"Kemarin lo pulang bareng Kak Aditya lagi, Bit?" tanya Fathan saat makan bersama di kantin. "Gue, kan, udah bilang lo bisa pulang bareng gue."
"Maaf, Fath. Tapi ... aku nggak enak sama yang lain. Takut mereka ngira aku rebut kamu dari pacar kamu."
"Gue udah bilang jangan dengerin omongan mereka. Lo seneng ya, digosipin sama Kak Adit?"
"Kamu ngomong apa, sih. Apa enaknya?"
"Fath, kalo lo cemburu bilang aja kali," kata Mely.
"Nggak, biasa aja gue."
"Alah, gengsi lo kegedean. Kalo suka itu bilang, nggak usah sok jaim gitu."
"Apaan sih, lo, Mel."
"Kalo lo, nggak suka sama Sabit. Lo nggak akan gabung bareng gue di sini, Fath. Modus lo terlalu kentara tahu nggak."
"Terserah lo!"
"Udah, kenapa kalian jadi ribut. Mel, aku sama Fathan nggak akan ada hubungan apa-apa. Kalo kamu cemburu itu bilang, nggak usah gengsi."
"Lo mulai ngeselin sih, Bit." Mely tersenyum kecut, tak terima diejek begitu oleh Sabita.
"Tuh dengerin, kalo cemburu itu bilang. Nggak usah jaim."
"Diem lo! Kutu aer dasar."
"Memar di pipi lo, udah mulai sembuh. Keliatan jauh lebih seger juga sekarang. Terus senyum lo, makin manis aja. Kayaknya gue emang butuh obat diabetes."
"Mulai lagi ngereceh, hadeuuh ...."
"Bilang aja iri. Udah jomblo, nggak pernah dirayu, ya?"
"Sekali lagi lo buat gue kesel. Mending pergi deh dari sini. Pantes aja Kak Vava mutusin lo."
"Jangan ember dong, orang-orang, kan, tahunya gue yang putusin dia."
"Jadi bukan kamu yang minta putus? Terus kenapa cuma Mely yang tahu? Jangan-jangan kalian sebenernya itu ...."
"Eh, sebenernya apa? Nggak usah mikir aneh-aneh, Sabit. Si kutu aer alias pengganggu ini emang pantes diputusin. Ya gue nebak aja, eh ternyata bener."
"Iya deh, aku percaya." Sabita terkekeh, meledek Mely seru juga.
"Bagus."
"Oh, iya. Pelajaran Bahasa indonesia, kan, ada tugas buat lagu. Gimana kalo kita ngerjain bareng?" usul Fathan.
"Gue, sih, mau-mau aja. Lo gimana, Bit?"
"Hmm, boleh. Kapan?"
"Nanti sore, gimana?" Mely dan Sabita mengangguk. Nanti sore Sabita masih punya waktu luang. Berbeda jika besok karena ia sudah mendapat pekerjaan.
Yah, Sabita diterima disebuah kafe khusus untuk anak muda. Maka pelayannya juga kebanyakan anak muda. Kafe Bintan namanya. Dengan begitu, Sabita tidak perlu menahan lapar berkepanjangan lagi. Setidaknya ada pemasukan untuk sehari-hari dari uang makan bekerja di sana.
"Hmm, mau dimana?" tanya Mely.
"Di rumah lo aja gimana, Bit?"
"Eh, jangan. Rumahku masih berantakan karena baru pindahan, susananya juga kurang enak." Sabita beralibi, ia tak mau ada seorang pun yang mengetahui bagaimana keadaan keluarganya saat ini.
"Oke, di rumah gue aja kalo gitu."
"Nggak! Di rumah lo, kan, ada Kak Aldo."
"Kenapa? Masih belum move on juga dari kakak gue?"
"Dih, kita nggak pernah pacaran kali. Kenapa harus susah-susah move on."
"Silaturahmi sama mantan gebetan, nggak ada salahnya ko, Mel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...