"Kenapa bisa bareng Kak Adit?" tanya Fathan tepat saat Sabita mendaratkan bokongnya di kursi.
Sabita menjawabnya sambil tersenyum, "Memangnya kenapa?"
"Gue udah bilang jauhin Adit, kan? Kenapa nggak lo lakuin?"
"Aku nggak bisa, Fathan."
"Kenapa? Karena lo suka juga sama dia? Karena dia lebih ganteng dan lebih kaya daripada gue, Bit?" Fathan sudah tak bisa lagi menyembunyikan rasa cemburunya terhadap Aditya. Menurutnya Aditya bukanlah saingan yang mudah. Aditya memiliki segalanya. Tampang, prestasi, kekayaan. Sementara Fathan sendiri merupakan si pembuat onar di sekolah.
"Kamu ngomong apaan sih? Apa maksudnya kamu ngomong seperti itu, aku memang bukan anak orang kaya. Tapi, aku punya harga diri juga, Fath. Kamu nggak berhak bilang seperti itu sama aku, aku bukan cewek matre yang segalanya diukur pake kekayaan!" ucap Sabita sedikit meninggi, ia tak menyangka Fathan begitu rendah memandangnya.
"Terus kenapa nggak bisa jauhin dia? Lo udah tau bahwa gue suka sama lo. Tapi kenapa lo nggak bisa buka hati buat gue? Kenapa lo selalu nolak ajakan gue tapi nggak bisa nolak permintaan Kak Adit?"
"Kamu tahu, kan, kalo dia bos aku sekarang? Aku kerja di tempat dia, Fathan. Udah ya, nggak usah bahas Kak Adit lagi. Dia nggak ada sangkut pautnya sama hubungan kita. Aku belum bisa nerima kamu karena memang aku belum mau pacaran."
"Asal lo tahu, Bit. Gue cemburu setiap kali ngeliat lo sama Kak Adit jalan berdua. Gue cemburu saat Kak Adit bisa antar jemput lo. Gue juga cemburu, kenapa lo selalu senyum sama dia yang entah kenapa gue rasa senyuman itu bukan sekedar senyuman."
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Aku sama kak Adit nggak ada hubungan apa-apa, dan nggak akan pernah ada apa-apa."
"Kenapa enggak?"
"Karena...."
"Karena apa?"
"Dia nggak mungkin suka sama aku yang cuma anak baru, cuma karyawannya yang punya banyak masalah."
"Kalo dia suka sama lo, berarti lo mau?" Fathan tersenyum getir, sudah dia duga bahwa Sabita mulai menyukai Aditya. "Cukup jelas. Tapi, gue nggak akan lepasin lo gitu aja, Bit. Gue akan terus nunggu lo. Sampai kapan pun lo siap."
Sabita menggeleng, "Berhenti menyukai orang yang belum pasti hatinya untuk siapa. kalau memang ada yang lebih baik buat kamu kejar, Fathan!" ucap Sabita menatap serius ke arah Fathan "Itu kata temanku di Bandung, namanya Nea," lanjutnya.
"Gue nggak peduli Nea itu siapa, gue cuma peduli sama lo, paham?"
Sabita menggeleng, "Terserah! kepala batu." Gadis itu memilih mencari kesibukan lain, membuka lembar demi lembar buku paket Bahasa Indonesia yang tergeletak di meja.
"Maaf kalo gue mulai terlalu menekan lo, Bit. Gue cuma nggak mau lo jatuh cinta sama orang yang salah."
"Hmm...," gumam Sabita, ia mulai bad mood.
"Gue beli minuman dulu ke kantin, mau nitip?" Sabita hanya menjawabnya dengan gelengan tanpa berani menatap Fathan lagi. Rasa bersalah dan canggung mungkin perlahan akan tercipta.
Setelah Fathan benar meninggalkan kelas, Mely muncul dengan napas yang tersedat-sedat. Teman-teman sekelasnya termasuk Sabita hanya bisa mengernyitkan kening saat cewek berpipi chubby itu tiba-tiba heboh sendiri.
"Mel, kamu kenapa?"
"Itu... ada berita," ucap Mely sambil mengontrol napasnya.
"Berita apaan Mel? Coba kamu tenang dulu. Tarik napas, buang." Sabita mencoba membantu, tak bisa dipungkiri bahwa Sabita juga penasaran apa berita yang dibawa Mely.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...