Di balik selimut tebal, Fathan meringkuk kedinginan. Tapi suhu badannya tinggi. Mamanya yang kebetulan sedang ada di rumah berkali-kali mengecek keadaan fathan dengan termometer. Wanita berambut pendek itu terlihat sangat khawatir. Apalagi setelah Fathan mengalami kecelakaan tempo hari. Mulai saat itu dia sangat memperhatikan Fathan dan Aldo.
"Sayang, kita ke rumah sakit aja ya? Suhu badan kamu belum turun juga."
Fathan semakin memeluk erat selimutnya, dia tak mau dirawat dirumah sakit lagi. Sudah cukup, Fathan tak mau terkena suntikan lagi.
"Gak perlu, Ma. Besok juga sembuh kok. Nggak usah berlebihan ...."
"Tapi Mama, kan-" Fathan segera memotong ucapan mamanya. Dia sudah tahu mamanya itu akan mengatakan apa.
"Fathan udah maafin Mama. Bukan salah Mama dulu lebih sibuk kerja. Yang paling penting sekarang, aku tahu kalo Mama peduli sama aku. Udah cukup, Ma...," kata Fathan, kali ini dia menatap mata mamanya sambil tersenyum manis.
"Makasih ya, sayang. Kamu memang anak Mama yang paling baik."
Cup....
Sebuah kecupan mendarat di kening Fathan. Ada untungnya juga dia demam. Setidaknya sekarang Fathan tahu. Bagaimana rasanya diperhatikan oleh ibu kandungnya sendiri. Baru kali ini Fathan merasa sangat dekat dengan mamanya. Kecelakaan yang membuat kakinya terluka dan terpaksa membuatnya harus menggunakan tongkat memberikan anugrah tersendiri baginya. Setidaknya kedua orang tuanya sekarang sudah sadar. Bahwa kasih sayang jauh lebih penting daripada material.
Ketukan di depan pintu kamar terdengar. Dengan cepat wanita bernama Eva berdiri dan membukanya. Sosok gadis cantik berdiri membawa parsel buah-buahan. Eva menyambutnya dengan hangat, gadis itu sudah diterima dengan sangat baik oleh keluarga ini.
"Fath, pacar kamu datang. Bawa banyak buah tuh buat kamu." Vava tersenyum canggung saat Eva masih menganggap dirinya pacar Fathan.
"Ohh ... masuk aja Va. Rawat gue sampe gue sembuh."
"Fathan, gue bukan perawat lo. Maaf telat lima menit," ucap Vava sambil terkekeh sendiri. Eva memperhatikan interaksi keduanya dengan senang. Sedari kecil Fathan dan Vava terlihat serasi saat bersama.
"Mama tinggal, ya. Vava, jagain Fathan. Tante harus ngecek ayahnya Fathan juga soalnya."
"I-iya ... Tan," jawan Vava dengan gugup. Sudah cukup lama dirinya tidak mampir ke rumah Fathan. Dia duduk di samping tempat tidur.
"Va," panggil Fathan pelan. Wajahnya memelas minta dikasihani. Vava menatap wajah Fathan lebih dekat. Lebih dekat lagi sampai hidung mereka hampir bersentuhan. Detak jantung Fathan bahkan bisa gadis itu dengar. Vava mencium pipi Fathan tanpa permisi. Membuat si empunya kaget sendiri.
"Ke-kenapa tiba-tiba cium pipi gue?"
"Ngetes, lo beneran sakit atau cuma pura-pura biar gue dateng ke sini. Ternyata beneran sakit. Cepet sembuh ya...."
"Alasannya cuma itu doang? Va, jangan buat gue bingung, please."
"Udah istirahat. Gak usah dipikirin. Gue khilaf aja tadi. Kalo boleh jujur, gue kangen banget sama lo, Fathan. Waktu bisa diulang nggak sih? Gue mau deket sama lo lagi kayak dulu."
"Setelah nggak bisa dapetin Aditya, lo sadar, Va? Gue harap lo nggak minta gue untuk jadi pelampiasan lo lagi. Yang dulu itu udah cukup, ya. Gue nggak akan pernah mau lagi."
Vava menunduk, dia tahu sudah melakukan kesalahan. Tapi tiba-tiba Fathan meraih tangannya. " Lo tahu nggak, gue pernah cinta beneran sama lo. Tapi gue tutupin itu semua demi persahabatan kita. Gue nggak mau lo benci sama gue karena perasaan gue itu. Tapi diputusin secara sepihak itu sakit meski kesepakatan kita emang cuma pacaran pura-pura, Va. Saat itu gue sadar, mungkin itu salah satu cara Tuhan menyadarkan gue kalo kita emang cuma pantas jadi teman. Sampai kebetulan menyenangkan Tuhan juga hadirkan Sabita sebagai gantinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Fiksi RemajaIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...