.
Sabita : Mely diantar ayahnya, nggak enak nanti ngerepotin. Sama Fathan aja boleh?
Aditya : Gak.
Senyuman Sabita semakin melebar, membuat Aditya kesal sangatlah menyenangkan. Sekarang ia tak lagi khawatir. Aditya tidak benar-benar marah padanya. Lain kali, Sabita akan lebih menjaga perasaan Aditya. Ia tak mau lagi kehilangan cowok itu walau hanya sebentar.
Di tempat lain, di kantin rumah sakit. Mely tengah berhadapan dengan cowok yang beberapa tahun ini masih ia pikirkan. Siapa lagi jika bukan Aldo. Cowok itu meraih tangan Mely dengan lembut. Namun segera gadis itu tarik kembali. Mely Enggan untuk diperlakukan lebih oleh Aldo.
"Kenapa?" Raut kecewa jelas Aldo tunjukan, tapi tetap saja cowok dengan kemeja putih itu menarik sudut bibirnya, tersenyum kecil.
"Nggak papa. Kak Aldo mau bicara apa lagi?"
"Kurang jelas ya waktu itu? Masih marah sama aku?"
"Harus banget aku jawab ya, Kak?"
Aldo mengangguk. " Jawab sekarang ya, Mel. Aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Kalo kamu mau nolak juga nggak apa-apa. Itu artinya aku emang harus pergi dari kota ini, atau bahkan dari negara ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...