Percaya Aku

376 44 35
                                    

Aditya sudah menunggu Sabita di depan kelas gadis itu. Bersender pada pilar penyangga bangunan. Kedua tangannya ia masukan ke saku celana. Sesekali melirik jam karena Sabita belum juga keluar ruangan. Aditya berencana akan mengajak Sabita ke suatu tempat. Semenjak keduanya resmi berpacaran Aditya belum sempat mengajak Sabita untuk menikmati waktu bersama. Hari ini Aditya rasa merupakan hari yang pas. Kapan lagi jika bukan malam minggu.

Begitu melihat Sabita, cowok itu tersenyum tipis membalas senyuman yang Sabita berikan. Berubah seringai kecut saat melihat Fathan di belakang gadisnya.

"Kok lama?" tanyanya saat teman-teman Sabita sudah pamit pulang lebih dulu. Termasuk Fathan.

"Abis ulangan harian. Ada tugas tambahan juga tadi dari Pak Anton. Maaf kalo Kak Adit lama nunggu."

"Oke," respon Aditya, Sabita menghela napas. Pacarnya ini memang tak pernah berubah.

"Tumben Kak Adit susul aku ke sini. Ada apa?"

Aditya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia kebingungan menjawab pertanyaan Sabita."Umm, itu ... gue mau ajak lo jalan."

"Jalan? Kemana?"

"Bisa, kan?" Bukannya menjawab Aditya justru kembali bertanya dengan harapan Sabita mengatakan iya.

Sabita akhirnya mengangguk. "Malam mingguan ya, Kak? Udah lama aku nunggu Kak Adit bilang gini. Nea bawel banget ditelpon pas tahu Kak Adit nggak pernah ajak aku keluar pas malam minggu." Dengan polosnya Sabita mengatakan itu di hadapan Aditya. Raut wajahnya ia tekuk begitu mengingat obrolannya dengan Nea. Sahabatnya itu mengatakan Aditya tak benar-benar mencintainya jika mengajak malam mingguan saja tidak pernah.

"Lo cerita apa aja ke si Nea itu? Jangan cerita macem-macem tentang gue, Sabita."

"Enggak kok, cuma cerita sedikit tentang Kak Adit yang ngira aku hamil. Itu doang nggak ada lagi. Dia sering tanya-tanya, tapi nggak aku jawab karena malu jelasinnya."

Aditya tertawa, Sabita cepat-cepat mengarahkan ponselnya ke wajah cowok itu. "Kok berhenti?"

"Lo lagi apa sih?"

"Mau ngambil gambar Kak Adit lagi ketawa. Nggak boleh ya?" sesal Sabita, dia kembali menunduk. "Maaf."

"Kata siapa nggak boleh? Lo boleh ambil sebanyak apapun lo mau untuk hari ini. Gue nggak akan marah."

Sabita tersenyum lebar, melompat-lompat kegirangan. Aditya sampai mengernyitkan kening mengetahui bahwa Sabita begitu berlebihan.

"Udah," ucap Aditya seraya meraih pergelangan Sabita, menghentikan aksi konyol yang gadis itu lakukan. "Ayo pulang." Sabita mengangguk, dia pasrah tangannya Aditya tarik.

Pikiran Sabita menjalar kemana-mana. Tiba-tiba dia teringat Aditya belum menceritakan tentang kejadian kemarin. Kenapa pacarnya itu bisa terluka.

"Kak?" panggil Sabita sebelum cowok itu mengeluarkan motornya dari himpitan motor yang lain. "Kak Adit bukannya bawa mobil?"

"Enggak, gue di antar bunda tadi pagi."

"Yakin sekarang mau boncengin aku pake motor ini? Tangan Kak Adit masih diperban."

"Luka ini nggak ada apa-apanya."

Sabita mengangguk, lalu bertanya lagi. "Kemarin itu ... emang Kak Adit berantem sama siapa?"

"Ayo naik," ujar Aditya tanpa memperdulikan pertanyaan Sabita. Gadis itu memilih tak bergeming dengan perintah kekasihnya.

"Nggak mau naik sebelum Kak Adit jawab jujur, kenapa aku nggak boleh tahu. Apa salah kalo aku khawatir?"

Namanya Sabita [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang